Propinsi Aceh sangat identik budaya Islam. Terlepas ada oknum pejabat daerah Aceh yang dituduh korupsi oleh KPK, dan perbuatan seperti itu sangat bertentangan dengan budaya islami. Namun begitu Aceh tetaplah bergelar Serambi Makkah dan bersyariat Islam. Karena Aceh memperoleh otonomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam sehingga saat ini banyak peraturan daerah (qanun) yang disahkan berazaskan Islam.
Sebagai salah satu propinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka seluruh aspek kehidupan warga Aceh dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam yang mulia. Baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, hingga adat istiadat yang berkaitan dengan resam (kebiasaan), masyarakat selalu berpedoman pada nilai-nilai Islam.
Diantara bukti masyarakat Aceh sebagai penganut Islam yang baik dan taat yaitu warisan luhur Masjid Raya Banda Aceh. Bangunan rumah ibadah ummat Islam tersebut bukan hanya sekedar tempat melaksanakan ritual ibadah, seperti shalat, zikir, dan berdoa. Namun juga sebagai simbol peradaban Kerajaan Aceh masa lampau yang kental dengan ajaran Islam.
Masjid nan megah yang berdiri tepat ditengah Kota Banda Aceh dibangun pada masa Kesultanan Aceh. Yang pada awalnya hanya memiliki satu kubah (kubah tunggal), yang dibangun pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Masjid Raya Baiturrahman diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Lalu yang terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968).
Masjid Raya Baiturrahman sejak dulu sudah dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu agama Islam. Disini berdatangan beragam bangsa dari negara lain untuk menuntut ilmu agama. Terutama pelajar dari Turki, Arab, India dan Parsia. Mereka berbondong-bondong datang ke Kesultanan Aceh sebagai pelajar yang dipusatkan di Masjid Raya.
Dimasa perang, tempat ini menjadi markas pertahanan masyarakat Aceh (873-1904). Bahkan seorang jenderal Belanda tewas ditembak mati didepan Masjid kebanggaan masyarakat Aceh tersebut. Ia mati dengan peluru menerjang tepat didahinya. Sehingga sejarah ini diabadikan dengan membangun sebuah monumen kecil didepan sebelah kiri masjid untuk mengingatkan betapa heroiknya rakyat Aceh melawan Belanda.
Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar. Pada saat itu, Mayjen Khohler tewas tertembak didahi oleh pasukan Aceh di pekarangan Masjid Raya. Itulah kemarahan rakyat Aceh yang sangat luar biasa ketika rumah ibadahnya dibakar oleh kafir. Sehingga pertempuran melawan Belanda menjadi penuh emosi. Dengan izin Allah, rakyat Aceh berhasil mengusir Belanda dari bumi Seramoe Mekkah.
Meskipun enam tahun kemudian Belanda datang dan membangun kembali Masjid ini, Â tepatnya pada tahun 1879 untuk meredam kemarahan masyarakat Aceh, namun Belanda sudah mengalami banyak kesulitan dan kegagalan untuk menjalankan misi agresi dan imperialisnya di Aceh.
Itulah cuplikan sejarah kebesaran Masjid Raya Baiturrahman yang tersohor ke seantero dunia. Jadi valuenya bukan hanya dari keunikan arsitektur bangunan namun juga sejarah besar yang pernah dilewatinya. Ditambah lagi ketika gempa bumi (8,9 SR) dan tsunami dahsyat menerjang Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 silam, yang merobohkan seluruh bangunan, masjid ini justru tetap berdiri kokoh sekaligus menjadi tempat perlindungan dan tempat menyelamatkan diri bagi warga Aceh yang saat itu tengah panik.
Maka tidak heran jika sekarang ini Masjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu destinasi wisata di Aceh. Hampir setiap tahun ribuan wisatawan datang mengunjungi Masjid yang bergaya parsia ini. Bukan hanya wisatawan lokal namun juga wisatawan manca negara.
Menurut pengelola Masjid Raya Baiturrahman tiap hari tidak kurang dari 500 orang yang mengunjungi tempat suci ini. Mereka berdatangan dari dalam dan luar Aceh, ada dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, bahkan Papua dan masyarakat NTT. Selain menikmati keindahan bangunan masjid, biasanya pengunjung juga melakukan shalat sunnat, bernazar, dan berfoto sebagai kenang-kenangan.
Dengan gaya baru setelah pembangunan semasa Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah, Masjid Raya Baiturrahman kini dilengkapi dengan payung besar seperti masjid di Mekkah dan Madinah. Mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman saat ini serasa berada di Arab Saudi. Ini juga menjadi daya tarik tersendiri dalam konteks wisata.
Namun dibalik kemegahan dan keagungan Masjid Raya yang menjadi magnit tamu berdatangan, ada satu kekurangan yang terlihat oleh pikiran saya. Yang semestinya menjadi perhatian semua pihak. Bukan hanya pengelola masjid, pemerintah, dan bahkan juga masyarakat setempat serta pengunjung.apa itu? Ya, soal ketertiban pedagang di sekitar masjid.
Seperti suasana yang hari ini saya lihat (Senin, 31/12/2018), pukul 17.00 WiB ketika itu posisi saya berada tepat didepan pintu masuk sebelah kiri masjid. Dan saya memperhatikan para pedagang kaki lima yang serentak berjejer menggelar dagangan dan gerobaknya menutupi pintu masuk. Pemandangan ini tentu tidak elok dan sangat mengganggu kenyamanan pengunjung yang ingin memasuki Masjid Raya Baiturrahman.
Tidak ada maksud sama sekali untuk menghalang-halangi para tamu. Akan tetapi para pedagang tersebut tidak menyadari bahwa tindakan mereka itu justru telah menyulitkan pengunjung yang mau masuk ke dalam kompleks masjid.
Inilah yang tadi saya katakan, persoalan penataan pedagang kaki lima disekitaran Masjid Raya Baiturrahman harus ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga dalam berjualan mencari nafkah bagi kebutuhan keluarganya, para pedagang tersebut bisa lebih tertib lagi. Dan yang pasti jangan sampai menutupi jalan masuk ke masjid. Sebab hal itu sangat mengganggu kenyamanan pengunjung dan tamu Allah yang hendak beribadah ke rumah Allah.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H