Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masihkah Kita Memegang Prinsip "Luber Jurdil" Dalam Melaksanakan Pemilu?

11 Oktober 2018   06:42 Diperbarui: 11 Oktober 2018   09:20 15796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam mengimplementasikan sistim demokrasi yang dianut oleh negara kita sesuai dengan konstitusi. Telah mengharuskan Pemerintah Indonesia melakukan pilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun. Pemilu tersebut merupakan mekanisme pergantian kepemimpinan nasional lima tahunan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Sebagai salah satu negara demokrasi besar dunia, Indonesia selalu menjadi perhatian negara-negara lain sebagai acuan atau model pelaksanaan sistim demokrasi yang baik dan berkualitas. Hal ini dapat dilihat ketika menjelang pelaksanaan pemilihan umum selalu ada tim pemantau dari negara-negara asing yang ingin melihat secara langsung bagaimana pesta demokrasi Indonesia berjalan.

Meskipun hari pencoblosan pemilu presiden dan legeslatif baru akan dilakukan pada bulan April 2019 nantinya, namun tahapan pemilu itu sendiri sudah mulai berjalan. Bahkan dalam waktu dekat, sudah memasuki masa kempanye para calon.

Pesta demokrasi lima tahunan ini tergolong kegiatan sakral dan maha penting dalam sistim ketatanegaraan Indonesia. Seyogyanya tidak boleh ada hal yang dapat mencederai segala nilai-nilai kesakralan tersebut. Misalnya tidak boleh ada darah yang tumpah, korban nyawa, sampai gangguan yang lain.

Semestinya dan seharusnya pemilu itu dilaksanakan dengan penuh khidmat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, merdeka, kebebasan menentukan pilihan, dan rahasia. Prinsip ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia yang sudah dijalankan sejak dulu.

Dengan memegang teguh prinsip atau asas pemilu Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil) atau yang kita sering dengar dengan istilah Pemilu Luber Jurdil dapat membuat pilpres dan pileg Indonesia semakin berkualitas.

Namun menurut amatan saya dalam beberapa kali pemilu paska orde reformasi. Azas Luber Jurdil mulai terkikis atau tergerus, tampak memudar dan seakan-akan tidak ada lagi kerahasiaan. Banyak bukti yang kita dapatkan dilapangan untuk menguatkan argumentasi ini.

Meskipun tidak dapat kita katakan masif dan terstruktur, namun di banyak daerah telah terindikasi bahwa prinsip luber jurdil sudah berkurang bahkan tidak adalagi kejujuran, kebebasan menentukan pilihan, dan bahkan terjadi intimidasi terhadap para pemilih. Celakanya peristiwa seperti ini terjadi didalam bilik tempat pemungutan suara (TPS).

Fakta ini adalah bukti nyata bahwa penyelenggaraan pemilu kita sudah berubah dari prinsip dasar yang disepakati. Masyarakat juga sudah mengganggap pemilu itu hanya pura-pura atau permainan politik sekelompok elit penguasa atau golongan tertentu saja. Bukan lagi mekanisme sakral prosesi pergantian kepemimpinan nasional yang jujur, bersih, dan adil.

Lihatlah sekarang ini. Fenomena dukung mendukung kian vulgar diperlihatkan oleh para simpatisan, partai pendukung, termasuk juga kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) secara terang-terangan menyatakan keberpihakannya. Dengan mengatasnamakan demokrasi, mereka tidak lagi mempertimbangkan prinsip Luber Jurdil.

Barangkali sikap tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang. Namun apakah hal itu bernilai baik terhadap kualitas pemilu? Dan bagaimana dampaknya terhadap sosial politik masyarakat? Apakah tidak sebaiknya soal dukung mendukung itu menjadi domain parpol pengusung saja?

Hebatnya lagi, pencoblosan belum dilakukan, namun tim kandidat pengusung sudah mengatakan jumlah suara yang akan mereka peroleh. Angkanya sudah dapat disebutkan. Lha bagaimana mereka menghitungnya? Memang angka tersebut masih berupa perkiraan atau taksiran, namun itukan bagian dari gambaran bahwa orang sudah secara terang-terangan menyatakan pilihannya ke publik.

Dengan demikian prinsip Luber Jurdil sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Gejala ini tentu tidak berdiri sendiri, pasti ada sebab akibat. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika para kandidat terutama, tim sukses, dan pihak yang sedang berkompetisi tidak memaksakan kehendaknya kepada masyarakat dengan cara-cara yang tidak etis.

Sangat bagus jika ada kesepakatan secara jujur antara para kandidat dan tim untuk tidak menggunakan cara-cara kempanye yang melanggar hukum dan etika. Seperti money politik, kempanye hitam, tidak menyebar hoak, tidak menyalahgunakan kekuasan untuk keuntungan kelompoknya saja, dan sepakat menciptakan suasana damai dan kondusif.

Namun sepakat saja tidak cukup. Harus juga diikuti dengan komitmen tinggi dalam implementasinya. Mulai dari tingkat atas atau elit hingga turun ke bawah. Jangan sampai hanya pencitraan saja atau bahkan sebagai alat kebohongan untuk meraih simpati.

Kalau semua itu dapat diwujudkan, maka kualitas pemilu presiden dan legeslatif tahun depan menjadi lebih produktif dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari rakyat.

Salam***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun