Mohon tunggu...
Camytha Octa
Camytha Octa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Misteri Warna Kuning

19 Maret 2017   20:23 Diperbarui: 21 Maret 2017   04:02 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“(Memegang kepalaku dengan kedua tangannya) Kamu boleh tidak menyukaiku, tapi tidak dengan warna kuningku. Aku menyayangimu dan aku ingin kita bahagia dengan kuning yang kita miliki” kata Rangga menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku tidak memiliki kuning sepertimu” kataku mengelak.

“Hatimu dipenuhi kuning dan kasih sayang, percayalah.”

Aku senang hari ini. Tidak kusangka ia bisa membuatku bahagia seperti ini. Aku melupakan semua kesedihanku. Ya, karena kuning tulusnya yang membuat hidupku ceria dan berwarna lagi. Terimakasih, Rangga!

Keseharianku ditemani kehadiran dan kuning Rangga. Sampai akhirnya semua siswa harus kembali ke kampung halamannya masing-masing. Aku mulai mengepak barang-barangku. Seketika aku melihat kertas kuning di dalam tasku. Oya! Ini adalah kertas yang pernah Rangga berikan kepadaku saat ia memberiku cokelat. Seingatku, Rangga menggunakan kertas kosong kuning hanya untuk memberi hiasan pada bungkus cokelat yang diberikan kepadaku. Tapi, mengapa kertas kuning berisi angka 3, 14, dan 9? petunjuk apalagi ini? Aku harus berimajinasi apalagi untuk misteri ini?. Em, aku pun merasa tidak asing dengan semua angka ini. Sepertinya angka-angka inilah yang berbicara kepadaku waktu itu. Atau mungkin angka ini berarti 3 tahun, tanggal 14, dan bulan ke 9? Dua hari yang akan datang adalah hari dari angka-angka itu. Apa yang akan terjadi esok?

Rangga akan pulang ke Bojong Gede, jaraknya tidak terlalu jauh dengan sekolah, sehingga ia mengendarai mobil dan pulang lebih awal daripada aku. Aku merasa berat hati untuk berpisah dengannya. Aku tahu meskipun aku dan Rangga berpisah tidak sampai satu bulan, dan akan bertemu kembali, tetap saja aku merindukannya. Ya... hitung-hitung aku membayar kecuekan yang telah aku lakukan padanya. Tidak, bukan itu alasanku. Aku menyayanginya.

Tepat tanggal 14 September aku kembali ke rumah. Aku melihat bendera kuning terpasang di depan rumahku. Aku berpikir. Warna kuning memberikan keceriaan kepada semua orang, kecuali bendera kuning. Bukankah bendera kuning pertanda orang meninggal? Tidak mungkin. Semua anggota keluargaku –kecuali aku- telah meninggal 3 tahun yang lalu. Ya, sesuai dengan jumlah kancing guruku waktu itu. Lantas, siapa yang meninggal?

“Paman, siapa yang meninggal?” kataku heran.

“Sabar ya nak! Keluargamu baru saja meninggal karena kecelakaan.”

“Tidak mungkin, paman. Keluargaku telah meninggal 3 tahun yang lalu. Sebelumnya mereka membahagiakan aku dengan pakaian kuning yang mereka kenakan. Tapi, setelah ada darah di sekujur tubuh mereka, mereka mulai tidak tersenyum padaku. Mereka menutup mata dan tidak bangun kembali” jelasku kepada paman.

“Kamu berbicara apa, nak? Apa kamu sudah terlalu kelelahan dengan perjalananmu pulang kesini kembali?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun