Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan Masjid, Mengapa Menjadi Tertuduh?

29 November 2018   09:50 Diperbarui: 29 November 2018   10:17 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) merilis hasil riset terkait masjid-masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar radikalisme pada 18 Juli 2018 lalu, di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta. P3M menyebut dari 100 masjid yang diriset ada 41 masjid pemerintah terpapar radikal.

Kegiatan riset yang dilakukan oleh P3M bekerja sama dengan LSM Rumah Kebangsaan yang diketuai oleh Darmadi Durianto, anggota Komisi VI dari PDIP sebagai penyandang dana, bertujuan untuk memberdayakan masjid sebagai implementasi visi organisasi P3M.

Kemudian hasil riset ini dikutip Badan Intelijen Negara (BIN) dan bergulir menjadi polemik. Kontroversi temuan riset ini menjadi bahan diskusi masyarakat dan ummat Islam Indonesia. Beragam pendapat ummat dan kelompok masyarakat pun berkembang menjadi pro-kontra.

Sebagian masyarakat menilai hasil riset ini sangat tendensius dan mengada-ngada. Lalu mempertanyakan bagaimana metode riset ini dilakukan. Meskipun kegiatan riset sebagai kegiatan ilmiah, namun jika dilakukan dengan metodologi yang salah justru menghasilkan temuan yang salah dan sesat.

Barangkali P3M perlu menjelaskan kepada publik tentang metode risetnya, landasan teori dan bagaimana indikator radikalisme itu dibuat, apa parameternya dan siapa yang dijadikan responden, dan kapan itu dilakukan. Jika hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka hasilnya pun patut diragukan keilmiahannya.

Apalagi dalam suasana tensi kempanye pilpres yang meninggi, harusnya segala bentuk kegiatan yang bisa membuat gaduh masyarakat dapat dihindari, salah satunya adalah merilis masjid terpapar radikalisme, yang sebetulnya belum tentu hal itu benar.

Sebab kenapa? Masjid dalam ajaran Islam sangat tinggi posisinya. Masjid dalam Al-Quran disebutkan sebagai Rumah Allah, artinya masjid merupakan tempat suci dalam agama. Sebagaimana agama-agama lain juga memiliki tempat suci mereka yaitu rumah ibadah. Sehingga kesucian masjid tentu sangat dijaga oleh ummat Islam.

Sebagai Rumah Allah, masjid memiliki sangat banyak kelebihan dan keutamaan dalam pandangan agama. Bahkan mendirikan masjid saja tidak sama dengan niat seperti membangun rumah tempat tinggal. Semua ada etika, dan tata caranya. Hingga seseorang jika ingin memasuki masjid juga ada syarat dan rukunnya, termasuk apa yang boleh dibicarakan dan yang tidak boleh dibicarakan didalam masjid, semua ada petunjuk Al-Quran dan Hadits.

Misalnya syarat memasuki masjid harus dalam keadaan suci, bersih dari hadats dan nifas, tidak dalam keadaan menstruasi dan sangat utama jika dalam keadaan berwudhu. Tidak dianjurkan masjid dimasuki oleh orang  yang bukan beragama islam, dan lain sebagainya. Dengan demikian, seorang muslim yang taat pasti mereka mengetahui tentang ajaran ini.

Bahkan untuk menjaga kesucian masjid sangat dianjurkan pula agar tidak membuka aplikasi media sosial yang menampilkan gambar-gambar tidak pantas ketika seorang muslim berada didalam masjid. Padahal gambar tersebut didalam smartphonenya. Namun begitulah Islam mengajarkan ummatnya untuk menjaga kehormatan dan kesucian masjid sebagai Rumah Allah.

Fungsi masjid bagi ummat Islam bukan hanya sebagai tempat melakukannya ibadah yang bersifat ritual saja, seperti shalat, zikir, mengaji. Namun juga sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan dan budaya. Di masjid para jamaah disunnatkan untuk mendirikan majlis-majlis ilmu, melakukan berbagai kajian agama. Bahkan dizaman Rasulullah masjid juga berfungsi sebagai tempat membangun strategi politik Islam di masa peperangan.

Jadi harus dipahami oleh kita semua bahwa fungsi masjid dalam ajaran Islam bisa lebih luas dari sekedar rumah ibadah yang hanya tempat melaksanakan ritualitas. Yang terpenting adalah tidak boleh didalam masjid itu membicarakan, melakukan, dan berniat tentang hal-hal yang dilarang oleh agama. Misalnya, bermaksiat didalam masjid, membicarakan aib orang lain, keburukan orang lain, dan apalagi sebagai tempat menyebarkan fitnah dan kebohongan.

Jika hal itu ini dilakukan, maka berarti seseorang telah menodai kesucian masjid. Karenanya ia bisa berdosa. Bagaimana mungkin mereka menggunjing orang lain didalam Rumah Allah. Sedangkan Allah adalah Maha Suci yang terbebas dari segala dosa dan keburukan. Oleh sebab itu, maka sudah menjadi kewajiban setiap saudara muslim untuk mengingatkan, menasehati dan mencegah saudara-saudaranya yang lain agar tidak terjerumus pada keadaan tersebut.

Lalu mari kita lihat tentang radikalisme

Menurut KBBI radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis sikap ekstrem dalam aliran politik.

Sedangkan radikal itu sendiri jika dilihat dari asal katanya dalam bahasa Latin, istilah radikal berasal dari kata radix yang artinya akar. Sejalan dengan hal ini KBBI mengartikan istilah ini sebagai segala sesuatu yang sifatnya mendasar sampai ke akar-akarnya atau prinsipnya. 

Sampai disini kita bisa melihat bahwa istilah radikal itu bukan sesuatu yang negatif, bahkan sangat positif karena manusia perlu mengembangkan pola pikir kritis dan memiliki prinsip (sesuatu yang diyakini akan kebenarannya)yang menjadi dasar.

Sungguh sangat naif kalau ada seseorang yang menyatakan sebuah argumen namun jauh dari prinsip kebenaran. Nah didalam masjid, seseorang tidak boleh mengatakan sesuatu yang bukan kebenaran, meskipun terkadang menyatakan kebenaran dapat menyebabkan orang lain merasa tersinggung. Namun kebenaran tetaplah sebagai sebuah kebenaran.

Apalagi jika seorang Ustaz dalam menyampaikan khutbah atau tausiyah yang kemudian menggunakan ayat-ayat Al-Quran sebagai dasar argumentasi, maka ia harus mengupas sebuah persoalan sampai ke akar-akarnya. Karena dalam penjelasannya tersebut akan ditemukan sebuah kebenaran seperti yang diajarkan dalam Al-Quran.

Dengan begitu, kaitan radikalisme yang dimaksud oleh P3M dengan masjid sepatutnya bisa dijelaskan ke publik secara terbuka dan transparan, tidak boleh riset semacam ini bisa disamakan dengan survei elektabilitas politik. Pihak yang melakukan cenderung membuat calon yang diusung senang dengan hasil survei yang ia lakukan, kenapa karena sudah dibayar.

Lagi pula jika ada indikasi ustaz, atau penceramah yang diduga memiliki paham yang bertentangan dengan ideologi pancasila, maka hal itu tidaklah dapat digeneralisasikan kepada seluruh ustaz lain, apalagi dikaitkan dengan masjid. Tidak ada kaitannya sama sekali.

Secara logika Anda bisa berpikir, misalnya dikatakan Partai A adalah PKI, tentu saja bukan partainya, meskipun didalamnya ada orang-orang yang mungkin memiliki ketertarikannya pada ideologi PKI. Akan tetapi pada logika yang benar, tidaklah bisa dikatakan partai tersebut adalah PKI.

Begitu pula halnya hasil riset (yang belum tentu ilmiah) P3M yang mengatakan ada 41 masjid terpapar radikalisme (cap negatif) dari 100 masjid yang menjadi objek riset mereka. Jika hasilnya itu benar, tentu signifikan sekali, karena hampir 50 persen. Terus terang riset ini masih debatable dan masih perlu diuji publik.

Jika tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka sudah sepatutnya P3M ini dievaluasi dan dibina kembali agar tidak menjadi organisasi yang justru semakin membuat gaduh negeri ini. Mestinya juga BIN tidak langsung merilis kembali secara terbuka ke publik, idealnya melakukan kajian sendiri juga dengan memiliki parameter radikalisme yang ilmiah.

Namun begitu riset P3M ada sisi positifnya, paling tidak jika itu masjid pemerintah, maka pihak-pihak terkait bisa langsung melakukan evaluasi bersama. Masa masjid pemerintah bisa terpapar radikalisme (cap negatif)? 

Padahal masjid pemerintah lebih tertib dan memiliki standar yang jelas, baik isi khutbah, dan penceramahnya. Bahkan khutbah pun harus memiliki teks atau naskah tertulis yang sebelumnya sudah diberikan lebih dulu ke pengurus masjid.

Tetapi apapun, kita harus menyikapi semua hasil riset tersebut secara positif. Seperti kata Presiden Joko Widodo, jangan politisasikan agama, ulama tidak boleh berpolitik praktis. Maka sebagai rakyat kita pun perlu menghindari melakukan politisasi masjid dan cegah ulama untuk berpolitik praktis.

Salam***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun