Mohon tunggu...
Candra Permadi
Candra Permadi Mohon Tunggu... Penerjemah - r/n

r/n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mencoba Menikmati Acara Favorit Masyarakat Inggris "Great British Bake Off"

17 Maret 2020   11:18 Diperbarui: 19 Maret 2020   16:02 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paul Hollywood dan Mary Berry (www.nytimes.com)

Kalau Anda boleh disuruh menebak, apa sih acara favorit masyarakat Inggris?

Jawabannya bisa jadi susah-susah gampang. Wajar kalau ada yang jawab sepakbola karena masyarakat Inggris emang gemar banget nonton bola. Bahkan saat Liverpool menang lawan Manchester City, bulan November kemaren, penontonnya nyampe 3,36 juta orang di Inggris aja.

Jangan nanya berapa miliar orang yang nonton pertandingan seru kala itu di seluruh dunia, yang jelas lebih dari 2 miliar orang nonton pertandingan dua tim itu. Salah satunya bukan saya, wong kebetulan saya udah lama nggak nonton EPL #eh.

Sepakbola emang banyak yang doyan. Nggak heran yang nonton, baik itu langsung nangkring di stadion atau dari tivi atau gadget masing-masing, terhitung luar biasa banyak. Itu di seluruh dunia. Kalau di Inggris beda lagi.

Angka 3,36 juta penonton masih terhitung biasa--yang komen terus dikepruk fans Liverpool--kalau dibandingin sama reality show manggang roti The Great British Bake off musim ke-7, sekitar tiga taun lalu, yang menarik minat rata-rata 13 juta orang di Inggris di tiap episodenya.

Bolu ditusuk pake tusuk gigi agar sari buah yang nanti dituang di atasnya bisa meresap di sari bolu (tangkapan layar pribadi)
Bolu ditusuk pake tusuk gigi agar sari buah yang nanti dituang di atasnya bisa meresap di sari bolu (tangkapan layar pribadi)
Bake Off, begitu orang Inggris biasa menyebutnya emang fenomenal. Meski awalnya hanya ditonton kurang dari 3 juta orang, perlahan namun pasti penontonnya makin banyak dan makin banyak di setiap musimnya, seiring makin makin mahirnya (calon) peserta yang ikut acara itu.

Kebeneran, Bake Off amat berpengaruh di Inggris. Masyarakat yang ikut grup "baking" alias grup memanggang makin banyak dan penjualan alat dan bahan pembuat kue dan roti makin hari makin meningkat. 

Terlebih masyarakat Inggris punya kebiasaan minum teh sore-sore atau lebih dikenal dengan afternoon tea yang kalau ngga salah daun tehnya dipetik di negara kita tercinta ini.

Daun teh yang dimaksud tidak lain adalah Ceylon tea atau teh Sri Langka, salah satu komoditi teh terbaik dunia, yang nggak tau kenapa gaungnya di sini biasa aja.

Tentu saja, ngeteh terasa kurang tanpa mengudap sesuatu. Kudapan yang habis dalam dua tiga gigitan, meski kalau masih pengen lagi masih bisa nambah.

Salah satu menunya adalah cupcake, cake kecil-kecil yang biasanya ditaruh di kertas dan cukup populer di Indonesia. Kebetulan, cupcake merupakan tantangan pertama yang dihadirkan di episode perdana musim kedua bake off sekitar delapan tahun lalu.

Kala itu, sepuluh peserta dari berbagai latar belakang profesi yang sama sekali tidak berprofesi sebagai patiseri dan hanya membuat kue sebagai hobi diminta membuat cupcake dengan hasil yang beraneka ragam dan nggak semua bisa dibilang bagus. Entah adonan kebanyakan peserta masih basah atau malah terlalu kering. Menariknya, pihak bake off sama sekali tidak menutupi soal itu. Apa yang mereka hasilkan, itulah yang ditampilkan di depan kamera. 

Drama dihadirkan bukan dari aksi saling sikut para peserta, tapi dari ketegangan peserta saat menakar, mengaduk, hingga menunggu adonan matang.

Buat sebagian orang mungkin agak kurang menarik, tapi bagi mereka yang biasa berkutat di dapur dan memanggang kue, terlebih bagi masyarakat awam, apa yang terlihat dari layar televisi para pemirsa bisa menghasilkan perasaan "gue banget".

Di luar perasaan itu, para pemirsa juga bisa mempraktikkan ilmu yang diterapkan peserta atau dibagi langsung oleh kedua juri.

Menariknya, tidak seperti Masterchef Amerika, yang ngasih ruang peserta lain untuk mengeliminasi peserta yang dinilai tangguh, semua peserta Bake Off bisa dibilang suportif.

Sembari menunggu adonannya sendiri matang, peserta sama sekali tidak diharamkan membantu rekannya. Kesan itu juga terlihat dari Great Australian Bake Off, versi Australia dari British Bake Off.

Nunggu adonan pastri--gambar: lifestyle.com dan istimewa
Nunggu adonan pastri--gambar: lifestyle.com dan istimewa
Walaupun tidak sampai harus membantu peserta lain, kesan suportif antar peserta juga bisa dinikmati lewat masterchef Australia, di mana, ketika suatu kelompok tidak berhasil menang dalam tantangan kelompok, anggota dari kelompok yang kalah tidak saling menjatuhkan satu sama lain.

Lolos tidaknya anggota tim ditentukan dari rasa dan tampilan masakan yang mereka buat.

Boleh dibilang, baik masterchef autralia atau Bake Off versi mana pun tahu benar bahwa proses memasak sendiri sudah bisa menghasilkan drama menarik tersendiri, tanpa harus saling sikut. Meskipun saling sikut pun tak masalah karena acara reality show seperti itu biasanya juga membuka ruang untuk itu.

Terlebih pada setiap episode-nya semua peserta wajib melalui tiga babak. Signature round, di mana peserta bebas berkreasi sesuai dengan tema dasar yang memang sudah diberikan juri.

Di sini, meski diberi kebebasan, peserta harus tetap berhitung apakah menu yang sudah dirancang di benak mereka mampu mereka eksekusi sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.

Babak berikutnya adalah technical round, di mana juri biasanya meminta peserta menduplikasi kue atau roti yang sudah dibuat juri. Artinya semua peserta mendapat resep yang sama dengan detail yang kadang sengaja tidak disebutkan. Poin ini yang kadang bikin hasil olahan peserta satu dan peserta lain tidak benar-benar seragam.

Babak terakhir tidak lain adalah babak show stopper atau kadang diterjemahkan jadi tantangan puncak kalau di sini, di mana peserta setiap peserta diminta membuat hidangan yang lebih rumit dari hidangan di dua babak sebelumnya.

Misal, kalau diminta bikin bolu, ya bolunya diminta untuk dibikin dengan hiasan yang rumit atau jumlah tingkat yang aduhai banyaknya, tentu saja dengan tetap memperhatikan sisi kreatif masing-masing peserta.

Sisi menarik Bake Off sebenarnya bukan cuma itu. Bake off juga kadang membuka sejarah terciptanya menu-menu yang diujikan di setiap babak. Termasuk sejarah tentang cupcake, yang menurut ahli sejarah kuliner, awalnya bukan dicetak dengan cetakan yang beralaskan kertas melainkan dengan cup (yang secara harfiah berarti cangkir) dan pembawa acaranya sendiri ikut mempraktikkan resep otentik yang dimaksud, yaitu campuran mentega, telur, tepung, dan buah kering.

Kebetulan, ahli sejarah kuliner tersebut juga menjelaskan tentang kapan cupcake pertama kali dibuat dari catatan resep cupcake yang berhasil ditemukan, yaitu sekitar tahun 1806.

cupcake (gambar tangkapan layar pribadi)
cupcake (gambar tangkapan layar pribadi)
Melihat bagaimana acara tersebut dikemas, rasanya saya paham kenapa televisi Indonesia belum ada yang coba menayangkan apalagi mengadaptasinya menjadi Bake Off versi Indonesia, meskipun dari sisi juri, mungkin nggak sedikit chef pastry Indonesia, yang punya karisma seperti duet Paul Hollywood dan Mary Barry.

Paul Hollywood memang dikenal dengan tatapan mata yang tajam namun tetap jadi sosok yang teduh. Bahkan pujian Hollywood kadang bisa jadi mood booster tersendiri buat para peserta yang rasa hasil panggangannya memang dipuji Hollywood.

Di satu sisi, Oma Mary Barry, walaupun terkesan sebagai nenek yang ngemong, punya ucapan yang tajam, misal menyebut bentuk biskuit yang dipanggang peserta lebih mirip "ginger dick" atau kalau nggak salah berarti "penis jahe" atau "rimpang jahe".

Dilihat dari karakter juri, meskipun kita mungkin punya patiseri dengan karakter yang mirip dengan beliau berdua, masyarakat Indonesia nggak gitu dikenal sebagai masyarakat yang secara khusus gemar mengudap kue atau roti (termasuk juga pastry atau hidangan yang dipanggang lainnya) tiap hari.

Kita mungkin punya kebiasaan ngemil sore, yang salah satu menunya termasuk kudapan-kudapan seperti kue atau roti. Tapi kue atau roti bukan menu wajib. Yang kadang wajib kalau nggak salah adalah umbi-umbian rebus atau goreng, jajanan pasar atau gorengan.Untuk gorengan pun kadang bukan sekedar buat camilan melainkan jadi temen buat ngemplok nasi #eh.

Terlebih kalaupun ada, apa masyarakat kita bakal tertarik untuk tau, kue pepe yang biasanya kita makan itu pertama kali dibuat tahun berapa. Yang ada kebanyakan dari kita udah laper duluan liat kue pepe warna ijo mengundang di depan mata.

Kita juga punya banyak pembawa acara kocak ma resek kayak Mel Gledroyc dan Sue Perkins. Mereka berdua bukan cuma doyan ngebanyol dengan mlesetin kata cake jadi kate, misalnya, tapi doyan cemal-cemil adonan belom jadi yang kita tau rasanya pasti enak.

Menariknya, mereka bukan cuma bisa ngehidupin suasana, tapi kadang ngasih tips gimana biar hasil "baking" mereka lebih baik.

Kalau di Indonesia, Bake Off belum begitu dilirik, beda dengan Amerika Serikat. Masyarakat amrik yang juga seneng ngemil bahkan termasuk masyarakat yang menggemari acara Bake Off. Saking gemarnya bahkan Bake Off sampai diadaptasi ke versi Amerika, dengan pembawa acara Ayesha Curry, istri pemain basket Stephen Curry. Namun di Amerika sendiri, konon, responnya nggak sebesar versi originalnya, "The Great British Bake Off".

The Great American Baking Show atau Bake Off versi Amerika sendiri, rerata, hanya ditonton sekitar 2-4 juta penonton per episode. Dengan populasi masyarakat Amerika Serikat yang secara teori lebih besar dari masyarakat Inggris, rating tersebut terbilang kecil, meski juri utama Bake Off. Paul Hollywood dan Mary Berry ikut diboyong ke Amerika.

Konon, meskipun, menerapkan format yang sama, versi Amerika dinilai nggak serumit versi Inggris. Terlebih, masyarakat Amerika, meskipun juga dikenal suka memanggang kalkun saat thanksgiving, nggak punya sejarah mengudap yang sekuat afternoon tea party di Inggris yang emang udah kesohor itu.

Lagi pula makanan yang tinggal ngemplok emang lebih enak daripada bikin sendiri walaupun kalau bikin sendiri pasti punya kepuasan batin yang berbeda #eh

Ngomong-ngomong soal beda masyarakat Inggris dan Amrik, mereka kadang punya penyebutan yang berbeda untuk satu hal yang sebenernya sama. Salah satunya adalah biskuit yang merupakan nama lain dari cookies (kukis).

Bedanya kukis lebih dikenal di amrik sedang biskuit di Inggris. Adonannya sama aja, wlopun kalau di sini kukis biasanya bentuknya bulet atau ditaburin kepingan coklat, klo biskuit orang sini akan mengasosiasikannya sebagai roti atau biskuit marie yang identik dengan biskuit bayi.

Sekian komen nggak penting saya soal Bake Off yang kliatannya kok nggak penting #eh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun