Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diskusi Ekonomi, Politik, Dolar yang Menguat sebagai Pengantar Kopi Pagi

8 September 2018   08:12 Diperbarui: 8 September 2018   08:58 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"hadirnya pagi pertanda masih ada kehidupan, seperti hadirnya sebuah harapan baru untuk masa depan yang lebih baik".

Kita selalu diajarkan untuk memiliki sikap positif dalam berbagai perspektif. Sikap positif menandakan bahwa seseorang masih mempunyai cara berpikir yang rasional, wajar, dan dapat diterima akal sehat. 

Belakangan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa aneh (diluar dugaan) diberbagai tempat. Baik dalam konteks ekonomi, politik, hingga sosial dan bencana alam. Terhadap semua fenomena tersebut, seseorang memerlukan sebuah sikap positif untuk menilai dan menerimanya.

Dalam bidang ekonomi, peristiwa "mengamuknya" nilai tukar dollar terhadap rupiah hingga 15000 per USD. Hampir membuat ekonomi Indonesia kolaps. Atas gejolak ini, pemerintah pun mengambil berbagai langkah strategis untuk jangka pendek. 

Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar sebenarnya bukanlah hal luar biasa. Sudah sering terjadi, fluktuasi nilai tukar selalu bergerak naik atau turun, melemah atau menguat. "drama" monetary selalu diwarnai dengan cerita seperti ini. Jadi publik pun tidak perlu merasa heran. 

Tergereknya nilai dollar terhadap rupiah yang begitu jauh keatas, disebabkan oleh banyak faktor. Bukan hanya faktor eksternal namun juga internal. Para pakar makroekonomi telah sering meningatkan agar pemerintah harus hati-hati (prudent) dalam mengelola perekonomian nasional. 

Ekonom Faisal Basri misalnya, dalam banyak kesempatan diberbagai forum ekonomi mengingatkan pemerintahan Joko Widodo tentang persoalan energi, pajak, eksport dan import Indonesia yang menurutnya tidak efesien dan cenderung mengganggu keuangan negara. Termasuk mengkritisi hutang negara yang kian meningkat. 

Namun kritik tetaplah dianggap kritik, tidak dapat diubah menjadi nasehat. Para pengamat ekonomi yang sebelumnya kuatir laju dollar terhadap rupiah pun telah memberikan advise-nya mengenai neraca perdagangan yang tidak berimbang antara ekspor dan impor. Hingga transaksi berjalan pun mengalami defisit. Yang pada akhirnya mengurangi devisa yang ada. 

Itu pulalah yang mempengaruhi melemahnya rupiah terhadap dollar, jika dilihat dari sisi internal. Ditambah lagi investasi langsung dan maupun portofolio yang masuk ke Indonesia dalam periode Juni dan Agustus 2018 mengalami penurunan dari periode sebelumnya. 

Pembangunan infrastruktur yang dituding jor-joran dan tanpa melalui sebuah perencanaan yang matang juga menjadi penyebab meningkatnya utang. (karena pembangunan infrastruktur dibiayai dengan utang),---meskipun data ini masih diragukan oleh publik--. Ikut mempengaruhi susahnya perekonomian Indonesia. 

Namun apapun cerita dan drama yang dibangun oleh beberapa kalangan yang memiliki kapasitas dibidang ekonomi. Saya sebagai rakyat biasa dan awam terhadap ilmu ekonomi (makro, moneter, dan kebijakan publik, mikro,) tidak memahami apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan perekonomian kita. 

Jika rakyat mendengar penilaian politisi yang memahami ekonomi mengatakan bahwa yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah, seolah-olah ekonomi Indonesia baik-baik saja keliru. Politisi menuding pemerintah tidak terbuka dalam hal ini. Kondisi yang sebenarnya adalah ekonomi nasional sedang sakit parah. 

Ntahlah, saya sebagai orang awam hanya tahu bahwa nilai tukar rupiah yang sudah mencapai 15000/USD tersebut sungguh mengkuatirkan. Maklum, kita pernah merasakan kondisi sulit dan getirnya ekonomi tahun 1998. Dimana waktu itu harga-harga pangan melonjak naik beratus kali lipat, bunga bank merangkak tinggi yang membuat nilai kredit (pinjaman) saya di bank menjadi gemuk. Dan sangat berharap semoga peristiwa itu tidak terulang kembali. 

Disisi lain, carut marutnya suasana sosial masyarakat Indonesia akibat kagaduhan politik yang selalu memanas, telah menambah kepanikan tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Dampak ini kemudian menjadi suasana tidak kondusif dalam konteks sosial ekonomi. 

Perdebatan tanpa makna yang sering terjadi antar kubu dalam kontestasi pemilihan presiden oleh peserta pemilu, lagi-lagi telah membuktikan kepada masyarakat awam bahwa baik pemerintah, partai politik, dan kelompok pemburu kekuasaan lainnya, mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri. 

Pemerintah yang saat ini sedang berkuasa asik dengan pencitraan dirinya, sibuk mengadakan safari politik kesana kemari. Kegiatan gerilya politik 2019 lebih kental terasa daripada mengatasi rupiah yang sedang babak belur. Bahkan pemerintah meminta kepada masyarakat untuk tidak panik karena nilai tukar rupiah masih normal. 

Disebelahnya, kubu opisisi juga yang sedang berjuang keras untuk mampu meraih kekuasaan di pilpres tahun depan, tak henti-hentinya "menyerang" lawan politiknya dengan berbagai isu ekonomi, hukum, dan kepemilikan asing atas aset-aset nasional. 

Berbagai kelemahan pemerintah dikritisi oleh kubu oposisi. Mereka konsisten menyuarakan pemerintahan tahun depan harus berubah dan lebih baik dari yang ada saat ini. Tentu saja yang mereka maksud adalah Jokowi cukup satu periode. 

Lalu kubu penguasa juga tidak tinggal diam. Sampai-sampai seorang Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pun mulai turun gunung. Seperi dalam sebuah wawancara di KompasTV beberapa hari yang lalu. LBP mengatakan bahwa persoalan ekonomi Indonesia saat ini adalah masalah tidak efesien. Begitu kata LBP ketika menjelaskan kepada koleganya politisi dari PAN, Gerindra, dan peneliti LIPI yang hadir sebagai narasumber juga bersama LBP.

Sehingga respon pemerintah terhadap gejolak nilai rupiah saat ini adalah membenahi tatakelola dan kebijakan agar ekonomi Indonesia menjadi lebih efesien. Termasuklah didalamnya soal energi, eskpor, impor, dan pengembangan industri wisata. Tujuannya adalah bagaimana memperbaiki defisit transaksi berjalan, memperbaiki neraca perdagangan. Sehingga menciptakan devisa. 

Bahkan untuk tahun depan LBP telah menghitung, Indonesia akan mampu menghemat milyaran dollar anggaran jika rencana pembatasan ribuan item impor Indonesia terutama barang-barang kebutuhan masyarakat banyak. Dan dengan menggenjot industri wisata, maka akan banyak devisa yang masuk dari para turis asing yang datang. 

Memang saat ini pemerintah harus lebih cepat bergerak, diperlukan cara-cara atraktif untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan merancang ekonomi jangka panjang. Tim ekonomi diharapkan dapat segera mengatasi gejolak ekonomi. Berhenti sementara waktu "berbohong" kepada publik tentang kondisi sesungguhnya.

Sekali lagi, sebagai orang awam ekonomi. Saya menilai, jika fundamental ekonomi Indonesia baik, maka hantaman ekonomi global (faktor eksternal) tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap mata uang dalam negeri. 

Hal ini bisa dibuktikan pada mata uang negara-negara lain di Asean. Meskipun juga jatuh terhadap USD namun tidak sebesar kejatuhan rupiah. Namun apa daya fundamentalitas ekonomi Indonesia tidak sebaik India misalnya. 

Bahkan kita bisa belajar dari Mereka termasuk India. Pertumbuhan ekonomi India tahunan untuk periode April hingga Juni 2018 mencapai 8,2% seperti dilansir oleh Asia Times. Dibawah kepemimpinan Narendra Modi sebagai perdana menteri. 

Pertumbuhan ekonomi India pada kuartal April-Juni 2018 adalah yang tertinggi dalam lebih dari dua tahun. Bukankah India juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia? 

Dengan mengamati apa yang hari-hari terjadi. Masyarakat jadi berpikir ulang terkait dengan paket kebijakan ekonomi berjilid yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah sejak setahun lalu.  

Dengan mengusung semangat perubahan aturan investasi dan lain-lain secara radikal, dalam rangka untuk mempermudah investor menanamkan investasinya di Indonesia. Apakah kebijakan tersebut tidak berefek positifkah? Atau mengapa investasi yang masuk justru menurun? Malah yang terjadi capital outflow? Semoga rakyat bisa segera menemukan jawabannya. 

Akhirnya apapun yang terjadi marilah kita semua berpikir dan bersikap positif dalam menghadapi gejolak ekonomi saat ini. Kendalikan diri dalam menyebarkan berbagai isu yang bersifat meruntuhkan sebuah kepercayaan baik terhadap diri sendiri, bangsa dan negara. 

Wallahua'alam. Wasalam

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun