Coretan ini dibuat karena saya agak kesulitan menyampaikan secara ringkas benang merah permainan Phoenix Suns dari waktu ke waktu, meski ciri khas mereka sejak jauh-jauh hari, terbilang sudah jelas. Kebetulan, dengan membahas permainan NBA saat ini dari sudut pandang Boston Celtics,penjelasan tentang Phoenix Suns dan mungkin tim-tim sesudahnya bisa lebih ringkas.
Bisa dibilang, dalam beberapa tahun belakangan, komposisi dan gaya permainan tim-tim NBA berkaca pada tim seperti Golden State Warriors dan Boston Celtics.
Saya bilang "seperti" lantaran nggak ada tim yang 100 persen mengadopsi gaya kedua tim sepenuhnya. Bahkan boleh dibilang, mungkin ada tim yang mengombinasikan dua sistem tersebut dalam satu tim.
Ketika mengadopsi gaya Warriors, tidak semua pemain yang ada di atas lapangan harus memiliki postur merata dan punya skill lengkap. Para pemain yang ada di atas lapangan seenggaknya memiliki dua skill yang cukup menonjol. Entah itu kombinasi dribel dan mengumpan, menembak dan dribel, dan sebagainya
Kelebihan dari skema ini, selama seorang pemain tidak memiliki dua kelemahan mendasar (misal terlalu pendek dan tidak bisa menembak).
Pemain tersebut kemungkinan akan punya kesempatan bermain di lapangan selama pemain tersebut bersedia beradaptasi seperti Jonathan Kuminga (Warriors), Aaron Gordon (Nuggets), atau Zion Williamson (Pelicans) yang justru sekarang diberi peran menjadi playmaker lantaran punya dribel dan fisik prima, meski akurasi tembakan kurang konsisten.
Menarik lagi adalah peran yang diberikan pelatih Portland Chauncey Billups pada Josh Hart yang meski punya skill lengkap, fisik prima, dan amat bisa mencetak 25++ dalam satu game dengan berbagai cara (termasuk lewat tembakan tiga angka).
Dengan postur dan skill yang nanggung, Hart boleh dibilang diberi kebebasan melakukan apa pun untuk Blazers kecuali menembak, dengan cara ini justru aliran bola Blazers lebih hidup dan nggak gampang kebaca.
Sistem berikutnya adalah sistem yang sebenarnya tidak hanya dipakai Boston Celtics, tetapi juga Houston beberapa tahun lalu, yaitu memainkan komposisi pemain dengan postur dan skill yang relatif sama (misal sama-sama berpostur tinggi dan jago tembak).
Dengan kemampuan Jayson Tatum (dan penerima umpan darinya) melepaskan tembakan bahkan ketika hendak berpenetrasi dari area tiga angka, pemain mana pun yang kelak menerima operan dari shooter tersebut kemungkinan akan ada satu yang tak terkawal karena tidak jarang akan ada lebih dari pemain yang mengawal Tatum di depan bola.
Dengan skema permainan yang lebih kaku seperti ini, pemain seperti Al Horford yang ketangkasan jauh berkurang pun masih bisa mengimbangi kecepatan sekaligus mengeblok lay up pemain yang lebih muda.
Saya menyoroti Celtics secara khusus lantaran, baik saat menyerang dan bertahan, lantaran lima pemain lawan yang berada di lapangan secara umum akan berhadapan satu lawan satu dengan pemain Celtics yang minimal 2,5 sentimeter lebih tinggi dari mereka.
Sudah menjadi rahasia umum (meski tidak selalu), pemain yang lebih tinggi dan tergolong kokoh (serta bertempo cepat), seperti rata-rata pemain NBA saat ini, akan diuntungkan saat menyerang lantaran pandangan mereka tidak akan terhalang saat menembak (dan sebaliknya), sekaligus memperbanyak variasi serangan, termasuk yang didahului penetrasi memanfaatkan kekuatan fisik playmaker, yang setidaknya punya floater yang bagus.
Bahkan meski akan lebih sering diuber pemain berfisik lebih prima, pemain mungil Payton Pritchard, yang didatangkan di era President of Basketball Operation Celtics Danny Ainge (mantan guard dan pelatih Phoenix Suns yang juga mungil) ini sejauh ini tampil padu dengan sesama rekan di Celtics lantaran Pritchard punya skill yang nggak jauh beda dengan sesama rekannya di Celtics.
Terlepas penampilan Celtics yang tidak sekonsisten (baca: bersemangat) awal musim di mana mereka bisa mengimbangi tim-tim yang sekarang sedang tampil konsisten (seperti Cleveland, Memphis, Denver, dan Kings yang tampil rada lumayan sejak dilatih Mike Brown), kemiripan postur dan skill itulah yang membuat Celtics mampu mengimbangi tim-tim yang sistem permainannya sama-sama matang.
Terlebih nyaris semua kelebihan dan kekurangan tim NBA sudah diketahui khalayak. Kita tinggal mengecek komen para fans tiap tim yang biasanya menyerbu twitter, artikel play by play, atau recap tim yang isinya kelak sangat tidak akan jauh berbeda (dengan komen bahkan lebih cepat dan ngena).
Dari situs olahraga manapun yang membahas basket, seperti fans Hawks, akan senantiasa menyoroti defense Trae Young saat bermain atau pelatih Clippers Ty Lue yang kemarin trending di Twitter.
Ty Lue sejak lama hobi memasang komposisi pemain yang tidak terlalu tinggi dalam satu waktu di saat krusial seperti playmaker cepat John Wall (yang ga bisa nembak), shooter tajam Luke Kennard (yang kurang tangkas), serta forward serbabisa Paul George sebagai center, termasuk saat mereka sudah berhasil mengejar ketinggalan 14++ pada partai melawan Miami Heat dengan tidak membiarkan Tyler Herro berhadapan satu lawan satu dengan para guard Clippers.
Bahkan tim seperti Boston Celtics sendiri nggak lepas dari sorotan fans tim sendiri. Misal Marcus Smart yang kurang punya finishing bagus di bawah jaring dan hobinya yang sempat berlama-lama mendribel bola di hadapan pemain lawan sebelum melepaskan tembakan yang ... tidak akurat (yang untungnya sudah jauh berkurang musim ini).
Alasan inilah yang mendorong manajemen Celtics mendatangkan Malcolm Brogdon yang bukan cuma defense dan shooting bagus, tapi juga timing bagus melepaskan umpan, tanpa selalu berpenetrasi sampai mentok.
Skill inilah yang kurang dikuasai Jayson Tatum, meski dribel dan ketangkasan fisik Tatum lumayan meningkat.
Menurunnya penampilan Celtics bisa dibilang cukup logis, selain menurunnya akurasi tembakan tiga angka Sam Hauser dan Horford misalnya, semua tim NBA (yang musim ini tidak bisa dibilang konsisten sebagaimana tercermin dari berganti-gantinya tim penghuni tiga besar, terutama tim wilayah barat, di awal musim) sudah mulai menemukan komposisi yang seimbang.
Misal, Cleveland yang mulai tampil konsisten sejak mencadangan satu dari tiga guard utama mereka (terutama Caris Levert) atau Miami Heat yang mulai konsisten lagi sejak Victor Oladipo dan Jimmy Butler pulih (meski jump shot Adebayo yang tidak konsisten bisa jadi PR).
Terlebih jadwal NBA bisa dibilang agak menguntungkan tim-tim papan atas, terutama jika selisih kemenangan dengan tim di bawahnya tidak terlalu ketat.
Tim papan atas biasanya biasanya tidak akan terlalu ngoyo untuk menang ketika menjalani jadwal back to back (dua game dalam dua hari) di mana tim akan melepas (mengalah) salah satu game, biasanya game di hari kedua untuk menjaga stamina.
Tim tersebut juga condong akan melepas satu game apabila dijadwalkan bertemu tim yang sama sebanyak tiga atau empat kali (biasanya tim dalam wilayah yang sama) lantaran tim tersebut sudah unggul head to head.
Meskipun tidak selalu, bukan suatu hal yang baru juga kalau suatu tim melepas pertandingan tandang ketika bertemu tim yang berbeda wilayah mengingat kedua tim hanya bertemu dua kali.
Yang rada mengherankan justru kalau suatu tim tersebut menyapu bersih pertandingan kandang dan tandang ketika bertemu satu tim tertentu. Entah tim tersebut emang bagus banget atau justru nyari kesempatan buat menang.
Jadwal pertandingan NBA makin menguntungkan tim papan atas pada sepertiga bagian akhir babak reguler (sekitar 35 sampai 25 pertandingan terakhir dari total 82 pertandingan), di mana tim papan atas yang biasanya nggak terlalu ingin memforsir tenaga justru makin senang ketika bertemu tim yang lebih suka kalah demi mendapatkan draft dengan urutan yang lebih baik.
Untuk mengurangi kebiasaan seperti ini, NBA mengadakan turnamen play in untuk memberi kesempatan tim peringkat sembilan atau sepuluh bisa masuk peringkat delapan besar (lewat pertandingan head to head).
Meski, kalau pun berhasil lolos, mereka akan menghadapi unggulan pertama di wilayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H