Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Beredar Video Mirip Prabowo Merayakan Natal, Masih Adakah Politisi Jujur?

27 Desember 2018   21:54 Diperbarui: 27 Desember 2018   22:03 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat kristiani mengikuti ibadah misa malam Natal di Gereja Immanuel, Jakarta, Senin, 24 Desember 2018. Perayaan Natal di Gereja Immanuel mengangkat tema Membangun Spiritualitas Damai Yang Menciptakan Pendamai. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Pemilu presiden, natal, Ma'ruf Amin, Prabowo Subianto menjadi kata kunci tulisan, status, meme yang dalam sepekan ini ramai menghiasi jagat maya dan ulasan netizen di Indonesia. Ada yang sebagian menjadikan sebagai bahan olok-olokan, sindiran, ejekan, sampai tuduhan pembohongan publik. Mengapa demikian?

Beredarnya video capres Prabowo Subianto berjoget di acara Natal keluarga ramai diperbincangkan. Keponakan capres Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo atau biasa disapa Sara yang sempat mengunggah momen tersebut di media sosialnya menjadi bahan sindiran kubu Jokowi mempertanyakan "keislaman" Prabowo.

Lalu Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi pun menjawab jika Prabowo tidak mengikuti ritual ibadah. Prabowo hanya bersilaturahmi dengan keluarganya yang beragama Nasrani. Adapun joget yang ia lakukan adalah hal biasa.

Sebagaimana pengakuan Rahayu Saraswati itu acara yang dilakukan setiap Natal di rumah sesepuh kami, yaitu kakak dari Ibunda Pak Prabowo dan Pak Hashim. Pak Prabowo hadir hanya setelah ibadah pada saat kami ada makan malam bersama sanak saudara," kata Sara saat dikonfirmasi oleh detikcom, Kamis (27/12/2018).

Apalagi pada acara yang berlatar belakang masyarakat Manado/Minahasa ada nyanyi-nyanyian dan poco-poco. Dan malam itupun lagu-lagu yang dimainkan bukan lagu rohani, hanya lagu yang biasa diiringi acara-acara makan malam.

Pengakuan politisi Gerindra dan sekaligus kerabat dekat Prabowo Subianto tentang video yang beredar itu, cukup menguatkan dugaan bahwa di dalam audio visual tersebut memang Prabowo Subianto, Capres nomor urut 02.

Ditambah lagi penjelasan jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, bahwa memang Prabowo Subianto menghadiri acara dimaksud, mengingat keluarga besarnya pun banyak yang nasrani. Senada dengan Saraswati, Prabowo Subianto hanya bersilaturrahmi saja. Sehingga informasi ini dapat dikatakan valid.

Akan tetapi sebagaimana publik sudah tahu bahwa selama ini Prabowo-Sandi dipersepsikan sebagai pasangan capres paling islami dan dekat dengan ulama dan para habaib (habib). Bahkan hasil ijtimak ulama I dan II yang dilakukan oleh sejumlah ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama pada bulan September 2018, hasilnya merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden yang didukung oleh GNPF.

Sebagai capres yang didukung dengan ijtimak ulama tentunya memiliki kepatuhan yang sangat baik terhadap seluruh keputusan para ulama. Misalnya Prabowo pernah menandatangani 17 pakta integritas yang dirumuskan oleh ijtimak ulama II yang harus dijalankan oleh Prabowo Subianto jika nanti terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia (2019-2024).

Selain taat pada perjanjian atau kontrak politik yang telah disepakati, sebagai capres yang diusung oleh ulama dan ummat Islam. Prabowo Subianto juga memiliki kewajiban untuk menaati fatwa ulama. Sebagaimana GNPF 212 yang sangat agresif mengawal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan gerakan itu sendiri selalu dikait-kaitkan dengan kepentingan politik Capres 02.

Fatwa ulama yang santer dibicarakan hari-hari ini adalah tentang boleh atau tidak seorang muslim mengucapkan selamat natal bagi ummat nasrani. Meskipun Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sejauh ia memahami ajaran Islam, mengucapkan selamat natal dibolehkan karena ia beragumentasi hal itu tidak termasuk dalam kategori ibadah namun lebih pada hubungan sosial saja.

Tetapi bagaimana sesungguhnya pendapat para ulama yang berkompeten dibidang ini? Salah satu rujukan yang banyak dipelajari kembali terkait ini adalah fatwa ulama yang pernah dikeluarkan oleh MUI di masa Buya Hamka atau yang memiliki nama aslinya Haji Abdul Malik Karim Amrullah pada tahun 1981.

Hamka pernah berkata seperti ini "Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah akidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik." Maka Hamka memutuskan bahwa ini bertentangan dengan akidah Islam.

Atas dasar itu kemudian MUI mengeluarkan fatwanya terkait dengan mengucapkan natal yakni Haram. Fatwa tersebut dikeluarkan (dikeluarkan pada 1 Jumaidil Awal 1401 atau 7 Maret 1981), sampai kemudian beliau wafat pada Juli 1981 atau menjelang tiga bulan setelah fatwa itu diterbitkan.

Jadi jelaslah bahwa berdasarkan fatwa MUI yang ada, maka jangankan menghadiri dan turut melakukan ritual ibadah bersama ummat nasrani pada saat natal, mengucapkannya saja sebagai hubungan sosialpun dapat menyalahi fatwa ulama. Nah lalu bagaimana klaim bahwa Prabowo Subianto?

Disisi lain ada cawapres nomor urut 01, Ma'aruf Amin yang secara kasat mata jelas bahwa ia merupakan seorang ulama, kiyai sepuh yang juga pemimpin ummat. Juga diduga mengucapkan selamat natal bagi ummat nasrani pada saat natal beberapa hari lalu.

Ma'aruf Amin yang pernah memimpin MUI dan menandatangani beberapa fatwa pasti mengetahui perihal fatwa MUI periode Buya Hamka. Yang isinya sangat jelas mengharamkan mengucapkan natal dan merayakannya bersama ummat nasrani. Namun mengapa seoalah-olah Ma'aruf Amin abai terhadap hal itu? Padahal ini merupakan persoalan akidah. Dimana bisa dinyatakan batal imannya sebagai muslim.

Akibat beredarnya video yang diduga Ma'aruf Amin dan viral dengan visual sedang menyampaikan selamat natal itu sontak menjadi kontroversi. Dikanal-kanal chating seperti WhatSapp Group juga beredar secara berantai dan menimbulkan pro kontra antara sesama anggota.

Bahkan reaksi sebagian masyarakat pun dalam menyikapi video tersebut tergolong berlebihan. Salah satu perbuatan yang kurang tepat itu seperti yang dilakukan oleh oknum yang membuat video hasil editan Ma'aruf Amin mengenakan pakaian sinterklas.

Untuk menciptakan rasa aman dan dalam rangka menjaga nama baik capres 01, Polisipun bergerak cepat untuk menangkap pelakunya. Polisi mengatakan pria berinisial S (31) yang diamankan karena mengunggah video editan cawapres nomor urut 1, Kiai Ma'ruf Amin, berkostum sinterklas, adalah seorang tokoh sebuah pesantren di Aceh. Pria tersebut diamankan pada, Rabu (26/12/2018) kemarin.

Namun keluarga sangat terkejut atas penangkapan S yang dikenal selama ini tidak terlibat politik praktis dan hanya mengajar saja. Apalagi dengan tingkat pendidikan yang tidak memungkin ia memiliki kemampuan dalam hal edit-edit video.

Pun begitu keluarga menyerahkan semuanya pada proses hukum sekaligus meminta maaf kepada masyarakat Indonesia dan khususnya Ma'aruf Amin, yang menimbulkan ketidaknyaman karena sikap salah satu anggota keluarganya.

Terlepas dari semua itu, yang justru sangat menarik adalah politisi kedua kubu kemudian saling melempar opini dan menciptakan persepsi. Alibi yang paling mudah dikatakan adalah berita-berita seperti itu memang sengaja digoreng demi kepentingan politik. Sedikit sekali kita melihat politisi kedua kubu untuk calling down dan mengelola informasi secara bijak.

Kini yang menjadi masalah adalah masyarakat dihadapkan pada kebingungan dan informasi yang sangat bias. Kita sepakat bahwa masyarakat Indonesia yang plural ini lalu harus bisa disatukan dalam satu bahasa atau apa yang disebut toleransi. Namun bagaimana pemahaman toleransi itu juga harus jelas dan tidak bias.

Misalnya ketika masyarakat menanyakan, toleransi dalam konteks agama, apakah ummat Islam harus mengucapkan selamat natal ketika ummat nasrani merayakannya? Kemudian baru dikatakan toleransi? Ataukah yang paling penting bagaimana sikap kita menyambut natal daripada sekedar ucapan?

Jadi cukuplah sudah kepura-puraan ini. Politisi tidak elok menggunakan segala cara dalam meraih elektabilitasnya sampai mengorbankan etika dan norma-norma agamanya. Katakan yang salah jika itu salah dan katakan benar jika itu benar. Tidak perlu mengatasnamakan toleransi lalu yang salahpun dikatakan benar atau juga sebaliknya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun