Suatu malam di acara Indonesia Lawyer's Club (ILC), salah satu program fenomenal di TV One, kira-kira beberapa tahun yang lalu, Karni Ilyas sang Presiden ILC pernah berucap yang kurang lebih begini: "Bagi saya Selebriti itu ya Emha Ainun Najib (Cak Nun), itulah Selebriti".
Saya sendiri agak kaget ketika Pak Karni menyebut nama Emha, bagi Para Pegiat Maiyah dan Pengagum Sosok Cak Nun pasti sudah mengetahui bagaimana "hubungan" Cak Nun dengan "Televisi" di Indonesia. Sudah sejak lama Cak Nun hampir sering mengatakan bahwa ia "puasa" dari "Tv", kurang lebih sejak jatuhnya orde baru sebagai penanda era Reformasi dimulai, dimana Cak Nun cukup aktiv terlibat di dalamnya.
Alasannya mungkin bisa kita lihat sendiri dalam ceramah-ceramah Cak Nun yang banyak terdokumentasikan dan ditayangkan di banyak platform Video. Dari acara ILC-nya Pak Karni hingga Talkshow-nya Mbak Nana (Mata Najwa), semua seakan sulit untuk mengundang Cak Nun, dan itu diakui oleh Najwa Sihab sendiri berulag kali ketika sedang sepanggung dengan Cak Nun dan tentunya dalam acara-acara yang sifatnya Off Air.
Di Luar "Hubungan" Cak Nun dan "Tv" tadi, yang membuat saya agak kaget adalah soal penyebutan Emha sebagai seorang Selebriti oleh Karni Ilyas, padahal bagi para pengagum Cak Nun dan Para Pegiat Maiyah, Cak Nun punya banyak "julukan" diantaranya Cendikiawan, Kiyai, Filsuf, Aktivis, Penulis, Kolumnis, Sastrawan cum Seniman.
Saya pribadi sebagai penggemar Cak Nun -Meskipun bukan Pegiat Maiyah- baru mengetahui bahwa Cak Nun punya "julukan" lain yaitu Selebriti, dan saya baru mendengar ini setidaknya dari Seorang Jurnalis Senior, Karni Ilyas. Untuk mengobati rasa penasaran saya mngenai definisi dan arti 'Selebriti', saya mencoba untuk mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan beberapa literatur lainnya.
Menurut KBBI, Selebriti adalah orang yang terkenal atau masyhur (biasanya tentang artis). Sedangkan menurut Wikipedia, Â Selebriti atau Selebritas (Bahasa Idonesia) adalah orang terkenal lantaran terlalu dekatnya dengan dunia pemberitaan (pers), dan masih menurut Wiipedia Kata selebritas dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari celebrity dalam bahasa Inggris. Celebrity berakar dari kata celebrate yang artinya 'rayakan', 'merayakan'. Dan menurut kamus Oxford Selebrtii adalah orang yang populer/terkenal.
Kenapa saya bisa kaget dengan "Julukan" Selebriti yang disematkan kepada Emha oleh Karni Ilyas? Mungkin sama dengan anda, yang kita ketahui bahwa Selebriti/Selebritas selalu identik dengan Bintang Film, Penyanyi, Bintang Sinetron, Musisi, dan "Golongan" Artis lainnya yang berkecimpung di dunia Entertainment atau yang setidaknya rajin "nampang" dan "mondar-mandir" di "Tv".
Padahal kata 'Artis' dalam bahas sehari-hari kita juga sudah mengalami pergeseran makna, masih menurut KBBI Artis adalah ahli seni; seniman, seniwati (seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama); -- tamu artis terkenal yang ikut dalam pertunjukan drama dan sebagainya sebagai tamu dan dalam pertunjukan yang terbatas;, sedangkan untuk arti kata Entertainment yaitu terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia yang Berarti Hiburan.
Dari definisi dan pergeseran-pergeseran makna tersebut, setidaknya kita bisa menerima dan memahami kenapa seorang wartawan senior sekaliber Karni Ilyas menyematkan "Julukan" Selebriti kepada Emha Ainun Najib, bukan bermaksud meninggikan dan mengkultuskan sosok Cak Nun serta Merendahkan Para Selebriti yang hilir mudik di Tv.
Saya sebagai orang yang percaya dengan Islam dan Jawa tentunya mempercayai pula bahwa setiap manusia yang terlahir di Bumi punya Maqom-nya sendiri-sendiri, tentunya hal ini akan menimbulkan perdebatan sendiri, tapi akan terlalu Panjang jika saya membahas tentang Maqom, mungkin di lain waktu bisa saya bahas. Yang jelas bagi saya, sosok Emha Ainun Najib memang pantas disebut sebagai Selebriti, amin kepada ucapan Karni Ilyas tadi.
Bagi saya Cak Nun memang Selebriti, bahkan saya mengenal Cak Nun -setidaknya dalam bacaan dan imajinasi saya- bahkan ketika saya masih sangat belia, kira-kira usia 5-6 Tahun, di akhir Tahun 90an saya sudah membaca tulisan-tulisan dan pemberitaan tentang Cak Nun. Kebetulan Ayah saya adalah seorang yang cukup senang membaca, begitu juga dengan Ibu saya, hari-hari kami hampir selalu diisi dengan bacaan-bacaan mulai dari Koran, Tabloid, dan buku-buku bacaan lainnya.
Saya memang tak pernah membaca tulisan-tulisan Cak Nun sebagai Kolumnis di Koran-koran dan Majalah seperti Kedaulatan Rakyat (KR), Kompas, Tempo, dan Jawapos. Saya hanya bisa menemukan Cak Nun di Suara Merdeka dalam Kolom Gambang Pesisiran, itupun saya dapat dari tumpukan koran-koran bekas milik Ayah saya, karena Kolom Gambang Pesisiran yang diisi Cak Nun seingat saya sudah tidak ada ketika saya sudah mulai bisa membaca.
Tulisan dalam kolom tersebut  bertarikh 6 Maret 1993 tepat beberapa hari sebelum saya Lahir, dengan Judul Raja Yang Berani "Mendito", tulisan ini kemudian dimuat ulang dalam situs Caknun.com yang diterbitkan pada 30 Juli 2015. Tentunya pada waktu itu saya tidak ingat apakah saya benar-benar memahami atau tidak dengan Tulisan Cak Nun yang saya baca, tapi seingat saya itulah untuk pertama kalinya saya membaca Tulisan Cak Nun.
Jauh sebelum itu, saya sudah mengenal Cak Nun dari pemberitaan-pemberitaan di media cetak dan sesekali dari Televisi, sebagai anak kecil yang masih polos, saya hampir selalu didampingi oleh Ayah atau Ibu Saya dalam setiap membaca atau menonton Televisi. Hal pertama yang saya ketahui tentang Cak Nun waktu itu adalah bagaimana Cak Nun mengritik Presiden Soeharto di akhir-akhir kekuasaan beliau, Ayah saya waktu itu hampir selalu sinis ketika ada bahasan atau bacaan tentang Kritisisme Cak Nun terhadap Pemerintahan Presiden Soeharto.
Maklum, selain sebagai PNS, Ayah saya juga aktif di Golkar dan beberapa sayap kepemudaan Golkar serta aktif pula di Organisasi Pemuda Pancasila, begitupun dengan Ibu saya yang hampir selalu satu arah dengan Ayah saya dalam "mendukung" Presiden Soeharto. Tapi yang boleh saya syukuri terhadap Ayah dan Ibu saya adalah Saya tidak pernah dilarang untuk  membaca apapun dan tulisan siapapun dengan tema apapun, meskipun tema politik yang sangat kritis terhadap Rezim Orde Baru, termasuk Tulisan dan pemberitaan tentang Cak Nun sebagai Kritikus.
Lambat laun saya menjadi mengerti, bahwa "Kemerdekaan" dan "Demokrasi" yang Ayah dan Ibu saya hadirkan di dalam Rumah adalah "jembatan" bagi saya untuk mengenali dan mencoba memahami sikap dan pemikiran Kritis, termasuk di dalamnya adalah tokoh-tokoh reformis, idealis, dan kritis yang kemudian saya kenali dan mencoba pahami pemikiran-pemikirannya, salah satunya ya Cak Nun.
Proses "Perkenalan" saya dengan Cak Nun tidak hanya dari sikap kritis Cak Nun terhadap Pemerintahan dan Kepemimpinan yang dinilai Otoriter dan Korup, Kisah cinta Cak Nun dengan Novia Kolopaking pun saya perhatikan baik lewat pemberitaan di media cetak dan Televisi.
Untuk hal ini, Â Ibu Saya yang proaktif dalam menanggapi dan mengomentari kabar pernikahan Cak Nun dengan Novia Kolopaking, ya tentunya sebagai seorang Wanita sudah sewajarnya Ibu saya cukup tertarik dengan pemberitaan seperti ini, apalagi soal Novia Kolopaking, siapa yang tak kenal Novia Kolopaking di dekade 90an? Siti Nurbaya dan Keluarga Cemara adalah dua judul sinema yang sukses dibintanginya dan membuat salah satu anggota keluarga Kolopaking ini menjadi Populer.
Di kemudian hari, dengan semakin bertambahnya Usia saya -dan Usia Cak Nun juga tentunya- kemudian cukup banyak saya mengikuti aktivitas-aktivitas Cak Nun, jika di masa kecil Saya dulu yang saya "tangkap" dari Cak Nun adalah Aktivisme, Kritisisme, dan Idealisme, di usia remaja saya pun mencoba memahami karya-karya sastra (termasuk puisi -- Musikalisasi Puisi) juga Pentas Drama serta Pagelaran Sholawat dari Cak Nun.
Dan di awal 2010an, awal saya di bangku Kuliah, saya mulai ikut larut dalam ceramah-ceramah pengajian Cak Nun, baik dari Majelis Mayarakat Maiyah ataupun Majelis Sinau Bareng, di era ini pula teknologi informasi dan komunikasi mendadak seperti "melecut" tak terbendung dalam perkembangannya.
Munculnya Platform-platform Video dan Media Sosial, memudahkan orang-orang (termasuk saya) untuk mengakses informasi, karya, dan ceramah-ceramah Cak Nun, meskipun di kemudian hari dengan adanya sistem informasi yang bebas dan tak terbatas serta minim filtrasi juga dikeluhkan oleh banyak orang termasuk Cak Nun sendiri, karena orang bisa dengan mudah membuat "Black Campaign" terhadap orang lain hanya dengan cara merekam, memotong-motong, dan menyunting video serta pernyataan orang lain.
Dan di hari ini, banyak dari kita tentunya sering mendengar dan menemukan kata Maiyah, Apa Itu Maiyah? Kenapa banyak orang tertarik dengan Maiyah? Apakah Maiyah bisa disebut sebagai sebuah Gerakan Sosial? Seberapa penting ketokohan Cak Nun dalam Maiyah? Ya, pertanyaan-pertanyaan ini pernah hadir dalam benak saya, dan mungkin di benak para pengagum Cak Nun dan Pegiat Maiyah pada umumnya.
Saya hanya akan membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sudut pandang saya sebagai pengagum Emha Ainun Najib, meskipun saya juga beberapa kali sempat menghadiri Majelis Maiyah dan Sinau Bareng, tetapi saya tidak cukup berani untuk menahbiskan diri saya sendiri sebagai bagian dari Masyarakat Maiyah, meskipun yang saya tahu Cak Nun sendiri tidak pernah mempermasalahkan siapa, berapa, dan seperti apa seharusnya Jamaah Maiyah itu.
Tak ada bai'at, pembaretan, atau prosesi lainnya jika kita bergabung dalam Maiyah, apalagi  kartu anggota, siapapun boleh hadir dalam majelis Maiyah dan Sinau Bareng. Bahkan yang paling radikal Cak Nun sendiri berulangkali sempat mengatakan bahwa "masio gak ono maiyah aku yo gak patheken" yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Jikapun tidak ada Maiyah, tidak masalah bagi saya".
Secara etimologis, Maiyah berasal dari kata ma'a, yaitu sebuah kata dari Bahasa Arab yang artinya bersama. Dan Maiyah bisa diartikan sebagai kebersamaan. Cak Nun sendiri selalu menggaris bawahi bahwa Maiyah bukanlah Organisasi Keagamaan, bukan juga sekte atau aliran keagamaan, bukan pula Gerakan Sosial, apalagi Gerakan Pembaharuan.
Tapi di samping itu Cak Nun sendiri membebaskan kepada orang-orang baik yang "berkumpul" dalam Majelis Masyarakat Maiyah ataupun yang tidak, untuk punya interpretasi masing-masing terhadap Maiyah itu sendiri, yang jelas menurut saya sendiri Maiyah tidak terikat oleh "embel-embel" dan Tujuan apapun selain sebagai Majelis untuk Sinau Bareng (Belajar Bersama), bahkan Maiyah tidak terikat oleh latar belakang usia, pekerjaan, gender, organisasi, agama, budaya, suku, ras, dan bahkan Bahasa sekalipun.
Terbukti dalam setiap acaranya, Maiyah justru mampu "menampung" berbagai macam perbedaan. Di sini ketokohan Cak Nun memang tak terelakan sebagai episentrum lingkaran Jamaah Mayarakat Maiyah dan Sinau Bareng, kecakapan komunikasi, pemikiran "bertingkat-tingkat", wawasan dan keilmuan yang dimiliki Cak Nun bagaikan tulangan dan fondasi dalam konstruksi sebuah struktur bangunan.
Sebagai seorang Cendekiawan cum Komunikator yang cakap, Cak Nun tidak hanya menebar "benih-benih" dan "memupuk" serta "mengairinya" agar tumbuh subur, Cak Nun pun mampu "membedah" dan "memantik" jalan pikir para jamaah yang hadir, beragam cara dilakukan agar Jamaah tidak hanya bersuka ria dan berfikir komperhensif.
Cara Cak Nun menyampaikan ide dan gagasan untuk dilemparkan dan di proses oleh jamaah pun hampir selalu Dinamis, ada tawa, canda, gurauan, bahkan amarah, kesedihan, ketegangan, ketakutan, dan tak lupa ketenangan, ketentraman, dan semua hal itu Cak Nun menyebutnya dengan "Kemesraan".
Cak Nun seringkali menjadikan Kemesraan sebagai media untuk berkomunikasi tidak hanya dalam hal Habluminannas tapi juga Habluminallah, Cinta adalah titik berat dalam hubungan kemesraan antara Manusia dengan manusia dan tentunya antara Manusia dengan Allah.
Tidak hanya ceramah dan diskusi, Cak Nun bahkan sering menjadikan panggungnya sebagai pagelaran seni, mulai dari mengajak jamaah bersholawat, menyanyi, membaca pusisi, memainkan music, dan bahkan mengajak Jamaah untuk memainkan permainan Tradisional (dolanan).
Begitu dinamisnya panggung Maiyah yang juga tak bisa menafikan kehadiran Gamelan Kiai Kanjeng, sebuah orkestrasi music yang menampilkan Gamlean Kontemporer dengan Konsep nada yang unik yang diciptakan oleh Novi Budianto, Orkestrasi Kiai Kanjeng ini sering disalah artikan sebagai nama Group Musik, padahal kiai kanjeng sejatinya adalah nama "Julukan" untuk Gamelan tersebut.
Meskipun memang ada group music yang di dalamnya ada Gamelan Kiai Kanjeng dan setia tampil di atas panggung sebagai pengiring Cak Nun dalam Majelis Maiyah dan Sinau bareng, Alunan nada-nada dari Kiai Kanjeng seolah setia dalam mengiringi kontemplasi para jamaah.
 Bagi para pengagum Cak Nun, tak elok rasanya jika kita mengesampingkan proses-proses "perjalanan sunyi" Cak Nun, "pengembaraan" Cak Nun dalam dunia Sufisme adalah bagian yang tak terelakan pada diri Cak Nun, dan Tasawuf memang selanjutnya mempengaruhi dan selalu nampak dalam segala aktivitas seni, sastra, spiritualitas, dan karya-karya serta aktivitas Cak Nun lainnya (termasuk Maiyah).
Saya sendiri tak banyak tau tentang proses "pengembaraan" Cak Nun di "Jalan Sunyi", sedikit yang saya Tahu bahwa Cak Nun punya seorang yang ia kagumi, cintai, serta menjadi tauladan, Cak Nun sering menyebut nama Umbu Landu Paranggi, Sastrawan Besar Dari Sumba, "Raja Malioboro" ini adalah pencetus Persada Studi Klub (PSK), Komunitas berkumpulnya para Sastrawan yang kemudian hari "mengunduh" nama-nama Besarnya, salah satu anggotanya adalah Emha, nama Emha sendiri adalah akronim dari Muhammad, akronim itu diberikan Umbu Landu Paranggi kepada Cak Nun ketika masih sama-sama di dalam (PSK).
 Kembali ke Maiyah, sebagai "Anak kandung" dari Emha, Maiyah seperti sebuah oase bagi para pencari sumber air yang sedang dilanda Dahaga yang panjang, perjalanan Maiyah sebagai sebuah "Lembaga Pendidikan" -jika boleh saya sebut- berpengaruh besar terhadap keberlangsungan dan berkembangnya Maiyah itu sendiri baik di Indonesia maupun Mancanegara, setidaknya hingga hari ini.
Embrio Maiyah bisa kita telusuri lebih jauh di era 90an, sekitar Tahun 1994 di Menturo, Sumobito, Jombang, Tempat lahir dan kampung halaman Cak Nun, terlahir sebuah acara pengajian yang dinamai Padhangmbulan dan digagas oleh keluarga besar Cak Nun.
Setelah itu muncul pengajian-pengajian dengan konsep Sinau Bareng, di sekitar 2001 dalam Kenduri Cinta, sebuah majelis diskusi dan belajar bersama yang selalu dilakukan di Taman Ismail Marzuki (TIM) di jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat, tercetuslah nama Maiyah sebagai nama dari sebuah "ruang belajar bersama" yang mengusung kebersamaan dalam setiap ngangsu kawruh-nya.
Maiyah sebagai Majelis Ilmu berkembang dan melahirkan banyak simpul-simpul, diantaranya: Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Bangbang Wetan (Surabaya) Papperandang Ate, (Mandar, Sulawesi Barat), Juguran Syafaat (Banyumas Raya), Maneges Qudroh (Magelang), Waro` Kaprawiran (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo), Jamparing Asih (Bandung), Suluk Surakartan (Surakarta), Magarmaya (Sukabumi), Maiyah Kalijagan (Demak), Maiyah Kanoman (Pemalang), Rampak Osing, (Banyuwangi), Paseban Majapahit (Mojokerto), Paddhang Ate (Bangkalan), Batang Banyu (Banjarmasin), Maiyah Ternate (Ternate), Maiyah Cirrebes (Cirebon), Sibar Kasih (Cikarang), Bege Silampari (Lubuk Linggau), Suluk Bahari (Tanjung Pinang), Maiyah Dualapanan (Lampung), Batam Maiyah (Batam) Masuisani (Bali) Tong Il Qoryah (Korea Selatan), Mafaza (Eropa), dll.
Selain simpul Maiyah yang tersebar banyak di berbagai Kota dan Pulau di Indonesia, bahkan pula di Mancanegara, Konsep Sinau Bareng di luar simpul-simpul Maiyah juga sudah banyak digelar dibanyak Daerah di Indonesia dan Mancanegara, Majelis Sinau Bareng Bersama Cak Nun ini biasanya dihelat oleh Masyarakat Umum dan Instansi-instansi serta Organisasi yang mengharapkan kehadiran Sinau Bareng untuk "melepas" dahaga mereka lewat kehadiran "Cinta" dan "Kemesraan".
Hal yang cukup saya sesali sekarang adalah, masih banyak tulisan dan karya-karya Mbah Nun yang belum saya baca, seperti: Indonesia Bagian Dari Desa Saya (1980), Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah (1994), Kiai Sudrun Gugat (1994), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1995), Kafir Liberal (2005), Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1999), Tidak. Jibril Tidak Pensiun (2007), Kiai Hologram (2018), Pemimpin Yang "Tuhan" (2018), Lockdown 309 Tahun (2020), dll.
Gelar Selebriti untuk Emha Ainun Najib, memang pantas disematkan kepadanya, dari Desa ke Kota, dari Instansi Ke Organisasi, dari Tokoh ke Tukang, siapa  yang tak mengenal Emha Ainun Najib a.k.a Cak Nun, Tokoh Cemerlang yang pernah diberi gelar Kiyai Mbeling ini, kepopulerannya bukan hanya sebuah fenomena belaka.
Emha bukan hanya "petani" yang sedang "menanam" dan "merawat" tanamannya, namun ia juga "Ayah Kandung" dari Gelombang Besar yang disebut Maiyah, Mbah Nun, sapaan akrab "anak-anak" Maiyah Kepadanya, sepertinya memang lebih nyaman menjadi "Mbah" untuk para "Anak-Cucu Ideologis-nya" ketimbang disebut Kiyai, Gus, atau Ustadz.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI