Kemarin Jumat (22/6/2018) Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengumumkan PPh final UKM 0,5 persen dalam sebuah acara seremonial di Surabaya Jawa Timur. Hari ini beragam tanggapan pun bermunculan dari kalangan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dan koperasi di Banda Aceh.Â
Sebagaimana diberitakan tarif PPh UKM tersebut seyogyanya sebesar 1 persen namun kebijakan pemerintahan Jokowi menurunkan menjadi 0,5 persen. Jika dilihat sepertinya pemerintah berupaya membantu UKM dan koperasi. Tapi benarkah demikian?Â
Peluncuran pajak UKM didasari pada PP Nomor 46/2013. Peraturan pemerintah ini sendiri diterbitkan pada masa pemerintahan sebelumnya. Semangat keluarnya PP ini tentu saja sebagai bagian dari kebijakan pajak negara.Â
Dari sudut pandang pajak sebagai sumber pendapatan negara, pemerintah melalui kedaulatan yang diberikan oleh rakyat wajib mengelola negara ini dengan baik, memastikan keuangan negara tetap sehat dan menumbuhkan perekonomian.
Melalui pemungutan pajak, maka negara memperoleh pemasukan bagi APBN. Dengan anggaran tersebut pemerintah membiayai dirinya dan pembangunan. Sehingga semakin besar pendapatan dari sektor pajak, maka semakin besar kemampuan fiskal pemerintah melakukan belanja pembangunan.Â
Apalagi rasio pajak Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain. Tax rasio Indonesia baru mencapai kurang dari 30 persen. Bahkan menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih banyak sekali wajib pajak di Indonesia yang belum memiliki nomor peserta wajib pajak (NPWP), di dalamnya termasuk beberapa pengusaha.Â
Oleh karena itu peluang pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia sangat potensial dilakukan. Termasuk menyasar UKM dan koperasi yang selama ini abai terhadap kewajiban pajak.
Data Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia tahun 2015 memperlihatkan bahwa komposisi usaha di Indonesia didominasi oleh UMKM. Sedangkan usaha besar (UB) hanya berjumlah satu persen saja.Â
Di Aceh sendiri jumlah UMKM pada tahun 2015 mencapai 53 ribu unit. Angka tersebut sebanding dengan jumlah UMKM di Indonesia yang berjumlah 99 persen dari total usaha yang ada.Â
Dengan jumlah 50 juta unit lebih UMKM di negara ini merupakan potensi besar sebagai wajib pajak. Namun di sisi lain, meskipun secara kuantitas UMKM sangat besar akan tetapi secara kualitas UMKM di Indonesia masih sangat rendah, hal itu ditunjukkan dengan laporan kinerja usaha dan keuangan yang tidak produktif. Bahkan masih ada UKM yang tidak memiliki laporan keuangannya.
Berdasarkan permasalahan kondisi demikian, maka sangat wajar jika pemerintah tidak terlalu menargetkan pencapaian pajak lebih dahulu pada masa awal penerapan PP 46/2013 tersebut sambil melakukan pembinaan dan pendampingan usaha bagi UMKM dan koperasi sampai mereka mampu menyiapkan laporan keuangan yang standar.Â
Zuhra (41) pelaku UMKM yang memiliki kios ikan asin di pasar Desa Layuen menuturkan bahwa ia tidak mengetahui secara detil seperti apa pajak UKM tersebut. Ia hanya tahu informasi ini sekilas dari berita di TV. Zuhra mengaku jarang mengakses internet untuk baca-baca berita atau cari informasi. Selain karena tidak cakap internet juga didaerah tempat tinggalnya sangat susah akses jaringan internet.Â
Namun disinggung bagaimana tanggapan terhadap pemberlakuan pajak bagi UKM, menurutnya sebagai warga negara yang baik tentu saja kita harus ikuti aturan pemerintah dan patuh pada hukum. Apalagi jika pajak tersebut bermanfaat bagi negara dan pemberi pajak.Â
Ia mengaku sangat mendukung kebijakan Dirjen Pajak hendak memungut pajak dari UKM. Namun untuk usaha mikro hendaknya jangan dikenakan pajak dulu. Karena Zuhra melihat bahwa kebanyakan usaha mikro di Aceh bahkan Indonesia belum stabil atau usahanya masih belum jelas (berubah-berubah). Maksudnya belum tentu bertahan lama.Â
"Tetapi bagi UKM sudah lebih pasti. Sehingga sudah layak dikenai pajak, apalagi omset per tahun sudah mencapai milyaran. Wajarlah untuk taat pajak. Tidak seperti usaha ikan asin yang ia jalankan, hasil penjualan per tahun tidak sampai 100 juta," ungkap Zuhra.
Lain Zuhra, lain pula tanggapan salah seorang pengurus koperasi di kawasan Aceh Besar yang enggan menyebut namanya. Menurutnya, sebaiknya pemerintah berpikir kembali untuk mengutip pajak dari koperasi.Â
Koperasi memang jumlahnya sangat banyak di Indonesia, ratusan ribu unit jumlahnya dan bergerak diberbagai sektor ekonomi dan usaha. Tetapi koperasi yang benar-benar bagus sebagaimana diharapkan mungkin sangat sedikit, bisa dihitung. Bahkan sudah banyak juga koperasi yang sudah tutup atau dipaksa tutup oleh pemerintah karena tidak aktif atau vakum.Â
Rasanya pemerintah terlalu ambius mengejar target pendapatan negara. Apa tidak ada cara lain yang lebih bijak? Ia mempertanyakan kreativitas pemerintah terutama kementerian keuangan menciptakan sumber pendapatan negara diluar pajak. Ia tidak setuju koperasi dikenai pajak apalagi sebesar 0,5 persen dari omset.Â
Lalu ia menyarankan "Pemerintah justru lebih fokus meningkatkan kapasitas UKM dan koperasi agar lebih berdaya saing dan produktif. Ciptakan kredit lunak dan mudah diakses, berdayakan dan lakukan kebijakan proteksi (perlindungan) usaha dari persaingan global. Bukan malah menambahkan beban ekonomi mereka," demikian ia menjelaskan.Â
Namun apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, selalu saja ada pro dan kontra. Tetapi sebagai rakyat biasa tentu saja terkadang tidak punya pilihan lain kecuali terpaksa menerima dan menjalankannya.Â
Semoga kebijakan pengenaan pajak final bagi UKM yang baru saja diumumkan oleh pemerintah merupakan kebijakan yang tepat bagi semua pihak. Bukan menjadikan UKM sebagai sapi perahan untuk mendatangkan pundi-pundi uang bagi negara apalagi pajak untuk dikorupsi.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H