Mohon tunggu...
Candudimuka
Candudimuka Mohon Tunggu... -

Anonim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narkoba itu Memang Perlu Perhatian Khusus

20 Agustus 2016   22:24 Diperbarui: 20 Agustus 2016   22:41 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Prolog

Inilah salah satu transkip pesan dari Freddy Budiman seorang terpidana mati dengan kasus Narkoba.

FB :  Kalau saya bilang, narkoba itu memang perlu perhatian khusus. Bukan dari harus dikecam, harus dihujat, “oh ini begini-gini . . .”

Wartawan : Contohnya salah satu apa?

FB  :  Pendekatannya aja secara manusia, buktinya bapak ini bisa ngasih tahu saya, komunikasi baik, saya ikutin kok aturannya. Bukan karna kita main narkoba tu . . . Semuanya itu karna keadaan aja

Tentu aku tidak akan membahas perihal isu yang cukup kencang saat ini tentang keterlibatan aparat Kepolisian dan BNN dalam transaksi narkoba. Hanya saja pesan tersebut mengingatkanku dengan apa terjadi beberapa bulan belakangan ini.

Saat itu aku berkunjung kerumah kontrakan teman, kebetulan disana kami terlibat diskusi singkat soal “Legalisasi Ganja”. Kami membahas beberapa negara yang sudah melakukan legalisasi ganja. Ada salah satu ucapan yang masih aku ingat hingga sekarang yaitu, “Negara yang maju itu adalah negara yang bisa mengontrol tanpa harus melarang.”

Ehmmm, oke aku simpan ucapan tersebut. Melalui artikel ini aku ingin mencoba sedikit flashback tentang pengalamanku. Diriku adalah anak muda biasa pada umumnya, melewati masa-masa wajib belajar 9 tahun, kemudian melanjutkan SMA, dan saat ini masih berkutat di perkuliahan. Aku tidak tahu apakah pengalaman yang akan aku ceritan ini cukup umum atau asing bagi kalian.

Sejak SMP aku sudah mencoba untuk mengonsumsi rokok dan minuman beralkohol, kemudian ketika SMA aku mulai rutin mengonsumsi barang tesebut. Hingga pada suatu ketika aku berkenalan dengan beberapa barang yang dikategorikan Narkoba, seperti ektasi, ganja, bahkan sabu, namun untuk barang yang terakhir aku sebutkan hanya sekali aku mengonsumsinya karna tidak cukup uang untuk membelinya.

Kala itu aku memiliki prinsip cukup kuat yaitu, hedonisme. Entah kenapa aku bisa memiliki prinsip tersebut, mungkin karena lingkungan, mungkin karena konsumsi figure yang cukup dominan, atau mungkin karena sangat menyebalkan pendidikan kala itu. Kelas 1 SMA menjadi seorang kurir ganja, dan aku menjual barang tersebut ke anak-anak kelas 3, dari situ aku mulai memiliki kedekatan dengan kakak-kakak kelasku. Hingga pada kenaikan kelas, salah satu temanku di luar sekolah yang menjadi pemasokku tertangkap polisi. Hal tersebut tentu sangat membuatku was-was, semenjak itu aku mulai tidak rutin lagi mengonsumsi barang-barang tersebut dan sedikit demi sedikit mulai melupakan prinsip hedonisme. Tidak rutin bukan berarti berhenti mengonsumsi, ya sesekali aku memakainya, beruntungnya aku tidak memiliki kecanduan terhadap barang-barang itu.

Hal ini aku lakukan hingga 2 tahun belakangan, walaupun untuk sekarang aku bisa dikategorikan sangat jarang untuk mengonsumsi barang-barang berpasal tersebut. Aku mulai sering mendapatkan barang-barang halusinasi yang masih tidak berpasal seperti Magic Mushroom, Ayahuasca, dan yang terakhir aku bertemu dengan LSD.  Itupun sebelum kejadian adanya seseorang pemakai LSD mengalami kecelakan, dan semenjak itu aku mulai sedikit jauh dengan LSD. Sedikit jengkel sih dengan kejadian tersebut, karena mereka barang tersebut menjadi sorotan dan tidak jadi aman lagi untuk mengonsumsinya.

Aku tekankan sekali lagi, aku bukan seorang pecandu. Ketika tidak ada barang tidak masalah. Aku berpendapat bahwa narkotik itu seperti barang komersil lainnya seperti gadget, sabun muka, dan lain-lain. Setiap produsen pasti akan berusaha membuat barang jualannya menjadi penting dan dibutuhkan, walaupun sebenarnya tidak penting sama sekali.

Mari kita tilik kembali ucapan Freddy Budiman,

“Kalau saya bilang, narkoba itu memang perlu perhatian khusus.

Bukan dari harus dikecam, harus dihujat,”

Kata-kata ini menyadarkan saya bahwa saat ini kita masih menjadi masyarakat naif yang sangat suka menghakimi dengan “latah” tanpa ada pengetahuan kuat di balik penghakiman tersebut.

Aku merupakan pengguna tidak aktif dan saat ini aku seperti masyarakat lainnya, bahkan bisa dibilang aku rutin berkarya melalui hobiku dan lancar dalam bidang perkuliahanku. Aku bisa mengatur hidupku, mengatur waktu, bahkan mengatur keuanganku.

Aku yakin setiap benda atau apapun selalu memiliki dampak positif dan negatif. Mencari dampak negatif pastinya akan sangat mudah ketimbang mencari dampak positif. Dampak positif akan muncul ketika kita bisa mengontrol diri sendiri.

Epilog

Aku memiliki pengalaman cukup menarik lagi, saat itu aku menghadiri pernikahan salah satu klienku yang berkewarganegaraan Kanada. Tentu pernikahan tersebut dilakukan dengan tradisi barat. “Sampanye, Bir, dan Minuman Beralkohol lainnya” menjadi salah satu hidangan. Sebagian besar tamu undangannya ialah warga negara asing. 

Namun dalam acara pernikahan tersebut aku melihat salah satu warga negara Indonesia yang berperilaku cukup kontras dibanding tamu-tamu lain. Beberapa tamu lain memegang gelas berisikan salah satu minuman beralkohol yang aku sebutkan tadi. Mereka saling mengobrol asik dan sesekali mereka menyeruput sedikit minuman tersebut. Namun berbeda yang dilakukan oleh warga negara Indonesia ini, berkali-kali dia menenggak habis minuman tersebut kemudian mengisi ulang kembali. Bahkan sudah lebih dari hitungan jari dia mengambil minuman hingga terlihat jelas wajahnya berwarna merah ketimbang tamu-tamu lain.

Apakah ketika ada orang menabrak karena dia mabuk alkohol yang disalahkan adalah alkoholnya. Tentu seharusnya tidak, di beberapa negara lain mereka memberi hukuman yang cukup berat untuk pengemudi yang sedang dibawah pengaruh minuman alkohol, namun negara tersebut tidak melarang peredaran alkohol.

Apakah ketika ada orang melakukan tindakan kriminal atas nama Agama, yang disalahkan Agamanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun