Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia bahkan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis beberapa dekade yang lalu, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.Â
Selain menjadi sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan nasional, UMKM juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam lokal, sehingga sangat membantu upaya pengurangan pengangguran  yang berpengaruh pada penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM RI (2015) jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56 juta unit lebih dengan pertumbuhan rata-rata 2,38 persen setiap tahunnya. Sehingga secara kuantitas UMKM sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat karena jumlahnya mencapai 98,79 persen dari keseluruhan pelaku usaha di tanah air (Hamdani, 2016).Â
Dengan jumlah yang demikian besar tersebut UMKM mampu menyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar 58,05 persen dan menyerap tenaga kerja paling banyak. Sebab itu secara umum UMKM di Indonesia telah mendapatkan perhatian pemerintah secara lebih baik. Namun berbeda halnya dengan UMKM Aceh terkesan lagee glang lam uroe tarek (kondisi sulit) alias tidak berdaya.
Tidak Menguasai Pasar
Salah satu kunci keberhasilan UMKM adalah adalah tersedianya pasar bagi produk yang ditawarkan. Segmentasi konsumen besar dan memiliki daya beli yang kuat. Namun saat ini justeru UMKM Aceh kurang mampu mengembangkan pasar, lemah dalam persaingan dan kurang menguasai teknologi pemarasan.Â
Ditambah lagi berbiaya tinggi, buruknya sarana transportasi yang memiliki akses langsung ke sumber-sumber produksi juga menjadi hambatan bagi UMKM dalam mengakses pasar dengan efesien. Misalnya jalan dari tempat pendaratan ikan (TPI) Â menuju pasar kecamatan dan pasar kabupaten masih banyak yang belum beraspal bagus.
Menghadapi mekanisme pasar yang semakin terbuka dan kompetitif, penguasaan pasar merupakan prasyarat untuk keberlangsungan usaha jangka panjang. Oleh karena itu, peran pemerintah dan lembaga pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil diperlukan dalam rangka mendorong kemampuan UMKM untuk memperluas akses pasar melalui intervensi kebijakan kemitraan dan promosi produk UMKM secara masif dan meluas.
Dari sisi daya saing, UMKM bukan hanya lemah dalam akses pasar, namun dalam manajemen juga masih menjadi kendala klasik sehingga kapasitas kinerja usahanya tidak optimal. Sebagai contoh; usaha pertanian dan perikanan merupakan sektor usaha yang paling lemah dalam manajerial usaha sehingga produktivitasnya rendah dan tidak inovatif dalam tata kelola.
Barangkali hal ini sangat terkait dengan tingkat pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku usaha itu sendiri, namun yang perlu digaris-bawahi adalah bukan hanya persoalan pengetahuan (knowledge) tetapi juga masalah keahlian (skill). Dengan mempraktekkan tata kelola yang baik secara terus menerus sehingga pengetahuan berubah menjadi keahlian (skill).
Dalam konteks UMKM kita perlu mendorong pelaku usaha untuk terus menerus mau berlatih dan membiasakan diri menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam usahanya. Misal; membuat rencana produksi, rencana penjualan, pencatatan usaha, dan yang lebih penting adalah bisa menilai perkembangan usaha dalam perspektif manajemen dan bisnis.Â