Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kurniawan dan Jejak Para Pelatih Indonesia di Mancanegara

19 Januari 2022   05:39 Diperbarui: 28 Januari 2022   03:45 1760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar tentang bergabungnya Kurniawan Dwi Yulianto bersama salah satu klub sepak bola di kasta ke dua Liga Italia (Serie B), Como 1907, akhir-akhir ini menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan. Ini adalah kali ke dua Si Kurus bergabung bersama klub asal Italia. Namun kali ini kembalinya Kurniawan ke Italia bukan lagi sebagai Pemain, melainkan sebagai Asisten Pelatih.

Jejak perjalanan Kurniawan bersama kub asal Italia, bisa kita tengok jauh sebelum karirnya sebagai Pelatih Sepak Bola ia rintis. Di awal-awal karirnya sebagai Pesepakbola, tepatnya pada 1994, mantan Penyerang Timnas Indonesia ini pernah bergabung bersama Sampdoria U-19.

Sampdoria U-19, adalah tim kelompok usia di bawah 19 Tahun (U19) dari klub kasta tertinggi Liga Italia (Serie A), Unione Calcio Sampdoria (U.C. Sampdoria).

Bergabungnya Kurniawan Ke Sampdoria U19, tak terlepas dari keikutsertaannya dalam program pengembangan Pemain muda yang diselenggarakan oleh PSSI pada 1993, program ini dikenal dengan nama PSSI Primavera. Untuk diketahui, PSSI Primavera adalah program pengiriman para Pemain muda ke Genoa, yang akan diikutkan dalam program pelatihan dan Kompetisi Primavera di Italia.

Kompetisi Primavera (Campionato Nazionale Primavera), yang sekarang dikenal dengan nama Trofeo Giacinto Facchetti, adalah sebuah kompetisi sepak bola di Italia yang diperuntukkan untuk Pemain yang berusia di bawah 20 Tahun (U-20). Campionato Nazionale Primavera (Campionato Primavera), tidak hanya diikuti oleh seluruh tim muda dari klub-klub yang berlaga di Serie A dan Serie B Liga Italia saja, namun juga diikuti oleh tim pelapis yang bermain di klub-klub Serie A dan Serie B.

Dan sejak 16 Desember 2006, Campionato Nazionale Primavera berubah nama menjadi Campionato Nazionale Primavera - Trofeo Giacinto Facchetti. Penamabahan nama Trofeo Giacinto Facchetti sendiri, tak terlepas dari keputusan Federasi Sepak Bola Italia, yaitu Federazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC), untuk mengenang seorang Legenda Timnas Italia sekaligus mantan Kapten Tim Inter Milan yaitu  Giacinto Facchetti.

Dalam Kompetisi Primavera, PSSI bekerja sama dengan Sampdoria untuk membentuk Tim U-19 yang akan diikutkan ke dalam Campionato Primavera, di bawah Tim Sampdoria U-19. Tim ini selanjutnya dikenal sebagai PSSI Primavera, yang dilatih oleh Romano Matte dan Danurwindo dan berlaga di Campionato Primavera di musim 1993/1994. Kemudian dalam perjalanannya, Tim Primavera ini mewakili Timnas Indonesia di berbagai ajang Kompetisi.

Di saat Sampdoria U-19 (PSSI Primavera) ikut bermain di ajang Campionato Primavera, juga ada beberapa Pemain Bintang yang ikut bermain di beberapa klub. Diantara para Pemain Bintang ini adalah  Alessandro Del Piero dan Fabrizio Cammarata yang membela Juventus Primavera, serta Pietro Vierchowod, Ruud Gullit, dan Roberto Mancini yang ikut ke dalam skuad Sampdoria Primavera.

Para Pemain muda yang ada di Tim PSSI Primavera waktu itu, mayoritas berasal dari Diklat Ragunan dan Diklat Salatiga, yang merupakan dua Diklat Sepak Bola terbaik di Indonesia pada waktu itu. Dan di dalam tim ini, ada nama Kurniawan yang juga pernah menempa pendidikan sepak bola di Diklat Salatiga. Selain Si Kurus, dalam Sampdoria U-19 juga ada nama Bima Sakti Tukiman, Yeyen Tumena, Kurnia Sandy, Anang Ma'ruf, dan beberapa Pemain muda lainnya.

Selain Proyek PSSI Primavera (U-19) di Italia, ada juga Proyek PSSI Baretti (U-17). Dua Proyek ini diinsiasi oleh PSSI yang bekerjasama dengan Sampdoria, serta didanai oleh salah seorang Pengusaha asal Indonesia. Pengusaha tersebut adalah Nirwan Bakrie, yang juga adalah salah satu dari anggota keluarga Pebisnis di Indonesia, yaitu Keluarga Bakrie. Nirwan sendiri dikenal sebagai Pengusaha yang sangat mencintai Sepak bola.

Kembali ke Kurniawan. Bersama Sampdoria U-19 (PSSI Primavera), Pemain kelahiran Magelang 13 Juli 1976 ini, bahkan masuk dalam daftar Top Skorer Campionato Primavera 1993/1994, bersama beberapa nama seperti Alessandro Del Piero dan Mauro Briano. Hal ini yang menjadikan Sven Goran-Eriksson, selaku Pelatih Kepala Sampdoria waktu itu, memasukkan nama Kurniawan ke dalam Skuad Tur mereka ke Asia pada 1994, termasuk diantaranya ke Jakarta.

Bersama Skuad Il Samp di Tur Asia, Kurniawan tampil bersama para Pemain Bintang seperti David Platt, Christian Karembeu, Sinisa Mihajlovic, Attilo Lombardo dan Roberto Mancini. Bersama Kurniawan, ada nama Anang Ma'ruf dan Kurnia Sandy, yang juga ikut bergabung bersama Skuad Sampdoria di Tour Asia. Namun justru nama Kurnia Sandy-lah, yang pada akhirnya masuk dalam Daftar Pemain Sampdoria di Serie A musim 1995/1996, meski hanya berstatus sebagai Kiper keempat di Skuad Blucerchiati.

(Baca Juga: Pemain Abroad: Kisah Petualangan Para Agen Perubahan Sepak Bola Indonesia)

Selepas Tur Asia, Sampdoria meminjamkan Kurniawan ke salah satu klub di Liga Swiss yaitu FC Luzern, pada 1994. Bersama Fussball Club Luzern, dalam usia 18 tahun, penampilan Kurniawan bisa dibilang tidak terlalu mengecewakan, karena berhasil mencatatkan 3 Gol dalam 24 keseluruhan penampilannya. Bersama Luzern pula, Kurniawan pernah tampil dalam UEFA Intertoto Cup, ini sekaligus menahbiskannya sebagai Pesepakbola Indonesia pertama yang berlaga di Kejuaraan Resmi antar Klub UEFA.

Karir Si Kurus bersama Luzern terhenti di tahun 1995, praktis ia hanya bermain satu musim untuk FC Luzern, setelah akhirnya kembali ke Sampdoria untuk mengikuti Latihan Pra Musim. Namun di tahun yang sama, Kurniawan memutuskan untuk melepas peluang dalam karirnya di Sampdoria, karena lebih memilih untuk pulang kampung ke Indonesia dan bergabung bersama Pelita Jaya.

Kini, setelah kurang lebih 26 tahun meninggalkan sepak bola Italia, Si Kurus kembali lagi ke Negeri Pizza. Kurniawan ditunjuk oleh Como 1907 sebagai Assisten Pelatih dan Staff dari Sang Manajer, Giacomo Gattuso. Di jajaran Staff Pelatih Como, selain Kurniawan sebagai Asisten Pelatih, ada juga nama Massimiliano Guidetti. Nantiya, Kurniawan juga akan berkesempatan melatih beberapa nama Pemain seperti Moutir Chajia, Alessando Bellemo, Alberto Cerri, Elvish Kabashi, dan Stefano Gori.

Di Klub milik dua Pengusaha asal Indonesia, Bambang Hartono dan Budi Hartono, kontrak Kurniawan akan dimulai di Januari 2022 dan akan berakhir pada pertengahan 2023. Como 1907 sendiri, resmi diambil alih oleh kakak beradik Bambang dan Budi Hartono sejak awal April 2019. Como 1907, dibeli oleh Budi dan Bambang Hartono melalui Perusahaan yang bernama SENT Entertainment, yang bermarkas di London, Inggris. Michael Gandler, seorang mantan Manajer Pemasaran dan Pemasukan Inter Milan pada era Presiden Erick Tohir, juga ditunjuk sebagai CEO untuk klub asal Kota Como ini.

Setelah diakuisisi oleh Budi dan Bambang Hartono, Como yang sebelumnya berkutat di Serie C, kemudian berhasil mempromosikan diri ke Serie B, sekaligus menahbiskan diri sebagai Juara Serie C musim 2020-2021. Sedangkan di musim ini, I Lariani sedang bertengger di papan tengah Klasemen sementara Serie B 2021/2022, yaitu di urutan ke 11.

Di musim ini pula, Como baru mencatatkan 6 kemenangan, 7 hasil imbang, dan 6 kekalahan, serta baru mengumpulkan 25 Poin dari 19 Laga di Serie B. Ini sekaligus menjadikan pekerjaan rumah bagi Giacomo Gattuso, Kurniawan, dan para Staff Pelatih lain untuk "mendongkrak" performa para Pemainnya.

Bergabungnya Kurniawan dalam jajaran Staf Kepelatihan I Lariani, tentunya menjadi sebuah kabar yang membanggakan bagi publik sepak bola di Indonesia. Namun, tidak sedikit dari publik sepak bola di Indonesia yang menanggapi kabar baik tersebut dengan respon bernada sumbang. Diantara respon negatif itu, tidak sedikit yang menuduh Kurniawan sebagai Asisten Pelatih "titipan". Hal ini didasari pada fakta bahwa Como 1907 adalah klub yang dimiliki orang Indonesia.

Namun Kurniawan menanggapi respon negatif tersebut dengan tenang. Menurutnya, dengan adanya orang Indonesia yang memiliki sebuah klub di Liga-liga Eropa, justru akan menjadikan terbukanya kesempatan tidak hanya bagi pelatih asal Indonesia seperti dirinya, melainkan juga untuk para pemain asal Indonesia itu sendiri. Sebagai Asisten Pelatih, Kurniawan sendiri saat ini sudah mengantongi Lisensi AFC Pro, dan rencananya akan mengambil Lisensi UEFA Pro sebagai syarat agar Seorang Pelatih bisa memimpin Staf Kepelatihan di sebuah Klub Eropa.

Salah satu yang melatarbeakangi bergabungnya Kurniawan ke Como sendiri, diantaranya adalah karena salah satu Perusahaan Layanan Multiplatform dari Indonesia, yaitu PT Global Media Visual, lewat salah satu produknya telah membuat kontrak bersama Kurniawan dengan durasi 5 tahun. Diketahui pula bahwa PT Global Media Visual juga berkonsentrasi dalam pengembangan sepak bola usia muda, yang salah satu programnya adalah Garuda Select.

Sedangkan Como 1907 sendiri, juga punya kerjasama dengan PT Global Media Visual, kerjasama tersebut diantaranya terkait pengembangan Akademi Sepak Bola Como 1907, dengan Program Garuda Select. Dari kerjasama ini, diharapkan akan banyak Pemain muda baik dari Garuda Select ataupun dari Indonesia sendiri yang bergabung dengan Akademi Sepak Bola Como 1907.

Selain Kurniawan, ada nama Indonesia lainnya yang akan masuk dalam jajaran Staf Kepelatihan Como, nama tersebut adalah Dani Suryadi, yang akan ditunjuk sebagai Asisten Pelatih di Tim Akademi Como 1907. Namun, keberangkatan Kurniawan dan Dani sendiri saat ini tertunda karena masalah Work Premit (Izin Kerja). Sembari menunggu keluarnya Izin Kerja, rencananya Kurniawan terlebih dahulu akan dikirim ke Inggris untuk membantu pelatihan Garuda Select.

Jejak-jejak Pelatih Indonesia di Luar Negeri

Karir  Kepelatihan Kurniawan sendiri di mulai pada 2017, kala itu ia ditunjuk sebagai Asisten Pelatih dari Bima Sakti di Borneo FC. Bersama Borneo, Kurniawan hanya memiliki kontrak satu musim sebagai Asisten Pelatih. Kemudian berikutnya, karir Kepelatihan Si Kurus berlanjut ke Timnas U-19 dan Timnas U-22, sebagai Asisten Pelatih dari Indra Sjafri dari 2018 hingga 2019.

Pada 2019, setelah selesainya kontrak Si Kurus bersama Timnas, perjalanan karir Kepelatihannya bahkan berlanjut ke Luar Negeri, yaitu ke salah satu klub di Divisi Pertama Liga Malaysia (Malaysia Super League). Di Malaysia Super League, Kurniawan ditunjuk menjadi Pelatih untuk Sabah FC pada 21 Desember 2019, momen ini sekaligus menjadi debut pertama dalam Karir Kepelatihannya sebagai Pelatih Kepala sebuah klub.

Di musim pertamanya sebagai Pelatih Sabah FC 2019/2020, Kurniawan menjalani 11 pertandingan dengan catatan 6 kekalahan, 3 kali hasil imbang, dan hanya meraih 2 kemenangan dengan total 9 poin yang berhasil dikumpulkan. Di musim ini pula, Kurniawan hanya mampu menempatkan Sabah FC di peringkat 10 Klasemen akhir Malaysia Super League 2019/2020, dari keseluruhan 12 Tim yang berlaga. Lewat hasil tersebut, Kurniawan nyaris menempatkan Sabah FC  ke dalam Zona Degradasi yang ada di peringkat 11 dan 12 Klasemen.

Kemudian pada musim 2020/2021, bersama Sabah FC, Kurniawan melalui 22 pertandingan dengan catatan 11 kali Kekalahan, 7 pertandingan imbang, dan hanya mampu meraih 4 kemenangan. Di musim ini pula, Kurniawan menempatkan Sabah FC di peringkat 9 Klasemen akhir Malaysia Super League, dengan hanya mengumpulkan 19 poin, serta naik satu peringkat dibandingkan dengan raihan di musim sebelumnya.

Dari total 33 pertandingan yang dilalui Kurniawan sebagai Pelatih Sabah FC, ia hanya mampu mengumpulkan 28 poin dari total 6 kemenangan, 10 hasil imbang, dan 17 kekalahan. Catatan negatif ini, sekaligus menjadi alasan bagi Kelab Bola Sepak Sabah untuk mengakhiri kerjasamanya bersama Si Kurus pada September 2021. Posisi Kurniawan sebagai Pelatih Sabah kemudian digantikan oleh mantan Pelatih Timnas Malaysia, Ong Kim Swee, pada Oktober 2021.

Kemudian setelah beberapa bulan mengakhiri kontraknya di Sabah, pengembaraan Kurniawan ke Luar Negeri berlanjut bahkan hingga ke wilayah Eropa. Karena di awal Tahun 2022, ia kemudian menjalin kerjasama bersama Como 1907, sebagai Asisten Pelatih di klub Serie B Italia itu. Nostalgia Si Kurus bersama sepak bola Italia, tentunya akan menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri, dan terlebih untuk Publik Sepak bola di Indonesia.

Capaian Kurniawan pada debut pertama dalam karirnya sebagai Pelatih, memang jauh dari kata memuaskan. Namun, di usianya yang kini sudah menginjak 45 Tahun, harapan untuk mengembangkan karir dan mengasah kualitasnya sebagai Pelatih masih sangat terbuka lebar. Apalagi dengan modal pengalamannya melatih di Klub Luar Negeri, sekaligus menjadikannya salah satu dari sedikit Pelatih asal Indonesia yang merantau ke Mancanegara.

Dan dalam Sejarahnya, Sepak bola Indonesia sendiri memang sudah mampu mencetak banyak Pelatih Lokal, beberapa diantaranya bahkan berhasil menunjukkan kualitasnya di Liga Indonesia. Namun, hingga hari ini, sulit bagi Publik Sepak bola Indonesia untuk menemukan nama-nama Pelatih Indonesia di Luar Negeri. Selain Kurniawan yang pernah menjadi Pelatih Sabah FC, meskipun jumlahnya sedikit, namun ada beberapa nama Pelatih asal Indonesia yang juga pernah mengembara ke Mancanegara.

Di Malaysia, selain nama Kurniawan Dwi Yulianto, ada satu nama Pelatih asal Indonesia yang pernah "menukangi" salah satu klub Malaysia. Nama ini cukup sohor di "belantara" Sepak bola Indonesia, dan sudah malang melintang membesut beberapa klub di kasta teratas Liga Indonesia, bahkan beberapa kali membawa klub yang dilatihnya menjadi juara di berbagai ajang kompetisi. Nama tersebut adalah Rahmad Darmawan, Pelatih yang juga pernah menukangi Timnas Indonesia U-23 sekaligus Purnawirawan Mayor di Korps Marinir ini, pernah menangani T-Team dari 2015 hingga 2017.

T-Team, yang kemudian berganti nama menjadi Trengganu FC II pada 2017, adalah Klub yang saat ini sedang berlaga di Kasta ke Dua Liga Malaysia, yaitu Malaysia Premier League. Rahmad yang sudah mengantongi Lisensi UEFA Pro ini sendiri,  resmi menangani T-Team di musim 2016/2017, yang kala itu berlaga di kasta teratas Liga Malaysia, yaitu Malaysia Super League.

Di musim pertamanya melatih T-Team, Rahmad hanya berhasil menempatkan The Titans di peringkat Ke-7 Klasemen akhir Malaysia Super League, dengan catatan 7 kemenangan, 6 kali imbang, dan 9 kekalahan, serta hanya mampu mengantongi 27 poin dari 22 pertandingan yang dijalani.

Sedangkan di musim ke duanya bersama T-Team, Rahmad hanya mampu membawa T-Team duduk di peringkat Ke-9 Klasemen akhir Malaysia Super League 2017/2018, dengan raihan 7 kemenangan, 5 hasil imbang, dan 10 kekalahan dari 23 poin yang berhasil di kumpulkan. Musim 2017/2018 adalah musim terkahir Rahmad bersama T-Team.

Setelah kemudian di musim yang sama pula, meskipun berada di peringkat 9 Klasemen akhir Malaysia Super League, T-Team kemudian harus terdegradasi ke Malaysia Premier League karena permasalahan proses Registrasi Kompetisi yang gagal.

Bersama T-Team juga ada Kelantan FC yang mengalami kegagalan dalam proses Registrasi Kompetisi, keduanya juga mendapatkan penguran 6 poin. Namun karena pengajuan banding yang diterima Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM), maka Kelantan tetap bisa mengikuti Kompetisi musim 2018/2019. Selain T-Team juga ada Felda United yang dihukum dengan sanksi Degradasi ke Premier League karena gagal dalam pembaruan Lisensi Klub.

Kemudian selain Rahmad dan Kurniawan, ada beberapa nama Pelatih asal Indonesia lainnya yang sempat berkarir di Luar Negeri. Satu diantaranya adalah Rudy Eka Priyambada, Rudy adalah salah satu dari sedikit Pelatih Sepak bola di Indonesia yang tidak mempunyai latar belakang sebagai Pesepakbola Profesional. Pelatih yang sudah memegang Lisensi UEFA Pro ini, di awal karir kepelatihannya memang sudah bersama klub luar negeri. Klub Semi-Profesional di Victoria, Australia, yang bernama Monbulk Rangers, adalah klub pertama yang ia besut sebagai Pelatih pada 2012.

Bersama Monbulk,  Rudy bahkan pernah membawa Tim ini Juara dalam ajang Energy Cup 2012 FFV East Victorian Regional. Namun selanjutnya pada 2013, Rudy pulang ke Indonesia untuk menangani salah satu klub di Liga Primer Indonesia, yaitu Bali Devata. Setelah satu musim bersama Bali Devata, kemudian Rudy merapat Mitra Kukar sebagai Asisten Pelatih dari Stefan Hansson di 2014. Dan di musim 2013/2014 pula, Rudy bahkan pernah menjadi Tactical Analysis untuk Timnas U-19 Indonesia di bawah Pelatih Kepala Indra Sjafri.

Pada 2015, Karir Kepelatihan Rudy di Luar Negeri berlanjut bersama Al-Najma yang saat itu bermain di Kasta ke dua Liga Bahrain. Di Al-Najma, Rudy mengawali karirnya sebagai Asisten Pelatih dari Ali Asoor, yang di musim 2015/2016 sempat terkena sanksi larangan mendampingi Tim dalam 3 Pertandingan, oleh Asosiasi  Sepak Bola Bahrain (BFA). Di 3 pertandingan tersebut, Rudy menggantikan sementara peran Ali Asoor di tepi lapangan dalam laga yang dijalani Al-Najma. Di Al-Najma pula, Rudy bahkan sempat membawa satu pemain asal Indonesia untuk bermain di Liga Bahrain, yaitu Ryuji Utomo.

Setelah hanya semusim menjadi Asisten Pelatih Al-Najma, klub yang sudah ia bawa promosi ke Divisi teratas Liga Bahrain, Rudy kemudian memilih kembali ke Indonesia untuk membangun dan melatih klub yang baru terbentuk, yaitu Celebest FC di Tahun 2016. Celebest FC saat itu masih menjalani Kompetisi Indonesian Soccer Championsip (ISC) B, bersamaan dengan PSSI yang sedang mendapatkan sanksi pembekuan Kompetisi oleh FIFA.

Kemudian sejak 2021, Karir Kepelatihan Pria kelahiran 5 Desember 1982 ini kembali berangsur naik, karir Rudy naik setelah didapuk sebagai Pelatih Kepala Timnas Wanita Indonesia oleh PSSI. Rudy berperan dalam meloloskan Timnas Wanita ke Piala Asia Wanita 2022 di fase Kualifikasi Piala Asia 2022. Sekaligus menyudahi penantian panjang selama 33 Tahun bagi Timnas Wanita Indonesia untuk kembai berlaga di Piala Asia.

Selain Rudy, Pelatih asal Indonesia selanjutnya yang menapaki Karirnya di Luar Negeri diantaranya adalah Puji Handoko, mantan Pelatih U-20 Persela Lamongan. Bersama mantan Penjaga Gawang Timnas Indonesia, Markus Horison, Puji pernah melatih Klub Liga Timor Leste (Liga Futebol Amadora), yaitu Assalam FC yang saat itu sedang menjalani debut pertamanya di Kasta Teratas Liga Timor Leste di Tahun 2019. Kemudian di pertengahan musim 2019, Pudji pindah ke Klub Kasta Teratas (Primeira Divisao) yang lain yaitu Atletico Ultramar.

Di Liga Futebol Amadora sendiri, memang ada beberapa Pelatih asal Indonesia yang melatih Klub-klub dari Tanah Lorosae tersebut. Selain Puji Handoko dan Markus Horison, ada juga nama Andi Susanto yang pernah melatih Atletico Ultramar FC (2017), dan Assalam FC (2018). Bersama Atletico Ultramar, Andi bahkan pernah meraih Trofi Turnamen 12 November Cup dan Juara Kasta kedua (Segunda Divisao) di 2017, sekaligus membawa Klub asal Kota Manatuto ini meraih Tiket Promosi ke Primeira Divisao.

Kemudian saat menangani Assalam FC pada musim 2018, Andi bahkan pernah membawa Tropas Verdes sebagai Kampiun Segunda Divisao. Ini menjadikan Klub asal Kota Dili ini mendapatkan Tiket Promosi ke Primeira Divisao, dengan torehan 8 kemenangan, 2 hasil seri, 1 kekalahan, serta sukses mengumpulkan 26 poin dari keseluruhan 11 pertandingan yang dijalani.

Lalu pada 2019, Andi kemudian berpindah ke Klub Primeira Divisao yang lain yaitu AS Academica. Bersama AS Academica di Primeira Divisao 2019, Andi tak mampu menampilkan polesan terbaiknya, karena Os Estudantes hanya mampu bercokol di posisi Ke-7 Klasemen akhir, dari 8 klub yang bermain. Di musim 2019 pula, AS Academia yang masuk dalam zona degradasi, harus merelakan posisinya yang "melorot" ke Segunda Divisao.

Selain beberapa klub tersebut, pada 2016 Andi juga pernah melatih Timnas U-16 Timor Leste. Sebelum melatih Timnas U-16 Timor Leste, Andi diketahui pernah melatih salah satu klub dari Brazil yang bermain di Divisi ke Empat (Campeonato Brasileiro Srie D), yaitu Bangu Atletico Clube. Andi juga bahkan pernah membawa Bangu Atletico Clube menjadi juara di Turnamen BTV International Football Tournament, pada 2015 di Vietnam.

Pelatih asal Indonesia selanjutnya yang pernah menangani Klub Timor Leste adalah Rochy Poetiray. Rochy yang mantan Striker Timnas Indonesia ini, juga tercatat pernah melatih Boavista FC pada 22 Desember 2017 hingga 29 Desember 2017. Meskipun hanya melatih Skuad Pra Musim, namun Klub yang dilatih Rochy mampu berlaga di Kasta teratas Liga Timor Leste (Primeira Divisao).

Selain Rochy, di Liga Futebol Amadora, juga ada nama Haryadi. Haryadi yang mantan Pelatih Persiba Balikpapan ini, diketahui pernah melatih Karketu Dili FC pada 2019. Karketu adalah klub yang berasal dari Kota Dili, dan pernah menjuarai Liga Futebol Amadora di Tahun 2017. Di Karketu, Haryadi menjabat sebagai Pelatih Kepala menggantikan Antonio Timotio.

Sementara di Klub Timor Leste lainnya, Lalenok United, ada juga nama Pelatih asal Indonesia yang bahkan bisa dibilang berjasa dalam membangun Klub ini dari nol. Nama tersebut adalah Jantje Efraim Matmey. Pria asal Ambon ini, pertama kali bergabung dengan Lalenok pada 2017, tepat setahun setelah Klub ini berdiri. Jantje waktu itu menangani Lalenok yang sedang berkompetisi di Divisi Tiga (Terceira Divisao) Liga Futebol Timor-Leste.

Meski masih bergelut di kasta ke tiga, namun di musim pertamanya Jantje mampu membuat performa Lalenok naik dengan sangat baik. Terbukti dari tangan dinginnya, The Lobsters berturut-turut berhasil meraih Tiket Promosi. Promosi pertama adalah ketika Lalenok berhasil naik kasta ke Segunda Divisao (Divisi 2), sekaligus meraih Gelar Juara Terceira Divisao pada 2017.

Dan yang ke dua adalah ketika Lalenok mampu bertengger di Posisi Ke-2 Klasemen akhir Segunda Divisao, sekaligus mendapatkan Tiket Promosi ke Primeira Divisao (Divisi Pertama) pada 2018.

Pada musim 2019, di bawah besutan Janjte Efraim Metmey, Lalenok United sukses menampilkan performa terbaiknya karena berhasil merebut Gelar Juara Primeira Divisao di Liga Futebol Amadora. Sebagai Kampiun Primeira Divisao musim 2018/2019, dari keseluruhan 8 klub peserta Primeira Divisao, Lalenok berhasil mencatatkan 9 kemenangan, 3 hasil seri, dan 2 kekalahan, serta mampu mengumpulkan 30 poin dari 14 pertandingan keseluruhan.

Selain menahbiskan diri sebagai Kampiun Primeira Divisao 2019, bersama Lalenok, Pria kelahiran Halong 10 Maret 1964 ini, juga berhasil meraih Trofi di Turnamen 12 November Cup 2019, kemudian LFA Super Cup 2019, dan Copa FFTL 2020.

Nama terakhir yang pernah menangani Klub Luar Negeri adalah Muhammad Yusup Prasetiyo. Nama ini mungkin asing di telinga Publik Sepak bola Indonesia. Pria kelahiran Tangerang 21 April 1990 ini, pada 2017, tepatnya di usianya yang baru 26 Tahun, Yusup sudah mengawali karir Kepelatihannya bahkan di salah satu klub Luar Negeri.

Lijiang FC U-16, Tim kelompok usia 16 yang berlaga di China Super League U-16, adalah Tim pertama yang ia latih. Pelatih muda yang sudah mengantongi Lisensi Kepelatihan AFC B ini, juga tidak punya latar belakang sebagai Pesepakbola Profesional.

Awalnya, Yusup ditugaskan oleh Lijiang untuk melatih Tim U-18 Lijiang FC. Namun karena aturan dari Federasi Sepak Bola China (CFA) yang mengharuskan Tim U-18 harus dilatih oleh Pelatih yang minimal punya Lisensi AFC A, pada akhirnya menjadikan Yusup digeser untuk menangani Tim U-16 Lijiang FC. Namun, Karir Yusup di Negeri Tirai Bambu ini harus selesai hanya dalam waktu satu musim, setelah kemudian kembali ke Indonesia dan bergabung dengan PSMS Medan sebagai Asisten Pelatih dari Djadjang Nurdjaman di Tahun 2018.

Dari beberapa Pelatih yang mencoba peruntungannya di Mancanegara tersebut, bisa dilihat bahwa hanya sedikit yang mampu menunjukkan Taji-nya sebagai Juru Taktik di lapangan. Bahkan beberapa diantaranya harus mengakhiri kontrak karena ketidakmampuannya dalam meningkatkan performa Klub yang dilatih. Durasi Kontrak para Pelatih ini dengan Klub Luar yang mereka besut juga bisa dibilang singkat-singkat.

Ada beberapa faktor yang dinilai menjadi hambatan para Pelatih asal Indonesia yang berkarir di Luar Negeri. Selain karena faktor keluarga dan faktor adaptasi terhadap iklim negara setempat, beberapa dari Pelatih ini juga terhalang oleh Lisensi Kepelatihan yang dimiliki. Padahal, setiap Kompetisi di Liga-liga Luar Negeri punya aturan sendiiri-sendiri terkait Lisensi Kepelatihan yang dipersyaratkan dalam menangani sebuah Klub.

Jika kita bicara Kompetisi-kompetisi Level Asia, beberapa Federasi Sepak Bola di Negara-negara Asia mensyaratkan minimal Lisensi AFC Pro yang harus dimiliki oleh Pelatih dalam menangani sebuah Klub di Liga-liga Asia maupun Asian Champions League (ACL). Seperti pada ketentuan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Sepak Bola Asia (AFC), ada empat lisensi kepelatihan yang harus dilalui oleh Pelatih berlisensi AFC Pro, yaitu Grassroots (Lisensi D Nasional), C AFC, B AFC, dan A AFC.

Sama halnya dengan AFC, UEFA sebai induk dari Federasi-federasi Sepak bola Eropa, juga mensyaratkan hal yang sama. Untuk Klub-klub yang bermain di Kompetisi teratas Liga-liga Eropa sekaligus UEFA Champions League (UCL), harus memiliki Pelatih yang berlisensi UEFA Pro. Setidaknya ada 2 Lisensi Kepelatihan yang harus diambil sebelum seorang Pelatih memiliki Lisensi UEFA Pro, yaitu UEFA B Licence dan UEFA A Licence.

Tentunya, bagi para Pelatih asal Indonesia yang ingin melanjutkan dan melebarkan karirnya ke Luar Negeri, minimal harus punya Lisensi AFC Pro jika ingin melatih Klub-klub di Liga Asia, dan harus memiliki Lisensi UEFA Pro jika ingin melatih Klub-klub dari Liga-liga teratas Eropa.

Di Kompetisi Liga 1 Indonesia musim 2021/2022 sendiri, setidaknya hampir semua Pelatih Lokal sudah berlisensi UEFA Pro, diantaranya adalah Aji Santoso (Persebaya Surabaya), Rahmad Darmawan (Barito Putera), Widodo Cahyono Putro (Persita Tangerang), dan Liestiadi (Persikabo 1973). Sedangkan dua pelatih Lokal lainnya, yaitu Jafri Sastra (Persela Lamongan) dan I Putu Gede Dwi Santoso (PSS Sleman), ternyata baru memiliki Lisensi A AFC.

Padahal PSSI sendiri sudah membuat Regulasi terkait Lisensi Kepelatihan yang harus dimiliki oleh Pelatih di sebuah Klub Liga 1, yaitu minimal harus sudah mengantongi Lisensi AFC Pro. Artinya para Pelatih yang memiliki Lisensi UEFA Pro sangat diperbolehkan untuk melatih Klub Liga 1, namun untuk Pelatih dengan Lisensi A AFC ke bawah tidak diperkenankan untuk menjadi Pelatih Kepala di Klub Liga 1.

Bagaimanapun, selain faktor-faktor tersebut, faktor lain yang juga tak kalah penting yang membuat para Pelatih asal Indonesia terasa sulit untuk melatih Klub-klub di Luar Negeri, adalah Kualitas. Dan soal kualitas Pelatih Lokal inilah yang kedepannya diharapkan bisa ditingkatkan agar menjadi lebih baik lagi, sehingga kedepannya akan lebih banyak lagi Pelatih-pelatih Lokal Indonesia yang mampu berbicara banyak di Kancah Sepak bola Internasional.

(Baca juga: "Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia)

(Sumber: transfermarkt.com ; bola.com ; bola.kompas.com ; calcioefinanza.it ; indosport.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun