Padahal dalam pengakuannya kepada pers, menurut Mursyid, gol bunuh diri tersebut adalah instruksi langsung dari Manajemen Timnas Indonesia, Mursyid pada akhirnya seolah menjadi Martir dari “ganasnya” intrik dalam Tubuh PSSI dan Timnas Indonesia di AFF Cup. Tak ayal, kejadian ini memantik reaksi publik sepak bola Indonesia, rasa kecewa terhadap “Sepakbola Gajah” menimbulkan berbagai macam dugaan negatif terhadap Timnas dan PSSI, tuduhan tentang “Bau Anyir” permainan Mafia Bola adalah salah satunya.
Setelah mencuatnya “Sepak bola Gajah” beserta tuduhan-tuduhan akan adanya permainan Mafia, bertahun-tahun kemudian muncul pula tuduhan yang sama kepada skuad Timnas Indonesia yang kalah dalam partai final leg ke dua AFF Suzuki Cup 2010 kontra Malaysia. Isu ini berawal dari terjadinya kembali “Sepak bola Gajah” yang kali ini hadir di Divisi Utama Liga Indonesia 2014 dalam laga antara PSS vs PSIS pada babak delapan besar.
Dan dari sinilah Isu mafia bola mencuat ke publik, disusul berbagai isu-isu tentang skandal permainan mafia bola di beberapa laga kompetisi yang pernah terjadi di Liga Indonesia, sekali lagi, Mafia Bola layaknya "Duri Dalam Daging" di Tubuh PSSI dan Timnas Indonesia.
Isu mafia bola ini bahkan tidak hanya menyedot atensi publik Sepak bola Indonesia saja, Jurnalis sekaliber Najwa Sihab pun berani mengangkat isu ini lewat acaranya yang legendaris di TV yaitu Mata Najwa beberapa Tahun kemudian setelah AFF Cup 2010 berlangsung.
PSSI di era kepemimpinan Eddy Rahmayadi pun Bahkan diuji oleh banyak tuduhan dan pertanyaan bernada sumbang, tidak hanya soal skandal pengaturan skor, melainkan juga oleh tragedy tewasnya supporter sepakbola yang dibunuh dengan keji oleh kelompok supporter lain, berbagai media bahkan memberitakan dan meng-interview langsung Ketua PSSI tersebut, termasuk Najwa Sihab dengan Mata Najwanya.
Di tahun-tahun itu, tidak hanya mafia bola saja yang “menampar” PSSI, fanatisme buta supporter bola Indonesia pun seolah menambah lebam merah di wajah PSSI, bukti bahwa euforia publik sepak bola Indonesia terkadang melahirkan efek samping yang kurang sehat bagi dunia persepakbolaan Indonesia.
Terkait isu mafia bola, ini dijadikan momentum oleh Presiden Joko Widodo untuk berperan aktif dalam “membenahi” carut marut sepak bola Indonesia, Kapolri sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian Republik Indonesia pun menyambut himbauan Presiden dengan membentuk Satgas Anti Mafia Bola pada 12 Desember 2018 dan kemudian dibubarkan pada 20 Agustus 2020 tanpa kejelasan lebih lanjut.
Selain Polri, investigasi terhadap dugaan adanya mafia bola juga dilakukan oleh Lembaga Hukum Jakarta. Menurut Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Hukum Jakarta, M. Isnur seperti diungkap Tempo, 17 Juni 2015, praktik ini telah berjalan selama lebih dari 15 tahun. Isnur mengklaim praktik ini telah populer sejak tahun 2000, dengan metode sogok-menyogok menjadi metode yang paling lazim dan banyak digunakan.
Isnur bahkan berani berujar bahwasanya sebelum liga dijalankan pun, sudah dibentuk skenarionya. Hal ini amat beralasan karena seperti yang segenap masyarakat kita ketahui, terdapat berbagai insiden yang mewarnai perjalanan Timnas dalam berbagai kompetisi dari tahun ke tahun, yang menunjukkan indikasi adanya pengaturan skor ini.
Di kemudian hari, tidak hanya isu mafia bola dan fanatisme buta supporter sepakbola di Indonesia, euforia dan overproud publik sepak bola di Indonesia seperti dianggap sebagai “Kambing Hitam” bagi kegagalan demi kegagalan pencapaian Timnas Indonesia di Kompetisi-kompetisi Internasional termasuk di level AFF. Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia adalah negara terbesar sekaligus publik sepak bola terbesar di ASEAN.
Fanatisme dan loyalitas kedaerahan terhadap klub-kub di Indonesia punya andil besar dalam sumbangsih Fanatisme terhadap Timnas Indonesia, sepak bola tidak hanya menempati panggung olahraga di Indonesia, makin bergulirnya era, sepak bola selain dianggap sebagai identitas kemudian seolah menjelma menjadi budaya tersendiri di Nusantara.