Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emha Sang Selebriti dan "Anaknya" yang Bernama "Maiyah"

11 Desember 2021   19:16 Diperbarui: 28 Januari 2022   04:17 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emha Ainun Nadjib di Padhangmbulan pada 1990. (Dok. caknun.com via wikimedia.org)

Saya memang tak pernah membaca tulisan-tulisan Cak Nun sebagai Kolumnis di Koran-koran dan Majalah seperti Kedaulatan Rakyat (KR), Kompas, Tempo, dan Jawapos. Saya hanya bisa menemukan Cak Nun di Suara Merdeka dalam Kolom Gambang Pesisiran, itupun saya dapat dari tumpukan koran-koran bekas milik Ayah saya, karena Kolom Gambang Pesisiran yang diisi Cak Nun seingat saya sudah tidak ada ketika saya sudah mulai bisa membaca.

Tulisan dalam kolom tersebut  bertarikh 6 Maret 1993 tepat beberapa hari sebelum saya Lahir, dengan Judul Raja Yang Berani "Mendito", tulisan ini kemudian dimuat ulang dalam situs Caknun.com yang diterbitkan pada 30 Juli 2015. Tentunya pada waktu itu saya tidak ingat apakah saya benar-benar memahami atau tidak dengan Tulisan Cak Nun yang saya baca, tapi seingat saya itulah untuk pertama kalinya saya membaca Tulisan Cak Nun.

Jauh sebelum itu, saya sudah mengenal Cak Nun dari pemberitaan-pemberitaan di media cetak dan sesekali dari Televisi, sebagai anak kecil yang masih polos, saya hampir selalu didampingi oleh Ayah atau Ibu Saya dalam setiap membaca atau menonton Televisi. Hal pertama yang saya ketahui tentang Cak Nun waktu itu adalah bagaimana Cak Nun mengritik Presiden Soeharto di akhir-akhir kekuasaan beliau, Ayah saya waktu itu hampir selalu sinis ketika ada bahasan atau bacaan tentang Kritisisme Cak Nun terhadap Pemerintahan Presiden Soeharto.

Maklum, selain sebagai PNS, Ayah saya juga aktif di Golkar dan beberapa sayap kepemudaan Golkar serta aktif pula di Organisasi Pemuda Pancasila, begitupun dengan Ibu saya yang hampir selalu satu arah dengan Ayah saya dalam "mendukung" Presiden Soeharto. Tapi yang boleh saya syukuri terhadap Ayah dan Ibu saya adalah Saya tidak pernah dilarang untuk  membaca apapun dan tulisan siapapun dengan tema apapun, meskipun tema politik yang sangat kritis terhadap Rezim Orde Baru, termasuk Tulisan dan pemberitaan tentang Cak Nun sebagai Kritikus.

Lambat laun saya menjadi mengerti, bahwa "Kemerdekaan" dan "Demokrasi" yang Ayah dan Ibu saya hadirkan di dalam Rumah adalah "jembatan" bagi saya untuk mengenali dan mencoba memahami sikap dan pemikiran Kritis, termasuk di dalamnya adalah tokoh-tokoh reformis, idealis, dan kritis yang kemudian saya kenali dan mencoba pahami pemikiran-pemikirannya, salah satunya ya Cak Nun.

Proses "Perkenalan" saya dengan Cak Nun tidak hanya dari sikap kritis Cak Nun terhadap Pemerintahan dan Kepemimpinan yang dinilai Otoriter dan Korup, Kisah cinta Cak Nun dengan Novia Kolopaking pun saya perhatikan baik lewat pemberitaan di media cetak dan Televisi.

Untuk hal ini,  Ibu Saya yang proaktif dalam menanggapi dan mengomentari kabar pernikahan Cak Nun dengan Novia Kolopaking, ya tentunya sebagai seorang Wanita sudah sewajarnya Ibu saya cukup tertarik dengan pemberitaan seperti ini, apalagi soal Novia Kolopaking, siapa yang tak kenal Novia Kolopaking di dekade 90an? Siti Nurbaya dan Keluarga Cemara adalah dua judul sinema yang sukses dibintanginya dan membuat salah satu anggota keluarga Kolopaking ini menjadi Populer.

Di kemudian hari, dengan semakin bertambahnya Usia saya -dan Usia Cak Nun juga tentunya- kemudian cukup banyak saya mengikuti aktivitas-aktivitas Cak Nun, jika di masa kecil Saya dulu yang saya "tangkap" dari Cak Nun adalah Aktivisme, Kritisisme, dan Idealisme, di usia remaja saya pun mencoba memahami karya-karya sastra (termasuk puisi -- Musikalisasi Puisi) juga Pentas Drama serta Pagelaran Sholawat dari Cak Nun.

Dan di awal 2010an, awal saya di bangku Kuliah, saya mulai ikut larut dalam ceramah-ceramah pengajian Cak Nun, baik dari Majelis Mayarakat Maiyah ataupun Majelis Sinau Bareng, di era ini pula teknologi informasi dan komunikasi mendadak seperti "melecut" tak terbendung dalam perkembangannya.

Munculnya Platform-platform Video dan Media Sosial, memudahkan orang-orang (termasuk saya) untuk mengakses informasi, karya, dan ceramah-ceramah Cak Nun, meskipun di kemudian hari dengan adanya sistem informasi yang bebas dan tak terbatas serta minim filtrasi juga dikeluhkan oleh banyak orang termasuk Cak Nun sendiri, karena orang bisa dengan mudah membuat "Black Campaign" terhadap orang lain hanya dengan cara merekam, memotong-motong, dan menyunting video serta pernyataan orang lain.

Dan di hari ini, banyak dari kita tentunya sering mendengar dan menemukan kata Maiyah, Apa Itu Maiyah? Kenapa banyak orang tertarik dengan Maiyah? Apakah Maiyah bisa disebut sebagai sebuah Gerakan Sosial? Seberapa penting ketokohan Cak Nun dalam Maiyah? Ya, pertanyaan-pertanyaan ini pernah hadir dalam benak saya, dan mungkin di benak para pengagum Cak Nun dan Pegiat Maiyah pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun