Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perhatikan Hal Ini Jika Memilih Calon Legislatif pada Pemilu 2019

5 Desember 2018   22:31 Diperbarui: 5 Desember 2018   22:36 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi terbesar abad ini segera digelar. Dengan melaksanakan pemilu serentak pada waktu bersamaan dan menggabungkan pemilu presiden, DPR-RI, DPRD provinsi , DPR kabupaten/kota, dan DPD pada tanggal 17 April 2019 mendatang di seluruh Indonesia, membuat negara ini benar-benar menjadi sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.

Pemilu serentak pertama kali digelar di Indonesia diikuti oleh 20 partai politik terdiri dari 16 partai nasional (Parnas) dan 4 partai lokal (Parlok) dengan ambang batas parlemen (Parlementary Treshold) 4 persen atau lebih tinggi dari pemilu 2014 dan 2019. Dengan sistem pemilihan yang sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu proporsional terbuka. Para pemilih akan tetap bisa memilih langsung orang yang dikehendaki di kertas suara yang memampang nama calon dan partainya.

Pemilu terbesar ini dengan sasaran untuk memilih 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR), 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi 2.207 maupun DPRD Kabupaten/Kota 17.610 se-Indonesia periode 2019--2024.

Karena begitu banyaknya jumlah kursi calon anggota legeslatif yang diperebutkan oleh politisi dari perwakilan multipartai, maka membuat pemilu 2019 sangat rentan kecurangan. Akibatnya bisa membuat kualitas pemilu dan demokrasi tercederai. Pada akhirnya menghasilkan anggota legeslatif yang tidak berkualitas pula.

Oleh karena itu pihak penyelenggara pemilu yang sudah diberikan kewenangan oleh negara untuk mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Sesuai dengan konstitusi bahwa pihak penyelenggara pemilu di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dipundak merekalah masa depan bangsa ini ditentukan. Artinya jika kedua lembaga tersebut tidak kredibel dalam melakukan amanah ini dengan baik bahkan cenderung tidak transparan, maka nasib bangsa Indonesia dipertaruhkan.

Namun begitu peran serta masyarakat atau calon pemilih dalam rangka membantu meringankan tugas-tugas badan penyelenggara pemilu tak kalah pentingnya. Rakyat yang tahun depan sudah memenuhi syarat untuk melakukan hak pilihnya perlu menyeleksi siapa calon legeslatif yang bakal dipilihnya agar terhindar dari salah memilih calon anggota legeslatif.

Jika salah memilih, maka dampak buruk bagi bangsa ini adalah seluruh persoalan yang saat ini sedang dihadapi oleh republik berlambang garuda ini bakal tidak dapat diselesaikan. Diantara masalah berat yang sedang dihadapi bangsa Indonesia adalah soal korupsi, pengangguran, kemiskinan, perekonomian, narkoba, perdagangan orang, kejahatan seksual terhadap anak, dan persoalan rendahnya standar hidup.

Untuk menghindari kesalahan konstituen dalam memberikan suaranya kepada sang calon, perlu kiranya pemilih mengenal dengan baik setiap calon legislatif yang telah ditetapkan oleh KPU dengan memperhatikan hal-hal seperti ini.

Jangan pilih koruptor

Meskipun peraturan KPU (PKPU) tentang pelarangan politisi mantan napi koruptor untuk ikut pemilu legislatif 2019 urung dilaksanakan. Namu rakyat harus memiliki gerakan moral dalam dirinya sendiri dan sekaligus mengajak orang lain untuk tidak memilih caleg yang sudah terbukti pernah melakukan kejahatan korupsi.

Selain caleg yang sudah pernah dihukum karena kasus korupsi, yang saat ini caleg memperlihatkan dirinya memiliki dorongan untuk melakukan korupsi juga tidak dipilih. Ciri-ciri caleg yang memiliki "bakat" untuk melakukan korupsi antara lain terlihat mendadak selama menjadi caleg sering memberikan uang kepada masyarakat atau bentuk "penyuapan" lainnya.

Pengguna narkoba atau pengedar narkoba

Dalam beberapa kasus yang ada di Indonesia, bahkan polisi dan Badan Narkotika Nasional (BNN) pernah menangkap dan mengajukan ke pengadilan beberapa anggota legeslatif aktif yang terbukti sebagai pengguna narkoba dan juga termasuk sebagai pengedar.

Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah pengguna narkoba pada tahun 2017 sebanyak 1,77 persen dari penduduk Indonesia atau sekitar 3,37 juta orang. Angka ini memang terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, meskipun begitu patut menjadi kekuatiran kita bersama.

Pelaku kejahatan seksual

Selain caleg mantan pelaku kejahatan korupsi, pengguna narkoba, ada satu lagi yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa yang telah disepakati oleh bangsa Indonesia adalah pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan.

Saat ini ancaman keselamatan anak dari para pelaku kriminal seksual sangat tinggi. Tak jarang anak-anak yang masih berusia bawah lima tahun (Balita) pun menjadi korban pelampiasan nafsu bejat mereka. Jika pelaku yang sudah dikenali namun masih lolos dari jeratan hukum, maka pantang memilih mereka sekiranya menjadi caleg.

Melihat angka tindak kekerasan seksual dari tahun ke tahun masih tinggi. Catatan Komnas Perempuan pada tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus. Data Komnas Perempuan menunjukkan jika angka tingkat kekerasan seksual yang menimpa kaum hawa masih tinggi. Pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus, di tahun 2015 tercatat 6.499 kasus dan tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus, pada tahun 2017, terdapat sebanyak 393 korban dan 66 pelaku.

Pernyataan Prabowo Subianto

Dalam sebuah acara forum ekonomi yang diadakan oleh para ekonomi dunai di Singapura beberapa hari lalu, Prabowo Subianto yang diundang menjadi pembicara utama pada even tersebut. Dengan tegas mengatakan bahwa tindakan kejahatan korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium empat.

Menurut Prabowo, Indonesia sudah masuk darurat korupsi. Pasalnya, dari pejabat negara, kalangan anggota Dewan, menteri hingga, hakim tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Isu utama di Indonesia sekarang adalah maraknya korupsi, yang menurut saya sudah seperti kanker stadium empat," ujarnya. Seperti dilansir oleh KOMPAS.com (28/12/2018).

Akibat pernyataan capres 02 tersebut di negeri berlambang Singa tersebut, membuat banyak pihak tidak senang. Bahkan politisi dari partai politik pengusung Jokowi dan pendukung pemerintah menuding Prabowo Subianto sedang bermanuver untuk mencari sensasi politik agar rakyat mau memilihnya.

Perbincangan meluas pun terjadi di media sosial, pro dan kontra tidak dapat dihindari. Sebagian warga net (netizen) menganggap pernyataan Prabowo Subianto sebagai sebuah fakta dan sangat faktual. Namun yang lainnya meragukannya dan menganggap hanya retorika politik belaka.

Terlepas dari hal itu, seyoganya sebagai rakyat yang memiliki hak pilih agar tidak salah memberikan suaranya kepada caleg yang berbakat melakukan korupsi apalagi jika sudah terbukti sebagai koruptor pada pemilu 2019 mendatang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun