Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Penetrasi Politik Ideologis atau Pragmatis, Menentukan Jalan ke Istana

9 Desember 2018   07:38 Diperbarui: 10 Desember 2018   07:28 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi liputan6.com

Tiga ideologi itulah bagi Soekarno sebagai alat politik yang digunakan untuk mewarnai bangsa Indonesia, sedangkan ideologi Pancasila, bagi Soekarno merupakan ideologi negara, dan bukan ideologi politik. Jadi harus dapat dibedakan antara ideologi negara dengan ideologi politik.

Bauran ideologi politik tersebut kemudian oleh Presiden Republik Indonesia pertama itu mengkristal menjadi Nasakom. Ideologi ini mewakili ideologi nasionalis, agamais, dan komunis (marxisme).

Selanjutnya pada masa Soeharto sebagai penguasa setelah era orde lama. Politik ideologi juga dimainkan untuk menguatkan cengkraman kekuasaannya. Hanya saja Soerharto pada orde baru menjadikan Pancasila sekaligus sebagai ideologi politiknya. Yang menurut Soekarno tidak dapat dijadikan sebagai ideologi politik, oleh Soerharto justru Pancasila digunakan sebagai alat politik untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.

Pada masa sebelumnya pula gejala-gejala politik identitas, politik pragmatis, mulai muncul. Terutama sangat terlihat pada saat menjelang orde baru tumbang. Soeharto mulai dikultuskan. Hingga istilah azas tunggal dalam politik pun diperkenalkan. Hampir saja waktu itu Soeharto meletakkan makna Bhinneka Tunggal Ika secara sempit dalam konteks kebangsaan.

Pada masa orde baru pula politik ideologis bergeser ke arah dari Pancasilais ke Islamis. Ummat Islam menjadi titik tengah strategi politik Soeharto terutama pada periode keempat, kelima, ia berkuasa.

Sehingga tidak ada yang aneh mana kala sekarang ini kerab muncul politik ideologis, politik pragmatis, politik identitas, politik sembako, hingga sebutan politik macam-macam. Karena hal itu sudah ada sejak dulu. Saya melihat capres 02 mewakili politik ideologis, Prabowo Subianto selalu mengawali pembicaraannya dengan soal kebangsaan, kedaulatan, narasi kerakyatan, dan ideologi ekonomi kemandirian. Ciri-ciri ini menandakan ia sebagai pengusung politik ideologis.

Begitu pula pasangannya Sandiaga Uno. Dalam banyak kesempatan dan ke setiap safari politiknya ke berbagai daerah, selalu menyampaikan gagasan dan buah pikiran yang koheren dengan nilai-nilai kebangsaan, kedaulatan, dan ekonomi berkeadilan.

Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terlihat dalam safari politik pasangan 02 melakukan pembagian sembako, bagi-bagi beras, minyak goreng, atau apa yang disebut dengan politik sembako.

Memilih strategi politik ideologis memang ada resikonya. Biasanya tokoh yang menganut politik ideologis terlihat sangat kaku, serius, dan sering tidak disukai. Salah satu contoh tokoh politik ideologis selain Prabowo Subianto adalah Megawati Soekarnoputri.

Mungkin karena mengikuti jejak politik ayahnya, Megawati Soekarnoputri masih memegang teguh ideologi politik  Marhainisme. Ideologi politik yang dianut oleh PNI pada masa Soekarno. Resiko bagi Megawati dan partai PDIP adalah tidak disukai, meskipun Megawati berkata benar secara ideologi politik.

Jika Anda masih ingat ketika Megawati dan Prabowo Subianto berpasangan dalam pilpres 2009 hingga tidak terpilih. Saya menduga karena keduanya memiliki ideologi politik yang berbeda, sehingga penetrasi pasangan ini ditengah-tengah masyarakat menjadi tidak solid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun