Tragis sekali berita kematian seekor Paus jenis sperma (sperm wale) di perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara (Sultra), Senin (19/11/2018). Meskipun masih dalam penyelidikan lebih lanjut tentang penyebab kematian, namun sejumlah fakta ditemukan dilapangan dugaan sementara hewan tersebut menemui ajalnya karena banyak makan sampah plastik.
Hewan laut yang memiliki panjang 9,6 meter itu mengkonsumsi sebanyak 5,9 kg sampah plastik yang ditemukan didalam perutnya.Â
Sebagaimana diketahui sampah plastik tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan paus, berbeda halnya dengan tulang ikan misalnya, meskipun keras namun dapat dicerna.
Jika kita berkunjung ke pantai kerap kita menemui sampah plastik begitu bertebaran di sepanjang garis pantai. Polusi plastik seperti sudah menjadi pemandangan biasa ditengah-tengah masyarakat. Padahal sampah plastik sangat berbahaya. Selain merusak lingkungan juga berbahaya bagi hewan.
Kepala angkatan laut PBB Svensson kepada BBC News menjelang pertemuan tingkat tinggi PBB di Nairobi sebagaimana dilansir KOMPAS.com, (5/12/2017), mengatakan "ini adalah krisis planet. Setelah beberapa dekade yang singkat sejak manusia menggunakan plastik, kita justru merusak ekosistem kelautan."
Fenomena sampah plastik bukan hanya masalah yang sudah menjurus krisis di Indonesia bahkan hampir diseluruh dunia. Kini sampah plastik telah menjadi bagian utama penyebab kerusakan planet ini.Â
Oleh karena itu negara-negara didunia harus memikirkan secara lebih serius bagaimana upaya menghilangkan sampah plastik dari kerusakan lingkungan hidup.
Badan PBB untuk Program Lingkungan, United Nations Environment Programme (UNEP) mengungkapkan, kerugian yang timbul akibat pembuangan sampah plastik mencapai USD13 miliar atau Rp153 triliun per tahun dengan tingkat produksi plastik mencapai 280 juta ton yang diproduksi secara global setiap tahunnya.
Dari sebanyak itu, hanya sebagian kecil saja yang didaur ulang, selebihnya berakhir dilautan. Inilah yang menjadi pemicu terjadinya kerusakan lingkungan dan ancaman bagi hewan serta biota laut. Seperti yang dialami oleh paus di Wakatobi. Belum lagi dampak buruk bagi penyu, dan lain sebagainya.
Namun pernyataan sebaliknya, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Indonesia, Fajar Budiyono sampah plastik saat ini hanya sekitar 15% dari volume sampah yang ditemukan di tempat pembuangan akhir. Mayoritas sampah plastik dipungut justru menjadi bahan baku industri daur ulang.