Menarik juga menggunakan terminologi prostitusi untuk menjelaskan fenomena surat suara impor sebanyak 7 kontainer dari Cina yang diduga masuk lewat pelabuhan Tanjung Periuk beberapa hari lalu yang sempat menghebohkan jagad politik nasional.
Berawal dari informasi senyap dibeberapa kalangan lalu muncul menjadi isu yang menjadi konsumsi publik dan di-announcer oleh politisi melalui media sosial. Secepat itu berkembang sampai ke pejabat KPU. Dan fenomena tersebut kemudian diakhiri dengan sidak Ketua KPU dan tim lainnya ke Bea Cukai di kawasan pelabuhan untuk memastikan kabar yang beredar itu.
Hasil inspeksi yang telah dilakukan, oleh KPU menyatakan bahwa informasi surat suara sudah dicoblos sebanyak 7 kontainer dinyatakan nihil. Karena oleh tim tidak menemukan adanya barang bukti atas dugaan tersebut. Sedangkan pihak Bea Cukai pun tidak tahu tentang barang ini. Sehingga disimpulkan berita tersebut adalah hoaks.
Memang, ketika pertama saya membaca rilis sebuah status seorang teman di jejaring media sosial, saya sempat kaget dan hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin barang yang sangat sensitif seperti kertas surat suara yang akan digunakan dalam pilpres mendatang nanti justru didatangkan dari luar negeri, sudah tercoblos pula. Sungguh tidak terbayangkan apa sebenarnya yang terjadi dengan penyelenggaraan pemilu di negeri ini.
Setelah saya mengikuti perkembangan informasi dari waktu ke waktu mengenai surat suara, baru saya sadar bahwa berita itu hanya sebatas dugaan saja. Bentuk antisipasinya maka turunlah KPU untuk memastikan hingga ke pelabuhan dengan bentuk cek lapangan. Saya rasa disini tidak ada hal yang salah.
Lantas apa hubungannya judul prostitusi surat suara, apa maksudnya? Prostitusi surat suara yang saya maksudkan yaitu soal status surat suara yang sudah dicoblos. Jadi "coblos-mencoblos" itu identik dengan kegiatan prostitusi yang setiap saat "nyoblos". Hanya beda barang yang dicoblos saja.
Sehingga kehebohan surat suara yang tercoblos di tengah-tengah pilpres menyamai kehebohan berita prostitusi artis. Apalagi terjadi pada waktu yang hampir bersamaan, seakan memiliki korelasi waktu antara dua peristiwa tersebut. Dari data yang saya baca dari google, rating kedua berita tersebut nangkring pada posisi 5 besar dalam sepekan.
Malah saran Andi Arief kepada pihak KPU untuk mengecek kebenaran isu tersebut, kini telah berujung pada aksi lapor-melapor diantara para pendukung Capres dua kubu. Pihak Jokowi-Ma'ruf menuding Wasekjend Partai Demokrat telah menyebarkan hoaks yang meresahkan masyarakat.
Sementara pihak yang pihak mengatakan, apa salahnya jika AA meminta KPU untuk memastikan isu yang sudah banyak beredar. Kok malah dianggap penyebar hoaks. Coba bayangkan jika informasi itu terbukti. Apakah AA akan disanjung?
Jadi isu surat suara sangat seksi seperti seksinya tubuh mungil VA. Karena itu kedua peristiwa ini memiliki benang merah yang akumulasikan pada satu terminologi yaitu prostitusi surat suara.
***