Belum lagi padam soal surat suara dengan menampilkan gambar khas MA yang disinyalir sebagai bentuk politik identitas, lalu bersambung dengan surat suara tercoblos. Dan kini mulai muncul kontroversi baru masalah debat capres, yang mulai agak seksi untuk dibahas dan dibicarakan di ruang-ruang publik.
Silang pendapat perlu tidaknya debat diawali dengan pemaparan visi dan misi oleh calon presiden, sebagai bagian dari syarat debat justru menjadi perdebatan antara tim kempanye nasional (TKN) dan badan pemenangan nasional (BPN). Yang sejatinya masalah debat dan teknis pelaksanaannya menjadi kewenangan KPU.
Dan saling klaim antar kedua kubu pun berubah menjadi ajang saling menyudutkan. Satu pihak menuding capres mereka tidak berani menghadapi debat secara terbuka dengan menguraikan visi dan misi. Karena ia dianggap tidak layak menjadi Presiden Indonesia kedepan. Sementara pihak lainnya mengatakan justru pihak sebelahlah yang tidak punya nyali untuk berdebat secara terbuka.
Sehingga dinamika ini membingungkan masyarakat. Celakanya lagi pihak KPU seakan-akan tidak mampu menampilkan dirinya sebagai otoritas penyelenggara pemilu yang memiliki kapasitas dan berintegritas. Masyarakat melihat KPU bekerja dibawah bayang-bayang penguasa. Sehingga daya tekan KPU terhadap petahana dan timnya sangat lemah.
Padahal KPU merupakan lembaga negara yang bekerja berdasarkan kontitusi. KPU melaksanakan tugas atau perintah konstitusi untuk menyelenggarakan pesta demokrasi. Jadi KPU tidak perlu ragu-ragu atau takut terhadap tekanan dari siapapun. Jangan malah KPU seperti mengikuti saja keinginan kedua kubu. Sementara lembaga ini bukan hanya melayani kandidat capres tetapi juga memperhatikan aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia.
Seperti kata mantan Komisi Pemilihan Umum, Chusnul Mar'iyah, mengkritik bekas lembaga yang pernah dipimpinnya karena terlalu akomodatif terhadap kemauan dua kubu pasangan calon presiden-wakil presiden.
Chusnul mencontohkan ketika KPU mengundang perwakilan tim pemenangan kedua pasang kandidat untuk membahas konsep debat capres dan menerima usulan penyampaian visi-misi, meski kemudian dibatalkan, (viva.co.id, 9/1/2019).
Hal-hal seperti diatas yang dilakukan oleh KPU mengindikasikan jika lembaga itu bekerja dengan pendekatan kompromis, bukan karena menjalankan kewajiban secara tegas sebagaimana diatur dalam Undang-undang pemilu. Poin yang saya ingin katakan adalah KPU terlalu lemah dalam menjalankan fungsinya.
Yang lebih membingungkan lagi adalah pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman soal pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta debat, ia mengatakan, salah satu alasan KPU memberikan kisi-kisi pertanyaan debat ke kandidat sebelum debat digelar adalah supaya tidak ada paslon yang dipermalukan.
Jadi apa maksud Arief Budiman? Siapa yang mau mempermalukan siapa? Bukankah acara tersebut diadakan dengan mempedomani pada satu kaedah proses? Karena itu pasti ada mekanismenya? Saya tidak mengerti dengan maksud Arief Budiman.
Dalam konteks pertanyaan debat capres, saya sepakat dengan Fahri Hamzah bahwa debat capres harus menjadi wadah bagi masyarakat untuk menilai capres yang bakal dipilihnya itu benar-benar ia kenal dengan baik. Maka kualitas debat akan menjadi preferensi penilaian masyarakat. Karena itu negara melalui KPU harus mampu menghadirkan keinginan masyarakat Indonesia.