Mohon tunggu...
Setyo Yavadvipa
Setyo Yavadvipa Mohon Tunggu... lainnya -

Kuli Bangunan\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Balada Gareng dan Petruk

15 April 2011   13:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:46 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gareng yang sedari tadi menjadi pendengar bagi nya,menarik nafas panjang. Raut muka nya tampak tenang menandakan tipikal bijaksana. Sedikit sedikit mata nya terpejam sebentar mendengar adik nya berkeluh kesah. Sembari menatap wajah adik nya yang duduk bersimpuh berlinang air mata di hadapan nya. Petruk yang ada di hadapan nya sekarang beda dengan Petruk yang dulu,bertahun tahun dulu dia melihat adik nya adalah sosok yang kuat,tangguh,gagah,tegas dalam berbicara tapi sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Dia melihat Petruk yang sekarang seperti anak kecil yang di tinggal ibu nya.

" Petruk adik ku,sesungguh nya penderitaan yang kau alami adalah berasal dari dalam diri mu sendiri. kehidupan ini damai adi,negri ini makmur. Penderitaan mu sebenar nya adlah karma mu adi. Cobalah kau renung kan perbuatan perbuatan mu di kehidupan yang lalu adi". Gareng berkata dengan tenang sementara Petruk masih terisak.

" kau menolong orang tapi kau malah tertipu,bukankah dulu kau juga pernah menipu?. Istri mu meninggal kan mu,bukan kah dulu kau juga pernah meninggal kan nya?. Hasil panen mu di curi monyet hutan,bukan kah dulu kau juga pernah mencuri harta monyet monyet hutan itu?. Kau di fitnah,bukan kah dulu kau pun juga pernah memfitnah?. Kau di pecat karena kau dulu sewenang wenang dalam menjadi abdi. Ingat lah kehidupan mu dulu adi. Penderitaan ini adalah hasil karma mu adi." Sang adik masih terisak mendengar kakang nya berbicara.

" Lalu kau ingin menegak kan kebenaran di negri ini,bukan kah kehidupan mu sekarang penuh dengan ketidak benaran?. Keadilan yang kau impikan di negri ini sesungguh nya hanyalah mimpi tidur mu saja adi,karena yang sering kau lakukan sekarang jauh dari keadilan,kau sewenang wenang adi,kemunafikan pun masih bersemayam dalam hati mu Di. Negri ini adil adi,negri ini makmur. Ego mu lah yang merasakan ketidak adilan,kesewenang wenangan dan kemunafikan". Gareng tegas berbicara.

" Jika kau ingin menegak kan kebenaran dan keadilan di negri ini,tegak kan lah dulu kebenaran dan keadilan itu dalam diri mu sendiri dulu adi,lalu kau bisa melang kah ke luar". Petruk masih duduk di hadapan nya dengan nafas tersengal sengal sisa sisa tangisan nya. Kata kata dari sang Kakang sangat dalam makna nya lalu dia coba menatap wajah kakang nya.

" Kakang tuntun lah aku kakang".

" Adik ku Petruk cah bagus,rasa kecewa,rasa sakit hati mu adalah berasal dari dalam diri mu sendiri sendiri Adi,itu adalah karena ego mu yang besar. coba lah kau perhatikan ke dalam diri mu,instropeksi diri. Jangan terpengaruh oleh hal hal dari luar diri mu. Ada dunia yang luas dalam diri mu adi. Ada kedamaian yang kau lupakan. Merenung dan terus lah merenung adik ku. Terima lah kenyataan yang ada sebagai wujud tanaman mu yang tumbuh dari kehidupan mu yang lalu adi. Penderitaan mu ini akan segera berakhir adik ku,karena segala macam penderitaan yang ada akan berpotensi menjadi kebahagiaan. Begitu pun juga dengan ketidak adilan yang kau rasakan pada saat nya nanti pun akan berakhir dengan keadilan. Berjalan lah dan mengalir dalam hidup ini bagai air di sungai,semua pasti akan ada akhir nya. Jalani kehidupan mu sekarang dengan sebaik baik nya karena di kehidupan mu yang akan datang akan di tentukan oleh hasil perbuatan perbuatan mu di saat ini. Lepas kan ego mu adi,berhentilah mengeluh. Lihat kah terus ke dalam diri mu adi. Jangan menyalah kan atau memvonis keadaan di luar diri mu,carilah kesalahan yang ada dalam diri mu sendiri adik ku.

Petruk menangis keras meraung raung menjatuhkan tubuh nya ke pelukan Gareng. " kakang jangan berhenti menuntun ku kakang".

Langit tiba tiba gelap,menggelegar terdengar suara petir memekik telinga mereka. Hujan pun turun mengguyur bumi mereka. Memberi kesegaran menghapus kegersangan. Benih benih kesuburan telah turun. Tata tentrem loh jinawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun