Namaku Octa. Aku adalah anak perempuan satu-satunya yang suka berimajinasi di keluargaku. Aku, buah hati yang paling disayang. Aku telah diajarkan tentang apa itu keceriaan, siapa yang bisa menghadirkan tawa canda, serta kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa kebahagiaan bisa aku dapatkan. Seperti warna kuning, ia selalu bisa membuat semua orang terbawa dengan tawanya.
Aku letih. Aku memasuki kamarku. Aku tertawa. Aku bahagia. Hatiku bernyanyi gembira. Tiba-tiba ada suara dari luar sana mengetuk pintu kamarku, “Tok! tok! tok!” ia membukanya. Wajahnya begitu berseri-seri seakan ada suatu kebahagiaan yang ingin ia sampaikan. Ia memakai baju kuning yang menambah seleraku untuk mengetahui apa tujuan ia ke sini. Beberapa detik setelah aku melihat senyumnya, seketika pakaian yang ia kenakan berubah menjadi merah dan ia tergeletak di lantai yang penuh darah.
“Ha?” aku bertanya-tanya dalam hati. Tidak aku sadari, air mataku menetes deras hingga membasahi baju putihku. Aku ingin memeluknya, tapi raganya pun tidak bisa aku sentuh. Aku mencoba dan terus mencoba untuk menggenggam tubuh adikku, tetap tidak bisa! Aku pun berlari untuk meminta bantuan. Tapi, yang aku temukan adalah tubuh-tubuh keluargaku yang sudah tidak bernyawa. Awalnya kuning ceria, sekarang berubah menjadi merah muram.
Aku ingin melupakan semua yang telah terjadi. Mungkin bersekolah di tempat yang jauh dari tempat tinggalku, bisa menenangkanku. Ya, aku bersekolah di Bogor dan aku hidup disana.
Pelajaran pertama dimulai. Aku memerhatikan penjelasan guru. Bukan! Aku memerhatikan tiga kancing yang menempel pada pakaiannya. Entah mengapa seolah-olah kancing itu berbicara padaku. Aku terus memikirkannya hingga tidak fokus dengan pelajaran biologi yang diterangkan. “Octa! Mengapa proses fotosintesis terjadi pada tumbuhan?” guruku menyadarkanku. “Emm... karena saya cantik, bu!” akupun menjawab asal. Huuuuu! teman sekelas menertawakanku, kecuali Rangga. “Cepat kamu berdiri di pojok sana!” kata guruku geram. Hashh, aku kesal.
“Kring... kring...” bel istirahat berbunyi. Aku keluar kelas dengan tergesa-gesa hingga aku hampir terjatuh. Untungnya saat itu ada Rangga di belakangku dan ia tersentak memegang tanganku untuk menolongku. “Danke!” ucapku berterima kasih. Ia hanya membalas dengan lekukan senyum dari bibir kecilnya yang manis. Aku melanjutkan tujuanku, ke kantin sekolah. Sesampainya di kantin, aku memesan kue yang paling aku suka, gehu, makanan 4.500-an rupiah yang berisi daging; dan piscok, adonan tepung roti yang berisi cokelat meleleh membuatku merasa dunia hanya milikku dan kue-kue ku. Aku memejamkan mata dan merasakan kelezatan. Saat aku mulai membuka mata, disitulah aku merasakan keganjalan. Ya, ada Rangga dihadapanku. Ia duduk tepat di depanku dan juga memakan kue yang sama sepertiku. “Ah! Kenapa kamu selalu mengikutiku? Bahkan memakan kue yang sama sepertiku”. Rangga tidak menjawab apa-apa dan ia terus melanjutkan memakan kue-kuenya itu.
Aku telah selesai memakan kue-kueku. Ketika aku ingin membayar sejumlah 9.000 rupiah, imajinasiku memberitahuku bahwa angka 9 memberi petunjuk. Sembilan? Untuk angka ini aku sedikit mengabaikannya dan bergegas kembali ke kelas. Di perjalanan menuju kelas, Rangga pun mengikutiku. Aku risih dengan sikapnya.
“Rangga, mengapa kamu mengikutiku?” kataku marah.
Ia terdiam.
“Rangga! Aku sedang bertanya kepadamu.”
Sontak ia menjawab, “Aku juga tahu kalau kamu sedang bertanya, aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan.”
“Kalau begitu, mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku tadi?”
“Aku kenyang.”
Hanya jawaban singkat yang ia berikan dan pergi meninggalkanku. Ah sudahlah, aku juga tidak mau peduli dia sedang lapar, kenyang, haus, atau apa saja.
Aku melanjutkan pergi ke kelas. Di depan pintu kelas, ada seorang siswa menghadap ke dalam kelas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku terlihat begitu tampan di mataku. Beberapa detik setelah aku melihatnya, ia berbalik arah ke hadapanku. Oh tidak! Ternyata dia Rangga. Ketika aku ingin memasuki kelas, aku dihalangi dengan tangan panjangnya yang menjulur ke samping. “Apalagi?” kataku malas. Kemudian ia mengeluarkan sebuah hadiah yang dibungkus kertas kuning polos yang cerah dari sakunya. Entah mengapa aku tersenyum pada Rangga dan itu pertama kalinya. “Mengapa kamu tersenyum? Kamu jelek jika seperti itu. Aku lebih suka kamu yang cuek kepadaku” kata Rangga genit. “Apa?” kataku pura-pura tidak mendengarnya. “Hehe tidak, aku bercanda kok.”
Bel pulang sekolah berbunyi, saatnya aku kembali ke asrama. Setelah memasuki kamar, aku mulai membuka hadiah dari Rangga. Wow! Hadiah itu berisi cokelat. Meskipun aku menyukai kuning, tetap saja aku tergila-gila dengan cokelat. Sebelum aku memakannya, aku ingin menyimpan bungkus kertas kuning polos itu. Mungkin dengan aku menyimpannya, keceriaan yang ada pada warna kuning bisa tersalur dalam kehidupanku. Ketika aku ingin memakannya, imajinasiku berkata bahwa cokelat itu memberi kode. Kuhitung ada empat belas irisan dalam cokelat tersebut. Setelah aku mendapat angka 3, 9, sekarang angka 14? Apa maksudnya? Huh! Sekarang bukan waktunya aku bermain-main dengan imajinasiku. Aku hanya ingin bahagia dan memikirkan Rangga, ups! Besok hari libur, aku ingin hari ini cepat berganti. Aku ingin pagi agar bertemu dengan Rangga kembali.
Keesokan harinya, aku bertemu dengannya. “Pagi, Octa!” sapa Rangga.
“Pagi juga, Ngga!” jawabku senang.
Aku dan Rangga berbincang-bincang lama. Lalu, ia mengajakku bermain, makan, foto, dan semua hal yang biasa remaja lakukan. Kami habiskan waktu untuk bercanda tawa bersama. Mulai dari matahari memancarkan sinar kuningnya hingga warna oranyenya. Saat perjalanan pulang, ia mengingatkanku bahwa warna kuning bisa membuat semua orang bahagia terhadapnya.
“Aku tahu itu! Aku menyukai kuning juga dengan alasan yang sama sepertimu. Tapi, semenjak kejadian tiadanya keluargaku di dunia ini lagi, aku mulai tidak menyukai kuning, bahkan membencinya” jelasku.
“Justru dengan kamu membenci warna kuning, kamu hanya akan melihat kegelapan di sana. Kamu akan berpikir negatif seakan-akan tidak ada yang bisa membuatmu bahagia dan ceria kembali.”
“Ya! Memang tidak ada yang bisa membuat kebahagiaanku kembali seperti dulu.”
“(Memegang kepalaku dengan kedua tangannya) Kamu boleh tidak menyukaiku, tapi tidak dengan warna kuningku. Aku menyayangimu dan aku ingin kita bahagia dengan kuning yang kita miliki” kata Rangga menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tidak memiliki kuning sepertimu” kataku mengelak.
“Hatimu dipenuhi kuning dan kasih sayang, percayalah.”
Aku senang hari ini. Tidak kusangka ia bisa membuatku bahagia seperti ini. Aku melupakan semua kesedihanku. Ya, karena kuning tulusnya yang membuat hidupku ceria dan berwarna lagi. Terimakasih, Rangga!
Keseharianku ditemani kehadiran dan kuning Rangga. Sampai akhirnya semua siswa harus kembali ke kampung halamannya masing-masing. Aku mulai mengepak barang-barangku. Seketika aku melihat kertas kuning di dalam tasku. Oya! Ini adalah kertas yang pernah Rangga berikan kepadaku saat ia memberiku cokelat. Seingatku, Rangga menggunakan kertas kosong kuning hanya untuk memberi hiasan pada bungkus cokelat yang diberikan kepadaku. Tapi, mengapa kertas kuning berisi angka 3, 14, dan 9? petunjuk apalagi ini? Aku harus berimajinasi apalagi untuk misteri ini?. Em, aku pun merasa tidak asing dengan semua angka ini. Sepertinya angka-angka inilah yang berbicara kepadaku waktu itu. Atau mungkin angka ini berarti 3 tahun, tanggal 14, dan bulan ke 9? Dua hari yang akan datang adalah hari dari angka-angka itu. Apa yang akan terjadi esok?
Rangga akan pulang ke Bojong Gede, jaraknya tidak terlalu jauh dengan sekolah, sehingga ia mengendarai mobil dan pulang lebih awal daripada aku. Aku merasa berat hati untuk berpisah dengannya. Aku tahu meskipun aku dan Rangga berpisah tidak sampai satu bulan, dan akan bertemu kembali, tetap saja aku merindukannya. Ya... hitung-hitung aku membayar kecuekan yang telah aku lakukan padanya. Tidak, bukan itu alasanku. Aku menyayanginya.
Tepat tanggal 14 September aku kembali ke rumah. Aku melihat bendera kuning terpasang di depan rumahku. Aku berpikir. Warna kuning memberikan keceriaan kepada semua orang, kecuali bendera kuning. Bukankah bendera kuning pertanda orang meninggal? Tidak mungkin. Semua anggota keluargaku –kecuali aku- telah meninggal 3 tahun yang lalu. Ya, sesuai dengan jumlah kancing guruku waktu itu. Lantas, siapa yang meninggal?
“Paman, siapa yang meninggal?” kataku heran.
“Sabar ya nak! Keluargamu baru saja meninggal karena kecelakaan.”
“Tidak mungkin, paman. Keluargaku telah meninggal 3 tahun yang lalu. Sebelumnya mereka membahagiakan aku dengan pakaian kuning yang mereka kenakan. Tapi, setelah ada darah di sekujur tubuh mereka, mereka mulai tidak tersenyum padaku. Mereka menutup mata dan tidak bangun kembali” jelasku kepada paman.
“Kamu berbicara apa, nak? Apa kamu sudah terlalu kelelahan dengan perjalananmu pulang kesini kembali?”
“Aku berbicara tentang apa yang telah terjadi sebenarnya, paman. Aku juga tidak lelah, bahkan aku ingin menyalurkan kebahagiaan kuningku di sini.”
“Nah, inilah masalahmu. Ini misteri yang kamu tunggu-tunggu. Kamu terlalu bahagia dengan kuningmu hingga kamu melupakan keluargamu” jelas paman dan pergi meninggalkanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H