Meski pengalaman perdananya melatih Spurs sama ngga bagusnya dengan Hill, Pop berhasil mengarahkan Spurs untuk mendatangakan Tim Duncan lewat draft.
 Kebetulan sebagai power forward, Duncan bisa dibilang udah matang, meski masih muda karena punya penetrasi, finishing, umpan, post up, block, dan jumpshot yang amat bisa diandalkan.
Untuk memaksimalkan potensi Duncan, Popovich mendatangkan shooter Mario Ellie/ Jaren Jackson, forward dengan daya juang tinggi Malik Rose, Jerome Kersey, serta shooter berpengalaman Steve Kerr.
Bahkan untuk pemain seperti Malik Rose, doi biasanya langsung nyelonong nyari posisi enak di dekat jaring begitu ngirim umpan.
Menariknya, Spurs di bawah kepelatihan  Popovich seolah punya persyaratan khusus saat mendatangkan pemain baru di mana selain punya skill yang seimbang, para pemain baru Spurs bersedia bermain sebagai satu tim, seperti Stephen Jackson yang hobi menyelinap di antara kawalan pemain lawan, Steve Smith yang kurang lebih mirip Vinny meski lebih jangkung, playmaker prancis Tony Parker (draft no. 28 tahun 2001) yang bukan cuma jago nyetak angka di bawah jaring, tapi juga bergerak sedekat mungkin dengan posisi enak mereka sendiri.
Lewat gaya bermain yang senantiasa luwes dari sananya, gaya permainan 0,5 offense akan mengalir dengan sendirinya tanpa perlu ceramah macem-macem.
Bahkan Pop sering melakukan timeout di awal-awal laga cuman untuk bilang, "kalian sendiri tahu seharusnya bermain seperti apa."
Kesan tersebut semakin kuat dengan hadirnya guard lincah jago penetrasi Manu Ginobilli, salah satu pebasket dengan prestasi langka karena meraih juara NBA, medali emas olimpiade, juara FIBA, juara Eurolegue (bahkan sebelum bergabung bersama Spurs yang membuat Pop tertarik meski urutan draftnya termasuk nomor belakang sendiri (draft urutan 57/1999)
Meski terkesan makin mengalir, permainan Spurs tidak akan hidup tanpa kehadiran Bruce Bowen, mini Rodman yang dikenal bikin Kobe frustasi dengan defense yang keras.