Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Penetrasi Politik Ideologis atau Pragmatis, Menentukan Jalan ke Istana

9 Desember 2018   07:38 Diperbarui: 10 Desember 2018   07:28 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi liputan6.com

Berbeda halnya dengan pasangan 01, Jokowi-Ma'ruf keduanya sangat kentara terlihat sebagai praktisi politik. Jokowi tidak memiliki basis ideologi politik yang kuat dalam dirinya. Dalam tataran PDIP pun Jokowi bukanlah tokoh sentral ideologis partai. Bahkan secara politik Ideologis Jokowi masih ketinggalan dari Maruarar Sirait.

Jokowi juga bukan kader "anak" didik Megawati. Meskipun sebagai anggota partai PDIP, maka pernyataan Megawati bahwa Jokowi hanya sebagai petugas partai, benang merahnya adalah pada soal ideologis politik partai PDIP yang tidak dimiliki oleh Jokowi.

Namun disisi lain, masyarakat Indonesia mulai gerah dengan hal-hal ideologi. Dengan mengalami kekecewaan berat pada masa orde baru. Rakyat Indonesia menginginkan sesuatu yang praktis, tidak banyak retorika, dan nyata saat ini.

Gejala masyarakat yang seperti ini kemudian dibaca oleh Jokowi sebagai peluang politik. Langkah awal mulailah dari posisi Walikota Solo. Jokowi memilih memainkan politik identitas. Dengan menampilkan diri dalam wajah kesederhanaan, lugu, dan tidak banyak teori-teori ideologi. Hasilnya ia pun bisa melangkah sampai menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Jadi keterpilihan Jokowi pada kontestasi politik daerah dan nasional bukan karena telah begitu banyak prestasi yang dilakukannya. Namun karena rakyat telah jenuh dengan politik ideologis yang selama ini terbukti tidak sejalan dengan konsep atau gagasan yang diucapkan. Rakyat menganggap politik praktislah menjadi jaan keluarnya.

Pada pilpres 2019, potret politik diatas terjadi reinkarnasi. Baik Prabowo Subianto maupun Jokowi mencoba mengulang kembali strategi politik lama yang telah mengantarkan mereka menjadi pimpinan tertinggi. Prabowo terbukti mampu mendirikan partai dan membesarkannya.

Sedangkan Jokowi masih mengandalkan politik praktis dengan istiqamah bagi-bagi sembako, bagi-bagi sepeda, Bagi-bagi sertipikat, bagi-bagi anggaran kelurahan, dan cara berpikir pragmatis.

Jujur saja menurut hemat saya, sekiranya Jokowi tidak didukung oleh PDIP, maka ia hanya akan dikenal sebagai politisi yang didukung oleh kekuatan modal. Tesis ini bisa kita lihat pada Pilgub DKI Jakarta ketika ia berpasangan dengan Ahok. Siapa dibelakang mereka? Publik sudah tahu. Ya, para Taipan sang pemilik modal.

Lain pula Ma'aruf Amin, politisi gaek dari kalangan santri. Yang sejak pensiun sebagai politisi beberapa dekade yang lalu. Praktis hanya mengurusi pesantren dan menjadi Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI). Pada usianya yang sudah uzur, posisinya hanya sangat terhormat sebagai penasehat presiden.

Namun oleh Jokowi diangkat sebagai calon wakil Presiden. Ma'aruf Amin tergolong politisi berideologi Islamis. Karena dianggap memiliki pengaruh yang mengakar ke bawah terutama dikalangan santri dan ulama. Maka keberadaan Ma'aruf Amin dalam pusaran politik ideologis Marhainisme PDIP menjadi penyeimbang bagi kekuatan Jokowi dengan politik pragmatis yang ia jalankan.

Dengan demikian dapat saya katakan, polarisasi strategi politik kubu petahana adalah perpaduan antara politik ideologis (Marhainisme, Nasionalis-Agamais), Politik Identitas, dan Politik Pragmatis ala Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun