Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Prostitusi" Surat Suara Hingga Kisi-kisi Soal Debat Capres

9 Januari 2019   15:00 Diperbarui: 12 Januari 2019   15:43 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye (pexels.com)

Menarik juga menggunakan terminologi prostitusi untuk menjelaskan fenomena surat suara impor sebanyak 7 kontainer dari Cina yang diduga masuk lewat pelabuhan Tanjung Periuk beberapa hari lalu yang sempat menghebohkan jagad politik nasional.

Berawal dari informasi senyap dibeberapa kalangan lalu muncul menjadi isu yang menjadi konsumsi publik dan di-announcer oleh politisi melalui media sosial. Secepat itu berkembang sampai ke pejabat KPU. Dan fenomena tersebut kemudian diakhiri dengan sidak Ketua KPU dan tim lainnya ke Bea Cukai di kawasan pelabuhan untuk memastikan kabar yang beredar itu.

Hasil inspeksi yang telah dilakukan, oleh KPU menyatakan bahwa informasi surat suara sudah dicoblos sebanyak 7 kontainer dinyatakan nihil. Karena oleh tim tidak menemukan adanya barang bukti atas dugaan tersebut. Sedangkan pihak Bea Cukai pun tidak tahu tentang barang ini. Sehingga disimpulkan berita tersebut adalah hoaks.

Memang, ketika pertama saya membaca rilis sebuah status seorang teman di jejaring media sosial, saya sempat kaget dan hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin barang yang sangat sensitif seperti kertas surat suara yang akan digunakan dalam pilpres mendatang nanti justru didatangkan dari luar negeri, sudah tercoblos pula. Sungguh tidak terbayangkan apa sebenarnya yang terjadi dengan penyelenggaraan pemilu di negeri ini.

Setelah saya mengikuti perkembangan informasi dari waktu ke waktu mengenai surat suara, baru saya sadar bahwa berita itu hanya sebatas dugaan saja. Bentuk antisipasinya maka turunlah KPU untuk memastikan hingga ke pelabuhan dengan bentuk cek lapangan. Saya rasa disini tidak ada hal yang salah.

Lantas apa hubungannya judul prostitusi surat suara, apa maksudnya? Prostitusi surat suara yang saya maksudkan yaitu soal status surat suara yang sudah dicoblos. Jadi "coblos-mencoblos" itu identik dengan kegiatan prostitusi yang setiap saat "nyoblos". Hanya beda barang yang dicoblos saja.

Sehingga kehebohan surat suara yang tercoblos di tengah-tengah pilpres menyamai kehebohan berita prostitusi artis. Apalagi terjadi pada waktu yang hampir bersamaan, seakan memiliki korelasi waktu antara dua peristiwa tersebut. Dari data yang saya baca dari google, rating kedua berita tersebut nangkring pada posisi 5 besar dalam sepekan.

Malah saran Andi Arief kepada pihak KPU untuk mengecek kebenaran isu tersebut, kini telah berujung pada aksi lapor-melapor diantara para pendukung Capres dua kubu. Pihak Jokowi-Ma'ruf menuding Wasekjend Partai Demokrat telah menyebarkan hoaks yang meresahkan masyarakat.

Sementara pihak yang pihak mengatakan, apa salahnya jika AA meminta KPU untuk memastikan isu yang sudah banyak beredar. Kok malah dianggap penyebar hoaks. Coba bayangkan jika informasi itu terbukti. Apakah AA akan disanjung?

Jadi isu surat suara sangat seksi seperti seksinya tubuh mungil VA. Karena itu kedua peristiwa ini memiliki benang merah yang akumulasikan pada satu terminologi yaitu prostitusi surat suara.

***

Belum lagi padam soal surat suara dengan menampilkan gambar khas MA yang disinyalir sebagai bentuk politik identitas, lalu bersambung dengan surat suara tercoblos. Dan kini mulai muncul kontroversi baru masalah debat capres, yang mulai agak seksi untuk dibahas dan dibicarakan di ruang-ruang publik.

Silang pendapat perlu tidaknya debat diawali dengan pemaparan visi dan misi oleh calon presiden, sebagai bagian dari syarat debat justru menjadi perdebatan antara tim kempanye nasional (TKN) dan badan pemenangan nasional (BPN). Yang sejatinya masalah debat dan teknis pelaksanaannya menjadi kewenangan KPU.

Dan saling klaim antar kedua kubu pun berubah menjadi ajang saling menyudutkan. Satu pihak menuding capres mereka tidak berani menghadapi debat secara terbuka dengan menguraikan visi dan misi. Karena ia dianggap tidak layak menjadi Presiden Indonesia kedepan. Sementara pihak lainnya mengatakan justru pihak sebelahlah yang tidak punya nyali untuk berdebat secara terbuka.

Sehingga dinamika ini membingungkan masyarakat. Celakanya lagi pihak KPU seakan-akan tidak mampu menampilkan dirinya sebagai otoritas penyelenggara pemilu yang memiliki kapasitas dan berintegritas. Masyarakat melihat KPU bekerja dibawah bayang-bayang penguasa. Sehingga daya tekan KPU terhadap petahana dan timnya sangat lemah.

Padahal KPU merupakan lembaga negara yang bekerja berdasarkan kontitusi. KPU melaksanakan tugas atau perintah konstitusi untuk menyelenggarakan pesta demokrasi. Jadi KPU tidak perlu ragu-ragu atau takut terhadap tekanan dari siapapun. Jangan malah KPU seperti mengikuti saja keinginan kedua kubu. Sementara lembaga ini bukan hanya melayani kandidat capres tetapi juga memperhatikan aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia.

Seperti kata mantan Komisi Pemilihan Umum, Chusnul Mar'iyah, mengkritik bekas lembaga yang pernah dipimpinnya karena terlalu akomodatif terhadap kemauan dua kubu pasangan calon presiden-wakil presiden.

Chusnul mencontohkan ketika KPU mengundang perwakilan tim pemenangan kedua pasang kandidat untuk membahas konsep debat capres dan menerima usulan penyampaian visi-misi, meski kemudian dibatalkan, (viva.co.id, 9/1/2019).

Hal-hal seperti diatas yang dilakukan oleh KPU mengindikasikan jika lembaga itu bekerja dengan pendekatan kompromis, bukan karena menjalankan kewajiban secara tegas sebagaimana diatur dalam Undang-undang pemilu. Poin yang saya ingin katakan adalah KPU terlalu lemah dalam menjalankan fungsinya.

Yang lebih membingungkan lagi adalah pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman soal pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta debat, ia mengatakan, salah satu alasan KPU memberikan kisi-kisi pertanyaan debat ke kandidat sebelum debat digelar adalah supaya tidak ada paslon yang dipermalukan.

Jadi apa maksud Arief Budiman? Siapa yang mau mempermalukan siapa? Bukankah acara tersebut diadakan dengan mempedomani pada satu kaedah proses? Karena itu pasti ada mekanismenya? Saya tidak mengerti dengan maksud Arief Budiman.

Dalam konteks pertanyaan debat capres, saya sepakat dengan Fahri Hamzah bahwa debat capres harus menjadi wadah bagi masyarakat untuk menilai capres yang bakal dipilihnya itu benar-benar ia kenal dengan baik. Maka kualitas debat akan menjadi preferensi penilaian masyarakat. Karena itu negara melalui KPU harus mampu menghadirkan keinginan masyarakat Indonesia.

Dalam konteks pertanyaan debat, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menilai debat di Pilpres 2019 bertujuan menguji pengetahuan pasangan capres-cawapres. Tapi bila kisi-kisi debat dibocorkan, disebut JK, tim sukseslah yang akan menyiapkan jawaban.

Oleh sebab itu KPU tidak boleh membuat debat capres justru menjadi sesuatu yang dianggap tidak penting. Jika diberikan pertanyaan oleh para penelis tentu bukan untuk menyudutkan, apalagi dengan niat mempermalukan. Tapi itulah bentuk panelis untuk mengukur kemampuan dan kapasitas capres yang memimpin Indonesia 5 tahun yang akan datang.

Ini harus menjadi perhatian KPU. Dengan kewenangan yang dimilikinya, anggaran pemilu yang mencapai 29 triliun rupiah, mestinya berimbang dengan kualitas pemilu yang mampu dihadirkan. Masyarakat tidak ingin lagi memilih presiden seperti membeli kacung dalam karung.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun