Jika tidak ada aral melintang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia akan menggelar acara debat Capres-Cawapres putaran pertama pada tanggal 17 Januari 2019. Pada jadwal debat capres cawapres perdana ini tema yang diangkat seputar Hak Asasi Manusia / HAM, pemberantasan korupsi dan terorisme.
Debat capres cawapres diadakan sebagai bagian dari fungsi kampanye visi misi dan program para kontestan. Tujuannya adalah untuk memaparkan pandangan mereka terhadap Indonesia masa depan. Sehingga publik memiliki preferensi dalam menentukan pilihan mereka.
Fenomena debat capres cawapres dalam sistem pemilu Indonesia mulai dilakukan sejak model pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung tahun 2004 silam.Â
Masa itu terdapat lima pasangan capres cawapres yakni Hamzah Haz-Agum Gumelar, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid dan Soesilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla. Kelima pasangan tersebut berdasarkan Keputusan KPU nomor 36/2004.
Pemilu langsung pemilihan presiden tahun 2004 berhasil memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Bahkan SBY berhasil pula mempertahankan kekuasaannya menjadi dua periode yang berakhir pada tahun 2014 dan lalu digantikan oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla
Belajar dari pengalaman debat-debat sebelumnya. Terutama pada penyebutan debat capres-cawapres jika kemudian di dalamnya ada peserta yang masih menjabat sebagai presiden, rasanya sebutan debat capres-cawapres menjadi tidak tepat lagi.Â
Karena faktanya memang ada kontestan yang masih aktif sebagai presiden bukan lagi hanya sebagai calon seperti Pilpres 2019 saat ini. Kecuali semua kontestan tidak termasuk presiden aktif di dalamnya.
Penyebutan debat capres-cawapres dan debat petahana-capres menurut saya memberikan implikasi yang berbeda pada teknis pelaksanannya. Termasuk pada sesi bertanya antar-pasangan calon (paslon), dan paslon dengan petahana.Â
Bagaimanapun tidak dapat kita samakan antara posisi paslon dengan petahana, sehingga pertanyaan yang diajukan juga harus memenuhi dua unsur utama.
Dua unsur utama tersebut adalah apabila pertanyaan diajukan ke petahana, maka harus memuat unsur evaluasi. Mengapa? Karena petahana adalah presiden yang saat ini sudah dan sedang menjalankan fungsi-fungsi pembangunan.Â
Sehingga publik perlu mengetahui bagaimana realisasi visi dan misi yang telah dijanjikan dulu. Apakah memenuhi ekspektasi masyarakat atau tidak? Apakah pembangunan yang telah dilakukan itu sesuai tidak dengan janji kampanye sebelumnya?
Jadi petahana memang memiliki beban yang tidak sama dalam debat. Karena selain sebagai calon, ia juga pelaksana pemerintahan saat ini. Kalaulah misalnya pada debat pertama mengambil tema tentang Hukum, HAM, dan Terorisme.Â
Maka petahana perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan seputar apa yang telah dilakukan pada bidang hukum, HAM, dan Terorisme di Indonesia. Lalu panelis dapat menggali dan membandingkan dengan visi, misi, dan janji kampanye periode lalu.
Jadi domain debat terhadap calon yang berstatus petahana memiliki tanggung jawab moral untuk menjelaskan hal itu secara terang benderang kepada masyarakat. Dan saya rasa petahana tidak perlu takut atau khawatir. Jelaskan saja yang telah dikerjakan, toh yang menilai adalah publik. Sepanjang memiliki prestasi kerja yang bagus, justru semakin meyakinkan para pemilih.
Dengan demikian debat petahana-capres akan berlangsung menarik. Petahana bisa mengkempanyekan keberhasilannya dalam sesi debat tersebut. Nah, oleh calon (capre-cawapres) mereka dapat melihat apa yang sudah atau belum dikerjakan oleh petahana, bahkan mereka dapat pula mengkritisi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang tentu harus subtantif terhadap kinerja petahana selama ini.Â
Di situlah poin bagi calon presiden dan wakil presiden penantang untuk mengajukan ide dan gagasannya atas kelemahan petahana.
Sebaliknya petahana juga dapat mengajukan berbagai pertanyaan terhadap visi dan misi penantangnya. Apakah cukup realistis atau hanya sekedar tulisan indah dikertas saja.Â
Petahana dapat memastikan model pembangunan apa yang ditawarkan oleh pasangan capres-cawapres. Itulah yang saya maksud subtansi atau unsur utama kedua dari pertanyaan yang diajukan, jika bagi penantang maka hanya perlu didalami soal visi dan misi saja.
Saya rasa konsep debat Capres-Cawapres yang akan segera berlangsung di bulan Januari 2019 nantinya perlu mempertimbangkan model debat petahana-capres juga. Dengan pandangan yang telah disebutkan di atas tadi.Â
Kalau model ini bisa diterapkan, saya meyakini debat pilpres kali ini akan sangat menarik karena formulasi debatnya unik, khas dan mengakomodir harapan publik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H