Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Penetrasi Politik Ideologis atau Pragmatis, Menentukan Jalan ke Istana

9 Desember 2018   07:38 Diperbarui: 10 Desember 2018   07:28 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kian menarik saja mengamati perkembangan politik nasional dalam ajang kampanye pilpres 2019. Jika diibaratkan menonton sebuah film action, alur ceritanya sedang menuju klimaks, anak mudanya kian percaya diri menghadapi para bandit jalanan.

Ya, hari ke hari diskursus capres mulai terlihat dan mengkristal pada hal-hal yang mendekati substansi.

Tentu saja atmosfir kempanye pilpres seperti itu sangat positif. Sehingga celoteh capres 02 Prabowo Subianto di negeri Singa tentang virus korupsi di Indonesia yang sudah mencapai stadium akhir, membuka tabir wacana anti korupsi.

"Peluru" Prabowo mengenai sasaran. Meskipun tidak bermaksud menembak kubu petahana. Namun sentilan Bowo (panggilan akrab Prabowo) tersebut membuat merah kuping Maruarar Sirait, Ahmad Basarah, dkk dari partai PDIP.

Meskipun menuai kecaman dari kubu lawan, bahkan dianggap sebagai pernyataan "meludah" kelangit dan jatuh mengenai wajah sendiri. Prabowo tidak terlalu ambil pusing. Karena menurut kubu oposisi itulah faktanya. Bahaya korupsi kini semakin kronis, secara perlahan namun pasti, telah menggerus ideologi bangsa.

Secara umum ideologi dapat dikatakan sebagai kumpulan ide-ide dasar, gagasan, keyakinan dan kepercayaan yang sifatnya sistematis sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.

Ideologi bagaikan nafas yang memberikan energi. Ia mampu melahirkan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat bagi mereka yang meyakininya. Kemenangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan dari tangan penjajah disebakan ideologi.

Tak ada yang bisa meruntuhkan kekuatan dan kecongkakan kolonialisme kecuali dengan ideologi. Bahkan Bung Karno meyakini ideologi adalah alat perjuangan. Dan hal ini terbukti pada ummat muslim. Dengan ideologi Islam (jihad) menjadi spirit perjuangan melawan ketidakadilan dan kedhaliman. Hanya ideologi yang bisa menghadapi kekuatan uang, senjata, dan kekuasaan.

Dalam konteks politik, lebih tepatnya pilpres 2019. Realitas social-politic saat ini dapat dipotret sedikitnya melalui, pertama; politik ideologis, dan kedua; politik pragmatis. Politik ideologis bercirikan konsep dan pemikiran kenegaraan yang mengakar pada nilai-nilai. Sedangkan politik pragmatis menekankan pada kepraktisan, dan kemanfaatan. Kedua model politik tersebut, dua-duanya baik.

Politik ideologis sudah ada sejak lama. Zaman klasik politik ideologis lebih berpengaruh daripada politik pragmatis. Pada tataran dunia, tokoh politik ideologis sangat mudah ditemukan dalam literatur-literatur sejarah dan ilmu politik (disarankan baca sendiri).

Di Indonesia sendiri juga praktek politik ideologis mulai diterapkan oleh pemerintah orde lama, bahkan sejak masa pra kemerdekaan. Soekarno salah satu adalah tokoh politik nasional yang menjalankan politik ideologis. Tesis ini dapat kita buktikan misalnya melalui artikel yang ditulisnya pada tahun 1926 tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Tiga ideologi itulah bagi Soekarno sebagai alat politik yang digunakan untuk mewarnai bangsa Indonesia, sedangkan ideologi Pancasila, bagi Soekarno merupakan ideologi negara, dan bukan ideologi politik. Jadi harus dapat dibedakan antara ideologi negara dengan ideologi politik.

Bauran ideologi politik tersebut kemudian oleh Presiden Republik Indonesia pertama itu mengkristal menjadi Nasakom. Ideologi ini mewakili ideologi nasionalis, agamais, dan komunis (marxisme).

Selanjutnya pada masa Soeharto sebagai penguasa setelah era orde lama. Politik ideologi juga dimainkan untuk menguatkan cengkraman kekuasaannya. Hanya saja Soerharto pada orde baru menjadikan Pancasila sekaligus sebagai ideologi politiknya. Yang menurut Soekarno tidak dapat dijadikan sebagai ideologi politik, oleh Soerharto justru Pancasila digunakan sebagai alat politik untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.

Pada masa sebelumnya pula gejala-gejala politik identitas, politik pragmatis, mulai muncul. Terutama sangat terlihat pada saat menjelang orde baru tumbang. Soeharto mulai dikultuskan. Hingga istilah azas tunggal dalam politik pun diperkenalkan. Hampir saja waktu itu Soeharto meletakkan makna Bhinneka Tunggal Ika secara sempit dalam konteks kebangsaan.

Pada masa orde baru pula politik ideologis bergeser ke arah dari Pancasilais ke Islamis. Ummat Islam menjadi titik tengah strategi politik Soeharto terutama pada periode keempat, kelima, ia berkuasa.

Sehingga tidak ada yang aneh mana kala sekarang ini kerab muncul politik ideologis, politik pragmatis, politik identitas, politik sembako, hingga sebutan politik macam-macam. Karena hal itu sudah ada sejak dulu. Saya melihat capres 02 mewakili politik ideologis, Prabowo Subianto selalu mengawali pembicaraannya dengan soal kebangsaan, kedaulatan, narasi kerakyatan, dan ideologi ekonomi kemandirian. Ciri-ciri ini menandakan ia sebagai pengusung politik ideologis.

Begitu pula pasangannya Sandiaga Uno. Dalam banyak kesempatan dan ke setiap safari politiknya ke berbagai daerah, selalu menyampaikan gagasan dan buah pikiran yang koheren dengan nilai-nilai kebangsaan, kedaulatan, dan ekonomi berkeadilan.

Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terlihat dalam safari politik pasangan 02 melakukan pembagian sembako, bagi-bagi beras, minyak goreng, atau apa yang disebut dengan politik sembako.

Memilih strategi politik ideologis memang ada resikonya. Biasanya tokoh yang menganut politik ideologis terlihat sangat kaku, serius, dan sering tidak disukai. Salah satu contoh tokoh politik ideologis selain Prabowo Subianto adalah Megawati Soekarnoputri.

Mungkin karena mengikuti jejak politik ayahnya, Megawati Soekarnoputri masih memegang teguh ideologi politik  Marhainisme. Ideologi politik yang dianut oleh PNI pada masa Soekarno. Resiko bagi Megawati dan partai PDIP adalah tidak disukai, meskipun Megawati berkata benar secara ideologi politik.

Jika Anda masih ingat ketika Megawati dan Prabowo Subianto berpasangan dalam pilpres 2009 hingga tidak terpilih. Saya menduga karena keduanya memiliki ideologi politik yang berbeda, sehingga penetrasi pasangan ini ditengah-tengah masyarakat menjadi tidak solid.

Berbeda halnya dengan pasangan 01, Jokowi-Ma'ruf keduanya sangat kentara terlihat sebagai praktisi politik. Jokowi tidak memiliki basis ideologi politik yang kuat dalam dirinya. Dalam tataran PDIP pun Jokowi bukanlah tokoh sentral ideologis partai. Bahkan secara politik Ideologis Jokowi masih ketinggalan dari Maruarar Sirait.

Jokowi juga bukan kader "anak" didik Megawati. Meskipun sebagai anggota partai PDIP, maka pernyataan Megawati bahwa Jokowi hanya sebagai petugas partai, benang merahnya adalah pada soal ideologis politik partai PDIP yang tidak dimiliki oleh Jokowi.

Namun disisi lain, masyarakat Indonesia mulai gerah dengan hal-hal ideologi. Dengan mengalami kekecewaan berat pada masa orde baru. Rakyat Indonesia menginginkan sesuatu yang praktis, tidak banyak retorika, dan nyata saat ini.

Gejala masyarakat yang seperti ini kemudian dibaca oleh Jokowi sebagai peluang politik. Langkah awal mulailah dari posisi Walikota Solo. Jokowi memilih memainkan politik identitas. Dengan menampilkan diri dalam wajah kesederhanaan, lugu, dan tidak banyak teori-teori ideologi. Hasilnya ia pun bisa melangkah sampai menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Jadi keterpilihan Jokowi pada kontestasi politik daerah dan nasional bukan karena telah begitu banyak prestasi yang dilakukannya. Namun karena rakyat telah jenuh dengan politik ideologis yang selama ini terbukti tidak sejalan dengan konsep atau gagasan yang diucapkan. Rakyat menganggap politik praktislah menjadi jaan keluarnya.

Pada pilpres 2019, potret politik diatas terjadi reinkarnasi. Baik Prabowo Subianto maupun Jokowi mencoba mengulang kembali strategi politik lama yang telah mengantarkan mereka menjadi pimpinan tertinggi. Prabowo terbukti mampu mendirikan partai dan membesarkannya.

Sedangkan Jokowi masih mengandalkan politik praktis dengan istiqamah bagi-bagi sembako, bagi-bagi sepeda, Bagi-bagi sertipikat, bagi-bagi anggaran kelurahan, dan cara berpikir pragmatis.

Jujur saja menurut hemat saya, sekiranya Jokowi tidak didukung oleh PDIP, maka ia hanya akan dikenal sebagai politisi yang didukung oleh kekuatan modal. Tesis ini bisa kita lihat pada Pilgub DKI Jakarta ketika ia berpasangan dengan Ahok. Siapa dibelakang mereka? Publik sudah tahu. Ya, para Taipan sang pemilik modal.

Lain pula Ma'aruf Amin, politisi gaek dari kalangan santri. Yang sejak pensiun sebagai politisi beberapa dekade yang lalu. Praktis hanya mengurusi pesantren dan menjadi Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI). Pada usianya yang sudah uzur, posisinya hanya sangat terhormat sebagai penasehat presiden.

Namun oleh Jokowi diangkat sebagai calon wakil Presiden. Ma'aruf Amin tergolong politisi berideologi Islamis. Karena dianggap memiliki pengaruh yang mengakar ke bawah terutama dikalangan santri dan ulama. Maka keberadaan Ma'aruf Amin dalam pusaran politik ideologis Marhainisme PDIP menjadi penyeimbang bagi kekuatan Jokowi dengan politik pragmatis yang ia jalankan.

Dengan demikian dapat saya katakan, polarisasi strategi politik kubu petahana adalah perpaduan antara politik ideologis (Marhainisme, Nasionalis-Agamais), Politik Identitas, dan Politik Pragmatis ala Jokowi.

Kubu ini boleh mengatakan jangan politisasi agama, namun faktanya Ma'aruf Amin dipilih justru untuk memainkan politik agama. Budiman Sujatmiko boleh mengatakan hentikan politik identitas namun nyatanya Jokowi selalu disebut-sebut sebagai presiden yang paling beprestasi sepanjang sejarah Indonesia.

Saya rasa cukup sekian dulu ya. Jangan terlalu panjang. Jadi kita nikmati saja permainan ini dan sama-sama nantikan, siapakah yang bakal melenggang ke istana. Politisi Ideologiskah atau politisi pragmatis? Sekali lagi, dua-duanya baik. Salam.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun