Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

PSSI: Antara Kebijakan Pragmatis dan Regenerasi di Timnas

26 Januari 2022   05:50 Diperbarui: 28 Januari 2022   03:29 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo PSSI. (Dok. Bola.com/Dody Iryawan)

Toulon Tournament (Festival International "Espoirs" - Tournoi Maurice Revello), adalah kejuaraan yang diperuntukkan untuk tim dengan kelompok usia dari level U-17 hingga U-23, dan diselenggarakan di Provence-Alpes-Côte d'Azur, dengan partai final bertempat di Toulon, Prancis. Turnamen ini sendiri sudah diselenggarakan sejak 1967, dan awalnya hanya diikuti oleh klub-klub dari berbagai negara, sampai kemudian diikuti oleh Timnas-timnas dari berbagai negara.

Dari Tournamen ini, kemudian banyak lahir para bintang besar di lapangan hijau, yang diantaranya adalah beberapa nama seperti Roberto Antonelli, Jean-Pierre Papin, Rui Costa, Alan Shearer, Zinedine Zidane, Thierry Henry, Nuno Gomes, Djibril Cisse, Javier Mascherano, Cristiano Ronaldo, dll.

Indonesia sendiri terakhir kali mengikuti  turnamen ini pada 2017, dengan mengirimkan Timnas U-19 yang kala itu di bawah asuhan Indra Sjafri. Pada gelaran yang diselenggarakan dari 29 Mei hingga 10 Juni 2017 itu, Indonesia tergabung ke dalam Grup C bersama Republik Ceko, Skotlandia, dan Brazil.

Perjalanan Indonesia di Toulon Tournament 2017 harus terhenti di fase grup, dan menjadi Juru Kunci Grup C dengan catatan 3 kekalahan dari 3 pertandingan yang dimainkan, dengan hanya mencetak 1 gol dan 5 kali kebobolan. Namun di turnamen ini pula, Egy Maulana Vikri berhasil mencatatkan namanya dalam penghargaan sebagai Breakthrough player.

Baca Juga: Pemain Abroad: Kisah Petualangan Para Agen Perubahan Sepak Bola 

Namun di tahun ini, lewat media sosial Instagram, pihak penyelenggara Toulon Tournament telah mengkonfirmasi ketidak ikut sertaan Indonesia dalam ajang Toulon Tournament 2022. Bahkan, pihak penyelenggara Toulon Tournament juga tak segan mempertanyakan alasan ketidak ikut sertaan Indonesia dalam ajang ini.

Berikut petikannya, “Bersama di turnamen pada 2017 dan bersatu lagi di FK Senica, Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman…… Kami senang bila Indonesia ikut serta dalam edisi berikutnya dan kami telah mengundang mereka, tetapi federasi (PSSI) belum merespons.

Dan juga lewat akun resmi Instagramnya, Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, menjawab sekaligus mengindikasikan ketidak ikut sertaan Indonesia di turnamen ini. Alasannya adalah bahwa Turnamen Toulon bukanlah ajang resmi FIFA yang harus diikuti oleh Timnas dari sebuah negara.

Petikannya sebagai berikut, “Turnamen Toulon tidak dijalankan di bawah pengawasan FIFA atau Asosiasi sepak bola secara individu,….. Oleh karena itu, turnamen ini dianggap sebagai yang paling bergengsi dari semua turnamen persahabatan yang melibatkan tim muda, dan dianggap sebagai kejuaraan dunia tidak resmi sebelum FIFA memperkenalkan Piala Dunia Youth pada 1977,…. Terlepas dari pembentukan Piala Dunia U-20 FIFA dan kemudian Piala Dunia U-17, turnamen Toulon tetap menjadi salah satu kompetisi utama untuk tim sepak bola muda.

Kebijakan yang Pragmatis

Sudah barang tentu, komentar dari Ketua Umum PSSI tadi, memantik banyak respon dari para netizen cum pecinta sepak bola Indonesia. Tak sedikit dari respon tersebut yang bernada sumbang dan sekaligus sebagai kritikan, baik untuk Ketua Umum PSSI sendiri maupun PSSI sebagai Federasi.

Respon yang bernada sumbang dan kritis ini diantaranya mempertanyakan kembali kebijakan-kebijakan dari PSSI sebagai induk sepak bola Indonesia. Dalam hal ini, banyak dari respon tersebut menilai bahwa PSSI terlalu pragmatis dalam mengambil kebijakan, khususnya untuk pembinaan dan pengembangan pemain muda.

Selain Pragmatis, banyak pula yang melontarkan kritikan terhadap cara pandang Ketua Umum PSSI yang dinilai terlalu konservatif dalam pengelolaan sepak bola Indonesia. Banyak yang menilai bahwa PSSI terlalu “Haus Gelar”, karena kompetisi yang sedianya ditujukan untuk pembinaan dan pengembangan pemain muda, justru malah dijadikan kesempatan untuk “mengumpulkan” Trofi, seperti pada Gelaran AFF Cup U-22.

Baca Juga: Sikap "Kontra-revolusioner" Haruna Soemitro, hingga Saran Franz Beckenbauer untuk PSSI

Padahal, seperti yang sudah saya sebut di awal, bahwa banyak negara yang menjadi peserta turnamen ini, mengirim tim mudanya bukan dengan misi untuk meraih Trofi Juara. Turnamen ini justru ditujukan sebagai ajang untuk “mengasah” pembinaan dan pengembangan pemain muda.

Kita bisa melihat bagaimana Prancis, sebagai “pemilik” kompetisi Toulon Turnament, menjadikan Turnamen ini sebagai “Laboratorium” untuk meguji para pemain muda mereka. Sehingga kedepannya, para pemain muda ini terasah secara Taktik, Teknik, Mental, Fisik serta Filosofi dalam perkembangan karirnya di lapangan hijau.

Dalam penglihatan saya, kebijakan-kebijakan pragmatis dalam PSSI memang acap kali nampak dari komentar dan sikap para Stake Holder di PSSI sendiri. Padahal menurut saya, yang diperlukan oleh sepak bola Indonesia sekarang adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat sistematis dan revolusioner.

Bukankah kita sudah bosan membahas dan mendengar bahwa bagaimana kualitas Kompetisi Sepak bola kita? yang saat ini saja masih ada di urutan 25 dalam update terakhir AFC Club Competitions Ranking 2022. Indonesia masih ada di bawah Thailand (13), Malaysia (20), dan Filipina (23), dalam AFF Club Competitions Ranking 2022. Bahkan untuk jatah slot klub yang bermain di Asian Champions League (ACL) saja kita harus melalui babak kualifikasi.

Selain pembangunan Infrastuktur Utama dan Infrastruktur Pendukung, kebijakan yang bersifat sistematis dan revolusioner yang bersifat teknis, juga dibutuhkan agar sepak bola Indonesia berkembang menjadi lebih baik. Kegagalan demi kegagalan yang dilalui Timnas Indonesia di berbagai ajang, tidak direspon dengan perbaikan kompetisi dan pembinaan pemain muda, justru malah direspon dengan kebijakan-kebijakan yang pragmatis oleh PSSI.

Saya sendiri setuju, jika banyak yang menilai bahwa kebijakan-kebijakan Para Stake Holder di PSSI cenderung pragmatis dan konservatif. Fakta Sejarah memang sudah berbicara bahwa Timnas Indonesia minim raihan gelar juara, khusunya dalam kompetisi resmi FIFA dan kompetisi regional Asia Tenggara.

Terakhir kali Timnas Indonesia Senior juara yaitu pada ajang SEA Games 1991 di Manila. Sedangkan untuk Timnas U-22, terakhir kali menjadi juara pada AFF U-22 LG Cup 2019 di Kamboja. Lalu di Timnas U-19, Indonesia terakhir kali juara pada gelaran AFF Cup U-19 2013 di Indonesia. Sedangkan untuk Timnas U-16, Indonesia terakhir kali juara pada kejuaraan AFF Cup U-16 2018 di Indonesia.

Baca juga: "Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia

Selain raihan gelar juara tersebut, sejak pendirian PSSI pada 19 April 1930, jejak prestasi terbaik dari Timnas Indonesia dalam ajang kompetisi resmi semua Kelompok Usia, antara lain adalah Piala Asia Junior 1961, Piala Pelajar Asia 1984, Piala Pelajar Asia 1985, dan SEA Games 1987.

Namun sekali lagi, dari fakta bahwa sedikitnya capaian prestasi Timnas Indonesia di semua kelompok usia, PSSI sebagai induk sepak bola Indonesia seharusnya mampu melihatnya lebih jauh ke dalam tubuh sepak bola Indonesia sendiri. Bahwa ada banyak kekurangan, kesalahan, serta keterbatasan yang seharusnya diperbaiki oleh PSSI adalah sebuah kebijakan yang harus dijalankan dan diterapkan.

Bukan malah menjadikan kemiskinan prestasi ini sebagai “aib” yang harus ditutupi atau dibalas dengan banyaknya raihan gelar. Apalagi raihan gelar yang ingin dicapai tersebut justru ingin dilalui dengan cara yang instan, tanpa mempedulikan proses yang terarah dengan baik.

Regenerasi dalam Tim Nasional

Contoh lain kebijakan pragmatis dari PSSI, bisa kita lihat di gelaran AFF Cup U-22 yang akan datang. Timnas U-22 Indonesia yang adalah sebagai Juara Bertahan, justru dituntut oleh PSSI untuk kembali mempertahankan Trofi AFF Cup U-22. Memang tidak sepenuhnya salah jika PSSI meminta Timnas U-22 kembali mempertahankan gelarnya sebagai Juara Bertahan di Kompetisi Ini.

Namun yang harus dilihat lebih dalam lagi, adalah bahwa para negara ASEAN peserta AFF Cup U-22, telah menkonfirmasi bahwa mereka mengirimkan Tim yang bahkan diantaranya ada yang berisi pemain dengan Usia 21 kebawah.

Diantaranya ada Thailand yang tidak akan tampil dengan skuad U-22nya, melainkan justru skuad U-19nya. Alasan skuad U-22 Thailand tidak ikut serta pada gelaran AFF U-22 2022, adalah karena mereka sedang memiliki banyak agenda di tahun ini, yaitu SEA Games 2021, AFC Cup U-23 2022, dan Asian Games 2022. Selain Thailand yang turun dengan skuad U-19 di AFF Cup 2022, ada juga Vietnam yang tampil tidak dengan skuad U-22, melainkan dengan skuad U-21.

Tentunya bukan tanpa alasan jika beberapa negara tersebut mengirimkan tim yang bahkan berstatus U-21 atau U-19. Disamping karena padatnya jadwal kompetisi di tahun ini, beberapa negara tersebut memang menjadikan gelaran AFF Cup U-22 ini sebagai “Laboratorium” untuk mengasah Tim Muda mereka. Sehingga hal ini bisa membuat regenerasi dalam Timnas mereka menjadi lebih baik.

Regenerasi dalam Timnas, terutama Timnas di seluruh kelompok usia, adalah modal penting bagi sebuah negara jika ingin Timnasnya mendapat predikat sebagai Timnas yang berprestasi. Dan proses regenerasi di seluruh kelompok usia ini bahkan sudah jauh-jauh hari dilakukan oleh banyak Timnas di Negara-negara yang punya gelar prestisius di kancah sepak bola dunia.

Bagaimana dengan regenerasi di Sepak bola Indonesia?

Tentunya tidak fair jika saya menyebut bahwa tidak ada regenerasi yang baik di Timnas maupun sepak bola Indonesia secara keseluruhan. Karena sejatinya, tanpa melalui proses regenerasi yang terarah pun, semua Timnas, termasuk Timnas Indonesia sendiri, akan selalu melalu proses regenerasi secara alami. Hal ini terjadi karena usia produktif untuk pemain sepak bola juga terbatas dan tidak Panjang.

Menurut Seife Dendir dalam Research Article yang berjudul “When do soccer players peak? A note” yang dimuat dalam “Journal of Sports Analytics, vol. 2, no. 2, pp. 89-105, (2016)”, menyebutkan bahwa:

Hasil menunjukkan bahwa rata-rata pemain mencapai puncak antara usia 25 dan 27. Ini mungkin mewakili kelompok usia yang lebih muda dan lebih sempit daripada usia puncak yang dianggap luas antara pertengahan hingga akhir 20-an. Namun sejalan dengan kebijaksanaan konvensional, penyerang lebih awal dari pemain bertahan. Mereka kemungkinan besar mencapai puncaknya lebih awal dari gelandang juga, meskipun dalam satu model kedua kelompok ditemukan mencapai puncaknya pada usia yang sama (25 tahun).

Sedangkan menurut Mikael Jamil dan Samuel Kerruish dalam Research Article yang berjudul “At what age are English Premier League players at their most productive? A case study investigating the peak performance years of elite professional footballers”, yang dimuat dalam “International Journal of Performance Analysis in Sport, vol. 20, issue 6, pp. 1120-1133, (2020)” menyebutkan bahwa:

Statistik musiman untuk 637 pemain sepak bola profesional yang tampil di Liga Utama Inggris (EPL) dalam 3 musim berselang dianalisis melalui serangkaian tes Kruskal–Wallis untuk menentukan tahun paling produktif (puncak) dalam karier pemain.

Bertentangan dengan penelitian sebelumnya, hasil mengungkapkan bahwa usia tidak berpengaruh pada tingkat kinerja teknis penjaga gawang, bek sayap, bek tengah atau gelandang tengah yang tampil di EPL.

Pemain sayap berusia antara 16–20 dan 21–25 memiliki lebih banyak tembakan tepat sasaran (p = 0,022, p = 0,040) dan lebih banyak upaya dari permainan terbuka (p = 0,012, p = 0,028) daripada pemain sayap di atas usia 26 tahun.

Hasil juga mengungkapkan bahwa striker berusia antara 21 dan 25 lebih mahir melakukan tindakan menyerang tertentu seperti mencetak gol dari luar kotak (p = 0,024) dan menembak tepat sasaran dari luar kotak (p = 0,021) daripada striker yang lebih tua berusia antara 26 dan 30. Bukti ditemukan membuktikan bahwa tren penuaan hadir tetapi tidak seragam di seluruh olahraga sepak bola.

Jika kita mengacu pada hasil-hasil riset tersebut, maka sebenarnya secara natural pun, sebuah Tim Nasional atau bahkan Klub Sepak bola, akan mengalami proses regenerasi. Karena pemain akan silih berganti meninggalkan sebuah Tim karena Usia yang sudah tidak produktif, dan di lain sisi akan ada banyak pemain yang bergabung ke dalam tim untuk mengisi slot yang ditinggalkan pemain sebelumnya.

Namun, apakah proses regenerasi yang natural ini bisa juga dijadikan modal agar sebuah Tim dapat meraih kesuksesan?

Sebagai pengamat sepak bola kelas “plankton” -karena plankton lebih kecil daripada ikan teri- saya menganggap, bahwa setiap Timnas atau klub harus punya proses regenerasi yang terarah. Bahkan akan menjadi lebih baik, jika proses regenerasi dalam sebuah tim berjalan secara sistematis.

Jika sebuah Tim punya sistem regenerasi yang baik, maka ini akan memudahkan proses adaptasi para pemain ke dalam tim yang baru, terlebih dengan Pelatih baru sekalipun. Karena secara teknis, Pelatih akan lebih mudah dalam menerapkan segalam macam strategi dan taktiknya jika ada komunikasi yang baik di antar pemainnya. Dan komunikasi antar pemain yang baik, akan terjadi jika sebuah tim mengalami proses regenerasi yang dilakukan secara sistematis.

Maka bisa kita lihat, bagaimana Timnas-timnas di negara yang sepak bolanya maju dan dengan proses regenerasi yang sistematis, tidak akan kesulitan dalam menerapkan strategi dan taktik yang diarahkan oleh para Pelatihnya. Sehingga akan kita lihat bagaimana minimnya kesalahan-kesalahan mendasar yang dibuat oleh para pemainnya, seperti kesalahan passing, kesalahan positioning, atau kesalahan marking.

Baca juga: Belajar Sepak Bola Bersama "Ssaem" Shin Tae-Yong

Selain itu semua, proses regenerasi pemain yang sistematis, akan menjadikan lebih mudah bagi seorang pelatih untuk menerapkan filosofi bermain kepada para pemainnya. Karena pada dasarnya, filosofi bermain dalam sepak bola akan mudah teraplikasikan ke dalam skuad yang memiliki visi dan komunikasi yang baik di antar sesama pemainnya.

Terakhir, sistem regenerasi yang baik, yang juga adalah bagian dari proses untuk memajukan sepak bola, perlu didukung dan “dipayungi” oleh kebijakan yang sistematis dan revolusioner. Federasi, Klub, ataupun Stake Holder Sepak bola lainnya, harus mendukung berbagai macam proses pengembangan untuk memajukan sepak bola dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak Pragmatis.

Publik Sepak bola selaku pecinta sepak bola Indonesia, juga harus mendukung setiap proses yang terarah untuk memajukan Ekosistem Sepak bola Indonesia menjadi lebih baik. Dan terpenting, publik sepak bola di Indonesia, juga harus berani mengkritisi setiap kebijakan dari Federasi, Klub, dan Stake Holder Sepak bola yang dinilai terlalu pragmatis dan tidak revolusioner.

Baca juga: Kurniawan dan Jejak Para Pelatih Indonesia di Mancanegara

(Sumber: RSSSF.com ; transfermarkt.com ; footyrangkings.com ; panditfootball.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun