Meski belum sampai tiga bulan masa kempanye pemilu presiden tahun 2019 berjalan, yang dimulai 23 September lalu dan akan berakhir pada bulan April tahun depan, tidak ada hal yang mengesankan secara positif yang dirasakan oleh masyarakat secara luas terkait bahan kempanye pemilu yang pernah disampaikan oleh kandidat maupun pendukungnya.
Tidak mengesankan secara positif yang dimaksudkan adalah bahwa publik merasa selama ini tidak ada yang dapat mereka ingat dalam waktu yang lama tentang sesuatu sebagai buah pikiran yang bijak dari dua pasang calon presiden yang sedang bertarung. Sehingga kesan yang mendalam terhadap calon pemimpin tertinggi di negeri ini tidak berhasil diperoleh.
Ada yang menuding, calon yang satu asik menebar ketakutan dan pesimisme ditengah-tengah masyarakat, sedang pasangan yang satunya lagi selalu menebar rasa optimisme dan harapan, benarkah tudingan tersebut?Â
Jika diminta jujur, yang manakah dapat dipercaya? Ternyata memang bahan kempanye pemilu kali ini sangat membingungkan publik. Penilaian kelompok awam, konten kempanye beliau-beliau tidak berkualitas.
Bahkan menurut Ahmad Junaidi dalam tulisannya, Senin (23 Oktober 2018) yang publis KOMPAS.com mengatakan baik kubu Jokowi dan Prabowo sering kali mengeluarkan pernyataan dengan logika yang salah.Â
Ternyata bukan hanya tidak memiliki bahan kempanye yang "bergizi" bagi masyarakat, malah banyak pernyataan mereka yang dibangun atas logika yang salah.
Kekeliruan berlogika, atau logical fallacy bisa kita maknai sebagai kesalahan dalam penalaran yang sering kali muncul karena ketidakmampuan seseorang menghasilkan pernyataan yang memenuhi kaidah argumentasi logis dalam proses penyimpulan kebenaran.Â
Mungkin hal inilah yang menyebabkan komunikasi politik versi rakyat gagal dibangun, sehingga rakyat tidak merasa terkesan positif dengan konten kempanye.
Seharusnya yang namanya kempanye adalah kegiatan yang mengajak para pemilih untuk memberikan suaranya dengan pendekatan persuasif, membujuk, dan membangkitkan kesadaran positif. Dengan begitu, siapapun yang mendengarkan calon berkempanye, Â maka akan timbul daya tarik konstituen untuk menjatuhkan pilihan pada mereka.
Akan tetapi yang dirasakan oleh masyarakat saat ini justru sebaliknya. Narasi negatif dan diksi yang saling memojokkan sering menjadi bentuk penyampaian maksud komunikator, dalam hal ini Jokowi dan Prabowo Subianto beserta pendukung masing-masing capres.
Barangkali masyarakat masih ingat dengan kaos ganti presiden, bagaimana tanggapan capres 01, kemudian muncul lagi 'sontoloyo', 'genderuwo', 'tampang Boyolali', dan lain sebagainya. Lalu diksi-diksi tersebut diolah sedemikian rupa menjadi peluru untuk menyerang lawan. Lantas bagi masyarakat, apa manfaatnya coba?
Apakah dengan cara seperti itu para capres akan berhasil mengajak orang lain yang belum sepaham dan yakin pada ide-ide yang ditawarkan, dan mereka bersedia bergabung dan mendukungnya?Â
Jawabannya tentu tidak. Bahkan sebaliknya, justru masyarakat semakin tidak menyukai capres yang bicara ngelantur sana kemari tidak jelas arah seperti itu.
Semakin hari, kontestasi pilpres 2019 dirasa semakin mengkhawatirkan, terutama mengenai konten kampanye atau substansi yang mereka "jual" ke publik.Â
Kampanye pilpres yang sejatinya menjadi ajang adu gagasan, rencana program, dan kreativitas justru berubah menjadi arena saling sindir, saling serang pernyataan, dan saling "baper" antara masing-masing pasangan calon.
Alih-alih kempanye diramaikan dengan hal-hal yang sarat pengetahuan dan kontestasi gagasan, misalnya bagaimana program kerja pemerintah jangka panjang menghadapi revolusi industri 4.0.Â
Jalannya kempanye pilpres 2019 justru lebih banyak banyak negatif dan kabar bohong. Suka mengklaim yang bukan prestasinya, dan menuding pihak lain sebagai biang kesalahan tidak maju-majunya negara ini.
Begitu pula orang-orang dilingkaran kedua kubu, baik petahana maupun kubu Prabowo-Sandi, dalam banyak kesempatan mereka sering berdebat pada persoalan-persoalan identitas paslon dan cenderung personal.
Misalnya dengan menjual popularitas pribadi yang tidak memberi dampak bagi kesejahteraan rakyat. Yang sebenarnya hal yang ditunggu-tunggu oleh rakyat adalah bagaimana capres mampu membawa Indonesia menjadi negara yang maju, makmur, dan mandiri serta berdaulat dimasa akan datang.
Banyaknya persoalan yang kini dihadapi oleh bangsa Indonesia akibat terjadi berbagai perubahan lingkungan global, mestinya menjadi dasar berpikir bagi kedua kubu mengolah menjadi sebuah kerangka berpikir strategis sebagai bahan kempanye untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam menghadapi berbagai potensi ancaman luar yang muncul, dan karenanya memberi dampak negatif bagi kehidupan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Akan tetapi yang justru saat ini dipertontonkan oleh tim kempanye nasional kedua paslon malah saling mencari kelemahan dan aib pribadi dari kedua capres. Hari-hari ini kubu Prabowo, melalui Titiek Soeharto mengkaitkan kubunya dengan kepemimpinan orde baru. Lalu dijawab oleh kubu Jokowi dengan mengatakan Soeharto sebagai guru korupsi.
Silang komunikasi yang sengaja dibangun oleh sistim demokrasi pilpres 2019 bertujuan untuk menjatuhkan. Terbukti dari konten-konten yang sangat satire dan seolah-olah kebenaran hanya ada pada satu kubu saja.Â
Padahal baik Soekarno, Soerharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, semua mereka adalah pemimpin nasional yang pernah berjasa bagi negeri ini. Oleh sebab itu tidak elok kalau politisi generasi sekarang justru mengatakan hal-hal buruk tentang mereka.
Bukan karena mereka orang-orang yang sempurna, namun kita perlu menghargai atas segala upaya yang telah diberikan. Adapun masalah hukum, korupsi, penyelewengan kekuasaan, penjualan aset-aset negara secara ilegal, silakan diproses dipengadilan.Â
Dan hal itu sudah dilakukan. Maka tidak sepantasnya kita mengungkit-ngungkit lagi masa lalu yang membuat bangsa Indonesia tersandera.
Inilah yang saya maksud bahwa secara konten, kalempanye pilpres 2019 mengalami kemunduran. Wajah mereka dihadapkan kebelakang atau melihat masa lalu.Â
Mereka membandingkan dirinya dengan masa lalu bukan dengan apa yang harus dicapai dimasa akan datang. Seyogyanya tim kempanye yang cerdas, ia akan mengukur posisi hari ini dalam melihat target-target masa depan sesuai dengan cita-cita proklamasi.
Saya sangat berharap disisa waktu masa kempanye ini, kedua tim dan seluruh pengusung dan pendukung dapat mengubah pola ini menjadi lebih berkualitas, mencerdaskan, dan memiliki kelas.Â
Tidak harus bahan kempanye itu dalam bentuk narasi yang sangat ilmiah, hingga masyarakat awam pun jadi tidak mengerti. Namun cobalah menyampaikannya dengan santun, beretika, beradab, jujur, jangan licik, apalagi berpura-pura.
Rakyat sangat mengapresiasi seperti kempanye yang dilakukan oleh Sandiaga Uno, yang kerap menyampaikan dengan santun, tenang, dan mengajak masyarakat untuk berpikir jernih.Â
Model seperti itu menurut saya perlu ditiru oleh Prabowo Subianto dan Jokowi sekalipun. Saya rasa sudah waktunya juga kita menghapus istilah cebong dan kampret dalam arus komunikasi antar kubu pendukung karena sebutan itu sangat tidak bijaksana dan mencoreng wajah bangsa ini.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H