Mohon tunggu...
Candra Permadi
Candra Permadi Mohon Tunggu... Penerjemah - r/n

r/n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tunnel (Drakor): Kesan Pertama (yang Panjang)

4 April 2017   14:24 Diperbarui: 6 April 2017   00:30 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Interogasi Lee Sun Ok (gambar dipinjem dari OCN Original ep. 2)

Jujur, kisah yang berhubungan dengan perjalanan waktu, bukan pilihan utama saya. Kisah yang biasanya melibatkan tokoh utama yang dengan satu alasan, kembali ke masa silam, entah apa. Ini pun sama. Secara misterius, detektif Park Kwang Ho  datang ke suatu masa setelah dipukul pelaku kejahatan berantai hingga pingsan. Bedanya kali ini, tokoh utamanya terbangun di waktu yang lebih kita kenal 2016. Bagaimana bisa dan kenapa harus tahun itu? Kalau kita langsung tahu, bukan drama korea namanya. Menduga alasannya pun masih belum bisa. Sejauh ini, yang saya tahu cuma satu.  Peluit perak pemberian istri  detektif Park Kwang Ho  jatuh tergeletak dan tidak ikut terbawa ke masa depan. Shin Yun Suk memberikan peluit tersebut beberapa saat sebelum waktu kejadian dan berpesan untuk meniupnya jika membutuhkan bantuan. Hanya saja, kita perlu bersabar menunggu kelanjutan ceritanya lantaran kita harus kembali ke masa silam terlebih dahulu di mana ...

Pembunuhan terjadi tahun 1985. Korban  pertama ditemukan di tanah lapang berumput liar. Korban berikutnya ditemukan tak lama, selang dua mingguan. Kali ini dekat aliran sungai. Kenapa saya bilang korban kedua? Setidaknya korban sama-sama pucat, walaupun lebih tampak kehitaman buat saya, sama-sama memakai rok, kedua kaki terikat, dan leher terjerat stoking serupa celana. Paentiseutaking (팬티스타킹) kata orang-orang Korea. Sayangnya persamaannya cuma itu, baru itu setidaknya, menurut dokter forensik kala itu. Nggak ada tanda-tanda perlawanan. Tim CSI sekarang bilangnya kulit yang tertinggal di bawah kuku korban.  Jejak sperma pun tak ada. Jejak darah memang terlihat di mana-mana, hanya saja di masanya belum berarti banyak.

Kelanjutannya bisa ditebak. Korban berikutnya datang lagi. Korban, kali ini, Choon Hee, cukup dikenal baik para penyidik, bukan karena Choon Hee seorang polisi, namun lantaran korban adalah pelayan kedai kopi dekat kantor polisi. Nggak heran mereka kerap bersua pada jam istirahat.

Sayang bukan jam istirahat sebelum waktu kematian korban. Kata pemilik kedai, Choon Hee tengah mengantarkan pesanan. Waktu nganter katanya jauh lebih lama kalok pesenan dateng dari tempat konveksi. Minimal belum ada yang curiga apabila Choon Hee pulang terlambat. Hingga, pemilik kedai melapor ke kantor polisi. Korban belum lagi kembali padahal waktu  hampir menunjuk pukul 12 malam (Slank banget #eh), di mana petugas Jeon Sun Sik, yang tengah terjaga hanya memberi komentar singkat. “Sebentar lagi juga pulang kan, Kan Choon Hee juga kerja di kafe laen buat nyari tambahan”. Komentar yang akan disesalinya tak lama kemudian, pas tubuh korban ditemukan di padang rumput liar. Lagi-lagi pucat, terikat, dan tercekik stoking.

Laporan forensik sendiri menyatakan kalau korban kemungkinan besar diserang jam 9 malam, dua jam sebelum korban dilaporkan hilang. Jawaban yang seharusnya bisa melegakan hati petugas Jeon, seharusnya. Petugas Jeon sendiri masih merasa bersalah dengan apa yang dikatakannya.

Untungnya  (kalau boleh dibilang begitu), pemilik konveksi rada kenal kebiasaan korban ketiga yang selalu mencatat pesanan yang diantar dalam notes kecilnya. Notes yang membawa detektif Park Kwang Ho  mencurigai beberapa orang yang bekerja di konveksi. Sayang kita tahu komentar mereka (secara masih episode pertama). Mereka semua punya alibi. Mereka tengah sibuk dengan bahan pakaian di waktu kejadian. Mereka berarti tak hanya satu orang yang mendukung kesaksian satu hingga dua dua orang lainnya. Istri pemilik konveksi yang Park Kwang Ho  wawancara bahkan juga ikut memberi kesaksian. Kesaksian bahwa tak ada karyawan yang mangkir saat waktu kejadian.

Pembunuhan masih saja terjadi. Korban kali ini adalah ibu dari seorang anak berusia sekitar satu sampai dua tahun. Saya sendiri tidak tahu kenapa korban diserang selain lantaran korban tengah berjalan malam di jalanan sepi sembari membawa selarik dasi untuk suami. Saya nggak perlu mendepskripsikan kondisi korban sewaktu ditemukan. Kondisi korban sama. Pembedanya hanya satu. Korban ditemukan di malam hari nggak lama setelah waktu kejadian, dengan dasi yang ada dalam genggaman.

Baby Kim Sun Jae (Gambar dipinjem dari OCN Original Tunnel ep. 1)
Baby Kim Sun Jae (Gambar dipinjem dari OCN Original Tunnel ep. 1)
Rasanya nggak ada penonton yang nggak akan trenyuh melihatnya. Terlebih melihat suami datang bersama anak semata wayangnya di tempat kejadian. Seharusnya kejadian bakal lebih mengharukan lantaran suami dan putra korban berkunjung ke kantor polisi nyaris tiap hari mencari penjelasan, tapi kenapa entah akting lempeng pemeran Detektif Park Kwang Ho  membuat saya sedikit berubah pikiran. Bukannya terharu, saya justru merasa ada yang kurang. Akting Detektif Park Kwang Ho kurang natural. ...

Ketika keluarga korban masih datang berarti belum ada kejelasan. Meskipun bukan berarti belum ada titik terang. Titik terang muncul pada korban kelima. Detektif Park Kwang Ho  akhirnya ngeh kalok pelaku selalu menomori korbannya dengan tato titik di mata kaki korban. Korban pertama dengan satu titik, korban kedua dengan dua titik, Korban ketiga dengan tiga titik, dan korban kelima dengan enam titik. Penanda, yang buat saya sebenernya nggak berarti banyak. Kita hanya tahu tanda tersebut mengarahkan penyelidikan pada pelaku yang sama, apabila pelakunya emang sama, lantaran bisa saja petunjuk itu dibuat peniru yang bisa jadi kenal pelaku.

Sayang kita perlu menyimpan dulu pendapat itu. Keanehan jelas terpampang nyata di sana. Kalok korbannya cuma lima, lantas kenapa titiknya ada enam? Begitu kira-kira tanya detektif Park Kwang Ho. Saat jalan terasa buntu, Detektif Park Kwang Ho dan petugas Jeon mencoba memetakan lokasi kejadian. Empat korban ditemukan di lokasi berbeda. Nggak berjauhan sih tapi butuh waktu nyaris dua pertiga episode untuk menyadari polanya, pola yang nalarnya bisa dipahami siapa saja, bukan hanya polisi tapi juga saya. Pelaku kejahatan berantai cenderung akan berpikir untuk menyembunyikan korban di lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Korban berikutnya disembunyikan di tempat berbeda untuk menghilangkan kecurigaan.

Sepasang detektif itu pun mengunjungi tempat kejadian. Entah kebetulan atau tidak, terjadi kehebohan di sana. Seorang remaja terbukti membunuh anjing-anjing di lingkungan tersebut dengan keji. Pertanyaannya apakah seorang yang tega menyiksa anjing berarti penyiksa manusia juga? Sayang sangkaan polisi tidak terbukti  sehingga tersangka masih dibebaskan.

Hanya saja detektif Park Kwang Ho  tetap pada pendiriannya. Bukan meyakini bahwa remaja tadi bersalah namun meyakini bahwa kejahatan dilakukan tak jauh di lokasi kejadian perdana. Keyakinan yang membawanya ke sebuah lorong sepi di malam hari. Keyakinan yang membawanya melangkah jauh ke depan entah untuk alasan apa.  

Saya sadar informasi tambahan justru akan mengurangi kenikmatan anda menonton serial ini. Meskipun begitu. Sejatinya kisah Tunnel baru dimulai saat saya mengetik kata titik.

Detektif Park Kwang Ho  memasuki dunia baru selepas keluar dari terowongan. Nggak perlu jadi seorang  Park Kwang Ho  untuk merasakan excited, bingung, sekaligus frustasi di masa yang baru. Saya juga akan sama noraknya, sama gapteknya, dan sama bingungnya melihat dunia yang baru. Dunia baru yang sedikit terlambat disadarinya meski keanehan bertebaran sepanjang jalan yang membentang dari terowongan ke kantor detektif Park Kwang. Park Kwang Ho  nyaris ditabrak mobil yang kini berjalan lalu-lalang. Park Kwang Ho yang berupaya menilang pengemudi yang nyaris menabraknya nampak kikuk lantaran tak bisa membuka pintu mobil yang tetap terkunci otomatis selama mesin mobil masih menyala. Namun semuanya sirna sewaktu mobil langsung ngacir. Park Kwang Ho yang sejenak tampak bingung hanya bisa menggerutu.

Park Kwang Ho  masih belum menyadari perubahan yang terjadi ketika memasuki ruangan yang dulu dikenalnya meski kantor yang awalnya bernuansa krem mendadak jadi lebih putih dan mesin ketik berisik berganti komputer berlayar datar.

Park Kwang Ho  baru sadar ada yang berbeda ketika ada orang lain yang menempati mejanya. Seseorang yang dingin, tak bersahabat yang anehnya tengah asik membaca berkas kasus yang tengah ditangani Ho Park Hwang. Sesuatu yang pasti akan bikin penasaran apabila diperiksa di tahun 1986 dan akan mengundang tanya apabila berkas diperiksa 30 tahun berselang. “Siapa nih orang maen periksa-periksa aja berkas lama, emangnya situ siapa.” Sayang yang sibuk bertanya begitu baru anda, penonton maksud saya, dan bukan Park Kwang Ho. Park Kwang Ho justru lebih sibuk menghardik dan meyakinkan petugas asing bahwa ia duduk di tempat yang salah. Di sisi lain, petugas asing tadi nggak kalah galak, meminta Park Kwang Ho untuk nggak nyolot. Wajar petugas tadi bersikap berani lantaran doi emang nggak tengah melakukan kejahatan, nggak bersalah, dan doi emang letnan di kantor itu, Letnan Kim Sun Jae.

Menariknya, Kim Sun Jae tidak terlalu menaruh curiga pada Park Hwang Ho lantaran petugas bernama sama memang segera ditugaskan di kantor tempat Kim Sun Jae bekerja keesokan harinya. Bahkan pemberitahuannya pun dikirim lewat faksimili meski tanpa dilengkapi foto. Kebetulan aja Park Hwang Ho yang berada dekat mesin faksimili sewaktu pemberitahuannya nyampe. Data diri yang tercetak di pemberitahuan itulah yang membuat Park Hwang Ho sadar ada yang aneh. Bagaimana bisa Park Hwang Ho dilahirkan tahun 1988? Bukankah sekarang masih tahun 1986? Klo pun bener lahir tahun 1988, apa iya bayi dipercaya jadi polisi? Bukan detektif namanya klo Cuma sekedar bertanya. Park Hwang Ho pun langsung mencari tahu setelah berhasil melumpuhkan Kim Sun Jae. Memborgolnya di dekat kursinya sendiri.

Park Hwang Ho pun segera menapak tilas tempat yang (dulu) dikenalnya. Mulai dari kantor hingga tempat yang ia tinggali. Namun semua telah berubah. Rumah tinggalnya kini pun tak ada. Anehnya Park Hwang Ho nggak bertanya pada masyarakat sekitar ke mana istrinya pindah (ya kalok pindah, klo jadi korban kejahatan laen soal). Sejauh ini saya anggap wajar lantaran tak banyak warga sepuh yang tinggal di sana dan nggakbanyak juga informasi yang bisa kita dapat dari kejadian tiga puluh tahun berselang. Meski kalau mau nanya sebenarnya bisa dateng ke Ketua RT #eh.

Pulang jadi satu-satunya hal yang Park Hwang Ho inginkan. Ia lantas meminta sopir taksi mengantarkannya ke terowongan tempatnya terbangun malam tadi. Berharap dapat kembali apabila melintasi terowongan yang sama sekali lagi. Pertanyaannya “lha tadi balik ke kantor dari terowongan bisa, nape sekarang binun ya?” Ah sudahlah. Setidaknya Park Hwang Ho memang pangling lantaran lokasi menuju terowongan sedikit banyak tak dikenalinya lagi. Tempat ibadah yang jadi ancer-ancer lokasi terowongan kini sudah menjadi Rumah Sakit Jiwa.  Rumah sakit jiwa di mana Park Hwang Ho bertemu perempuan misterius yang mau membayarkan biaya taksinya. Nggak tau kenapa.

Rumah Sakit Jiwa tempat Park Hwang Ho menemukan kasus pertamanya di masa kini, tidak lama setelah ia sampai di sana. Seorang pasien Rumah Sakit Jiwa ditemukan tidak bernyawa. Sebatang pensil kuning menancap di leher sebelah kiri. Pasien, Lee Sun Ok, ternyata seorang tersangka pembunuhan yang pernah diwawancarai detektif Park Hwang Ho tiga puluh tahun silam. Kebetulan yang mencurigakan.  Lee Sun Ok ditangkap karena diduga membunuh pelanggan yang meyakitinya. Lee Sun Ok hanya diam saat dinterogasi. Terkesan acuh lebih tepatnya.  Park Hwang Ho lantas mencoba membujuknya. Ia mengatakan Lee Sun Ok bisa saja dipenjara justru karena tidak mau bicara. Terlebih jika bukti ikut memberatkan nantinya. Kasihan adik yang sedari kecil susah payah dirawatnya nanti.

Interogasi Lee Sun Ok (gambar dipinjem dari OCN Original ep. 2)
Interogasi Lee Sun Ok (gambar dipinjem dari OCN Original ep. 2)
Kata-kata ini nyaris membuat Lee Sun Ok bicara apa adanya. Nggak tau apa. Setidaknya, matanya berkaca-kaca. Sayang, pengakuan tertunda lantaran Park Hwang Ho diminta menghadap atasan yang tengah berkunjung. Jawaban diberikan setelah jeda. Kali ini dengan ekspresi cuek layaknya di awal introgasi, dengan nada yang lebih ringan. Lee Sun Ok mengaku tidak bersalah.

Pengantar yang lumayan menegangkan, tapi rada kurang nendang buat thrillerbeginian. Kasusnya (seakan) dibiarkan menggantung meskipun tidak sulit menerka apa yang terjadi lewat ekspresi Lee Sun Ok.  Ekspresinya tampak nggak setulus saat matanya berkaca-kaca. Park Hwang Ho juga terlihat kecewa melihat ekspresi Lee Sun Ok barusan. Ekspresi yang meyakini bahwa Lee Sun Ok nggak sepenuhnya jujur. Setidaknya penonton bisa merasakan hal yang sama. Mungkin itu dirasa cukup bagi sutradara. Tidak heran, kini, para polisi lebih disibukkan mencari tahu apa yang terjadi kini, pada Lee Sun Ok tepatnya. Bukan hal sulit lantaran CCTV dipasang menghadap halaman rumah sakit. Setidaknya kita tahu siapa yang keluar masuk di sekitar waktu kejadian. Mau tebak siapa yang berkunjung ke kamar Lee Sun Ok terakhir kali? Yups tebakan anda benar kalau tebakan anda memang perempuan misterius tadi. 

Perempuan yang ditemui Park Hwang Ho di halaman Rumah Sakit, tepatnya pintu belakang taksi. Usianya masih muda. Mungkin tidak kurang dari 28 tahun, dingin dan tanpa ekspresi.  Tidak heran ia sempat disangka mahasiswi lantaran penampilannya itu, meski sebenarnya lebih pas dipanggil profesor karena pengetahuan yang pengalaman yang telah dilaluinya. kita bisa memanggilnya Shin Jae Yi.  Cukup Jae Yi kalau ingin lebih akrab.

Perasaan episode nyang ini blom tayang deh (http://www.koreandrama.org)
Perasaan episode nyang ini blom tayang deh (http://www.koreandrama.org)
Perempuan yang terkesan membosankan, yang rela mendengarkan cerita para kriminal hingga berjam-jam untuk mendapatkan petunjuk meski sebagian di antaranya bukan kejujuran. Seorang dosen yang mata kuliahnya tak banyak diminati mahasiswa. Beberapa mahasiswanya berguguran meski baru kuliah hari pertama. Berguguran, hanya karena Jae Yi meminta satu mahasiwa mengikat teman sebangkunya dengan lakban dan bertanya pada sebagian mahasiswa lainnya tentang apa yang akan mereka lakukan dengan lakban yang tersisa. Jujur, buat saya jawabannya terdengar biasa. Namun, entah kenapa beberapa di antaranya justru merasa ngeri sendiri mendengar jawaban pelakunya, mahasiswa yang diminta mengikat teman sebangkunya tadi. Alih-alih menghilangkan barang bukti, mahasiswa tadi justru akan menyimpannya sebagai pengingat, kenang-kenangan, momento. Saya sendiri nggak perlu menceritakan bagaimana dan betapa sukacitanya Jae Yi mendengar jawaban ini.

Jae Yi, sosok profesor yang menarik. Misterius dan menakutnya. Nggak menutup kemungkinan Jae Yi jadi tokoh yang nggak disukai sebagian orang. Setidaknya bagi Park Kwang Ho. Boleh dibilang, pembawaanya tidak beda jauh dengan Letnan Kim Sun Jae. Dingin dan irit bicara. Hanya saja sikap ketus Kim Sun Jae justru membuatnya jadi tak seberapa menyeramkan ketimbang Jae Yi.

Pertanyaan yang perlu dijawab sebetulnya masih (amat) banyak. Namun sekiranya saya bisa memilihkan satu. Apakah penampilan Jae Yi yang miserius dan menyeramkan lantas membuatnya jadi terduga pelaku? Kalaupun benar lantas gimana caranya dan apa motifnya? Tanya saya sembari ngeliat Jae Yi corat-coret kertas pake pensil warna kuning.

Sekian pertanyaan saya, maaf apabila nggak jadi baca lantaran kepanjangan. Terima kasih buat mas mbak admin yang sudi menayangkan coretan berdurasi dua puluh menitan ini (kayanya lebih).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun