Dengan panen sebanyak itu, mereka mendapatkan omzet hingga 15-20 juta rupiah. Setiap masa panen biasanya pembeli langsung mengambil ikan ke kolam. Untuk penentuan harga, mereka memutuskan melalui proses tawar menawar. Dan sistim pembayaran yang selalu disepakati adalah cash and carry atau sistim tunai.Â
Akhirnya nelayan yang tergabung dalam kelompok usaha bersama di bawah binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Banda Aceh tersebut telah menikmati hasil usaha yang telah dilakukan bersama. Untuk pergi melaut menangkap ikan pun telah jarang mereka lakukan.Â
Inilah yang disebut dengan diversifikasi usaha nelayan. Melalui penciptaan sebuah kegiatan usaha baru, nelayan tidak terlalu bergantung pada penangkapan ikan saja, yang resiko atau ketidakpastiannya lebih tinggi. Apalagi jika musim angin tiba. Sudah pasti nelayan harus menambatkan perahunya dipinggir-pinggir pantai.
Jika demikian kondisinya, maka biasanya nelayan terjebak untuk hutang kepada toke atau juragan. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarga sementara pendapatan lain tidak ada.Â
Ini pula yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Kesejahteraan nelayan harus lebih baik dan meningkat. Tidak seperti sekarang ini, nelayan seperti tidak ada yang peduli. Belum lagi kebijakan pemerintah yang aneh-aneh soal kelautan dan perikanan.Â
Semoga kedepan nasib para nelayan kecil di Indonesia menjadi prioritas kebijakan. Sehingga masyarakat pesisir tidak selalu identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, terisolir, dan daerah tertinggal. Padahal negara Indonesia luas lautnya 2/3 dari daratan. Tapi kok nasib nelayan dan masyarakat pesisir tidak pernah maju.Â
Salam.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H