Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mudik, THR dan Persepsi Harga Diri Masyarakat Urban

11 Juni 2018   07:21 Diperbarui: 11 Juni 2018   09:36 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Hingga bahkan tidak peduli dengan nyawa sekalipun, berebut tempat di kereta, ada yang nekad pakai motor (honda, yamaha) dengan penumpang yang sangat banyak, tidak peduli. Yang penting bagaimana caranya bisa tiba di kampung halaman dan kumpul bersama sanak keluarga. Begitulah makna mudik bagi masyarakat Indonesia. 

Menjelang H-3 lebaran, peserta mudik kian mengular dijalan raya dan bandara. Kereta sudah penuh dan kehabisan gerbong, tiket ludes terjual. Kota pun mulai sepi dan terasa hampa, laksana kota tua yang tiada penghuninya. Namun tiba-tiba desa menjadi seperti kota yang ramai dengan penduduknya. Maka jadilah desa sebagai primadona. 

Hati masyarakat desa pun sangat bahagia menanti saudara, sanak keluarga tiba. Bagaikan musafir yang mendapatkan air untuk melepas dahaga, begitulah mereka ingin melepas rindu yang lama tersimpan.  Orang kota disambut dengan mulia, dinantikan dengan penuh suka cita. 

Bagi masyarakat di desa, kepulangan saudara-saudara dari perantauan berarti mereka menganggap hubungan masih ada. Apalagi jika yang mudik membawa cerita bahagia, memberikan sedikit tunjangan hari raya. Tentu saja sangat membantu meringankan beban yang ada. 

Memang tidak salah, kalau masyarakat urban dinilai lebih mulia dari mereka yang tidak mau keluar desanya untuk hidup mandiri diperantauan. Tidak sama nilainya antara mereka yang sukses di kota sebagai perantau dengan mereka yang didesa dan tidak kemana-mana. Itulah persepsi masyarakat kita. Maka kalau di daerah saya, tidak pergi merantau dianggap sebagai orang yang tidak punya nyali dan kelas dua. 

Mereka yang pulang dari rantau atau mudik, sangat dimuliakan apalagi jika mereka mampu berbagi rezeki dan menyumbang bagi warga yang membutuhkan saat mereka di kampung. Derajatnya semakin baik di mata masyarakat. Ini memang budaya yang barangkali bisa tidak sama antara satu desa dengan lainnya. 

Tetapi yang ingin saya sampaikan, mudik kini sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia di perantauan. Dengan semangat menyambut lebaran bersama keluarga besar tercinta, masyarakat urban pun rela menghabiskan sumber daya apa saja, yang penting bisa sampai di desa, kampung halamannya.

Mudik, THR dan sambutan mulia warga desa telah menambah budaya dan tradisi kita dalan melewati lebaran setiap tahunnya. Dan mudik yang membahana seantero dunia hanya ada di Indonesia. 

Selamat mudik, berhati-hatilah dijalan, patuhi aturan lalu lintas demi keselamatan dan kenyamanan bersama. Jangan lupa jaga kesehatan dan stamina agar sesampai di desa Anda tetap bugar dan ceria. Selalu berbagi dengan mereka yang tidak punya walaupun hanya sebait doa. Itu sudah lebih dari cukup apalagi jika bisa memberikan mereka Tunjangan Hari Raya (THR) tentu luar biasa. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun