Hebatnya lagi, pencoblosan belum dilakukan, namun tim kandidat pengusung sudah mengatakan jumlah suara yang akan mereka peroleh. Angkanya sudah dapat disebutkan. Lha bagaimana mereka menghitungnya? Memang angka tersebut masih berupa perkiraan atau taksiran, namun itukan bagian dari gambaran bahwa orang sudah secara terang-terangan menyatakan pilihannya ke publik.
Dengan demikian prinsip Luber Jurdil sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Gejala ini tentu tidak berdiri sendiri, pasti ada sebab akibat. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika para kandidat terutama, tim sukses, dan pihak yang sedang berkompetisi tidak memaksakan kehendaknya kepada masyarakat dengan cara-cara yang tidak etis.
Sangat bagus jika ada kesepakatan secara jujur antara para kandidat dan tim untuk tidak menggunakan cara-cara kempanye yang melanggar hukum dan etika. Seperti money politik, kempanye hitam, tidak menyebar hoak, tidak menyalahgunakan kekuasan untuk keuntungan kelompoknya saja, dan sepakat menciptakan suasana damai dan kondusif.
Namun sepakat saja tidak cukup. Harus juga diikuti dengan komitmen tinggi dalam implementasinya. Mulai dari tingkat atas atau elit hingga turun ke bawah. Jangan sampai hanya pencitraan saja atau bahkan sebagai alat kebohongan untuk meraih simpati.
Kalau semua itu dapat diwujudkan, maka kualitas pemilu presiden dan legeslatif tahun depan menjadi lebih produktif dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari rakyat.
Salam***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H