Sebelum bikin coretan kurang penting ini, saya pengen mengingatkan diri saya sendiri kalau saya bukan orang atau ahli medis dan nggak pernah dapet pembekalan medis dari mana pun dan dalam bentuk apa pun sampai saat ini.
Saya cuma penggemar para sineas drama jepang yang sepertinya tahu benar cara berbagi pengetahuan medis dengan cara bercerita. Cerita yang seharusnya bikin saya sadar kalau saya makin nggak tau apa-apa soal medis.
Miyama Yoko, dokter yang tegas, jutek, nggak suka basa-basi, fair (terhadap masukkan yang baik dan masuk akal), Kuroiwa Kengo (foto om-om sedakep), dokter yang flamboyan, cuek, gatel terhadap lawan jenis, meski nggak digambarkan sebagai tipe om-om senang yang royal, serta Nishigori Takuma (foto dokter yang jasnya pake kerah), dokter muda yang brilian dan terkesan arogan.
Kebetulan keduanya merupakan dokter-dokter bedah terbaik yang sengaja didatangkan (kalau ngga salah) kepala departemen bedah saraf, Imadegawa Takao (foto dokter rambut putih), untuk membantu dokter Miyama.
Dan, karena keterampilannya yang masih terbatas, ia dijadikan bahan olok-olok seksis dokter Kuroiwa (sadar nggak sadar, dengan mendeskripsikan dokter Sachiko seperti ini saya berarti sama seksisnya dengan Kuroiwa. Seksisme saya bahkan masih berlanjut pada deskripsi dokter Kozukue berikutnya di paragraf selanjutnya).
Yang kuat justru gimana gangguan kesehatan tiap pasien yang para dokter itu tangani bisa memberikan wawasan sekaligus drama tersendiri untuk para penikmatnya (di situlah ciri khas drama jepang yang membuatnya mungkin tidak banyak menarik peminat penonton layaknya drama ber-genre sama dari Korea atau Amrik misalnya).
Wawasan yang dimaksud, salah satunya muncul di episode perdana, yang bercerita tentang pasien yang diduga mengalami tumor di bagian lobus temporalis yang beberapa fungsinya antara lain menerima informasi sensoris dari telinga dan membantu menyimpulkan pesan yang disampaikan penutur pada kita (koreksi kalau salah).Â
Melihat betapa pentingnya fungsi lobus temporalis dan letak apa yang diduga tumor (dari hasil pencitraan CT Scan) yang berada dekat dengan pembuluh darah-pembuluh darah penting, TERLEBIH KARENA SETELAH PULANG DARI PERJALANAN BISNIS DARI VIETNAM, dalam tiga minggu terakhir, terhitung sejak pasien dicitra pertama kali dengan CT scan sekaligus diinapkan, apa yang diduga tumor tersebut makin lama makin membesar, maka dokter menyarankan pasien untuk segera dioperasi.
Menariknya, pihak keluarga pasien malah menolak anggota keluarganya untuk dioperasi karena alasan tidak terlalu suka dengan rekam jejak dokter Kuroiwa yang ya begitu deh.
Alasan yang sebenernya kurang masuk akal lantaran, kalau memang pengen anggota keluarganya sembuh, dokter mana pun yang bisa mengoperasi, selama itu memang memungkinkan mah hayuk aja. Itu kalau saya.
Kebetulan kejanggalan alasan keluarga pasien ini dilihat oleh dokter Kozukue. Kozukue merasa heran kenapa foto yang dipajang di kamar pasien yang bersangkutan, semuanya merupakan foto baru.
Maksud saya, foto yang menunjukkan kehangatan keluarga pasien SEMUANYA diambil saat pasien sudah menginap di rumah sakit. Tidak ada satu foto lama pun yang dipajang yang menggambarkan kehangatan yang sama.
Meskipun komen Kozukue terkesan remeh, komen tersebut memberi perspektif baru pada dokter Miyama, yang akhirnya mengajukan diri mengoperasi pasien tersebut.
Ternyata, sejak diketahui menderita tumor, berdasar pengakuan istri pasien, pasien yang sebenarnya kasar terhadap anggota keluarganya mendadak menjadi amat bersahabat.
Dugaan dokter Miyama tentu saja minimal mengarah pada dua kemungkinan. Pertama, karena tumor (baca:sakit) secara tidak langsung mengubah pandangan hidup pasien. Kedua, karena tumor mempengaruhi sistem limbik otak pasien (koreksi kalau salah).
Kebetulan, kalau memang tumor tersebut mempengaruhi sistem limbik, sifat seseorang bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Kalau pada dasarnya baik, sejurus kemudian bisa beringas. Begitu pula sebaliknya.
Kebetulan berdasarkan penuturan istri pasien lagi, suaminya yang tadinya perhatian, mulai "gila" sejak delapan tahun terakhir, saat kehidupan keluarga ini berangsur mapan. Pada saat itu, suaminya mulai suka minum, main tangan, dan sebagainya.
Mendengar pengakuan tersebut, wajar jika dokter Miyama berpendapat bahwa gangguan yang dialami pasien disebabkan karena tumor yang mengganggu fungsi limbik sejak delapan tahun lalu, dan dokter Miyama menduga kalau kejadian tertentu yang dialami pasien di Vietnam bisa saja membuat "tumor" tersebut makin besar.
Kebetulan "tumor" tadi tidak sengaja ditemukan sewaktu anak sulung korban menjitak ayahnya pake bogem saat sedang beringas mengasari ibunya. Kebetulan karena kepala pasien terantuk, keluarga pasien berinisiatif membawa kepala keluarga mereka tersebut ke rumah sakit.
Dan kelanjutan ceritanya sudah bisa kita urutkan sendiri. Dari alasan tersebut, wajar jika keluarga pasien jadi punya dilema tersendiri yang tidak perlu kita jabarkan bulat-bulat sih mestinya.
Terlepas dari mana diagnosis yang benar atau salah, kalau mau jeli opini dokter Miyama yang kedua sebenarnya nggak benar-benar solid. Kalau memang "tumor" tersebut sudah mempengarungi pasien sejak delapan tahun lalu, kenapa sifat pasien berubah begitu ia mengetahui dirinya diduga menderita tumor.
Kalau benar "tumor" tadi membuat perilaku pasien berubah jadi lebih kasar, mestinya, sifat aslinya baru kembali setelah "tumor" tersebut diambil. Apa mungkin, makin membesarnya "tumor" tadi yang mengubah sifat beringas pasien menjadi baik. Itulah kenapa opini lain masih tetap terbuka. Toh masih ada faktor "Vietnam" yang masih bisa digali lebih dalam.
Terlepas dari logika berceritanya yang terkesan rada nggak konsisten, sampai di sini, saya sedikit paham alasan kenapa drama jepang kurang diminati masyarakat di luar jepang saat ini. Bahkan masyarakat Jepang sendiri belakangan lebih menggemari drama Korea yang kita tahu sendiri gayanya seperti apa.
Setidaknya buat masyarakat umum, meskipun memberi wawasan menarik, buat sebagian orang, jalan ceritanya terkesan kaku dan terlalu diatur rapi. Bahkan termasuk elemen pengecohnya. Boleh dibilang, kejutannya tidak benar-benar lepas karena terlalu ilmiah buat sebagian orang.
Saya sendiri nggak ingin membocorkan bagaimana kisah episode pertama ini dibungkus, karena anda bisa menontonnya sendiri.
Saya justru lebih tertarik untuk menyoroti fungsi otak manusia yang lain, yang jadi ide dasar episode berikutnya, yang mungkin bisa bikin penikmat drama, akan sangat masuk akal, kalau ujung-ujungnya kurang suka dengan cara penyampaian pengetahuan medis pada episode tersebut.
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang apabila bagian otak yang mengontrol emosi menjadi terlalu aktif, terkadang bagian otak yang bertanggung jawab mengenali wajah seseorang menjadi terganggu.
Gangguan tersebut disebut delusi Fregoli di mana wajah orang-orang yang sebenernya babar blas nggak ada mirip-miripnya, di benak kita, terutama orang asing, bisa dianggap orang yang sama.
Ya kali kaga papa kalok yang wajahnya mirip aktor ma aktris yang cakep siape gitu (balik ke diskriminatif lagi kan saya).
Delusi fregoli terjadi karena hormon dopamin (hormon yang berperan sebagai pengantar stimulus pada otak dan hormon yang memicu perasaan positif) tersekresi secara berlebihan. Sekresi berlebihan tersebut terjadi, salah satunya, karena ada bagian otak kita yang mengalami cedera misalnya.
Di sinilah yang otomatis bikin para dokter bedah saraf di serial ini keder, terutama Kuroiwa (yang wajahnya dikenali pasien dari foto bingkai duduk yang ditunjukkan perawat yang ikut mendampingi dokter Miyama dan Kozukue saat sedang mewawancarai pasien). Terlebih Kuroiwa sama sekali belum pernah melihat wujud pasien yang bersangkutan.
Energi dua dokter tadi makin menggelora lantaran saat sebelumnya dua dokter tadi menjadi sasaran seksisme Kuroiwa yang menganggap Kozukue kurang pantas masuk departemen bedah saraf karena belum piawai sebagai dokter bedah. Miyama sempat ikut panas karena kata "perempuan" sempat di bawa-bawa.
Pada episode kedua ini, para ahli bedah syaraf bukan cuma menangani kasus delusi fregoli doang, tapi juga kasus pasien yang sudah sejak lama tidak bisa berdandan lantaran tiap kali batang lipstik atau spons bedah menyentuh kulit, pasien langsung mengerang kesakitan layaknya tertusuk jarum.Â
Tapi anehnya, karena ceritanya yang runtut, saya seolah lupa istilah seperti tentorial meningioma atau Trigeminal neuraglia sempat bikin saya bingung sejenak. Ngomong-ngomong, semua gambar yang nongol di mari dicomot dari serialnya, kecuali yang bukan #eh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H