Berdasarkan pemantauan harga-harga kebutuhan rumahtangga di beberapa daerah perdesaan dalam Provinsi Aceh selama Juli 2018 oleh BPS, terjadi inflasi di perdesaan sebesar 0,95 persen.
Inflasi Perdesaan di Aceh lebih tinggi dari inflasi perdesaan secara nasional yang hanya mencapai 0,28 persen. Bahkan pula inflasi perdesaan Provinsi Aceh tertinggi di Sumatera yang mencapai 0,95 sedangkan inflasi perdesaan paling rendah adalah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sebesar 0,50 persen.
Kontributor inflasi di Pedesaan yang terjadi pada wilayah Provinsi Aceh selama Juli 2018, disebabkan oleh naiknya sejumlah kelompok barang dan jasa. Kenaikan tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan, terutama komoditas telur.Â
Selain itu, juga terjadi kenaikan harga komoditas sayur-sayuran seperti cabe merah dan bawang merah serta komoditas perikanan laut seperti tongkol dan kembung.
Kelompok pendidikan juga mengalami inflasi dengan dimulainya tahun ajaran baru. Demikian juga kelompok transportasi dan komunikasi dengan naiknya BBM dan biaya pulsa telepon selular.Â
Sedangkan kelompok yang mengalami deflasi adalah sandang dengan menurunnya permintaan masyarakat setelah lebaran idul fitri berakhir. Dengan demikian inflasi dapat menjadi penyebab mengapa kemiskinan di perdesaan meningkat.
Di Indonesia banyak orang mengalami ketidaktahanan pangan, hal ini dapat dilihat dari  besarnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, artinya seseorang itu tidak punya sumber daya yang cukup untuk mengkonsumsi 2.100 kilo kalori per hari dan  juga untuk membeli barang-barang penting non makanan seperti pakaian dan  rumah.
Menurut Menteri Dalam Negeri, dua pertiga penduduk mengkonsumsi kurang dari  2.100 kilo kalori per hari. Di Indonesia, ketidaktahanan pangan bukan disebabkan oleh kurangnya persediaan beras, tetapi kemampuan untuk membeli beras, dimana kebutuhan beras masih bisa dicukupi dan sisanya diimpor.
Semoga pemerintah bisa semakin menyadari bahwa kebijakan impor bukan hanya ikut menyumbang kemiskinan rakyatnya juga dapat mengerus devisa dan menjatuhkan nilai kurs rupiah.Â
Oleh karena itu selayaknya pempimpin negeri ini menata ulang kebijakan ekonomi makronya. Pengendalian dan penurunan inflasi bukan hanya untuk mengontrol harga namun juga harus dapat mendorong daya beli masyarakat.
Kita tidak ingin persoalan kemiskinan selalu menjadi isu seksi yang digoreng oleh para politisi setiap menjelang pemilu. Termasuk pemimpin yang sedang berkuasa, selalu mengolah angka statistik untuk kepentingan kelompoknya dengan mengabaikan statistic realitas.Â