Kala berbaring di kamar kos setelah seharian sibuk bergumul dengan kehidupan kampus: mengikuti jam kuliah dan tentunya ngobrol ngalor ngidul di kantin kampus. Seperti biasa, saya kerap meluangkan waktu beberapa menit sebelum tidur untuk bengong atau bahasa kerennnya berefleksi guna memikirkan hal-hal yang belum terpikirkan alias overthinking.
Pada sesi overthinking di malam hari itu, entah kenapa pikiran saya seketika mengingat warung bakso yang sekali atau dua kali pernah saya kunjungi. Saya sungguh heran. Pasalnya, setiap melewati warung tersebut, tampak lahan parkir di warung bakso itu selalu penuh. Pun bila melirik sedikit ke dalam, saya dapat dengan mudah melihat kondisi warung bakso yang dipadati oleh pengunjung.
Jika dideskripsikan, warung bakso yang tanpa permisi mampir di pikiran saya itu memang memiliki tempat yang cukup besar. Lahan parkirnya kira-kira hampir sama dengan yang dimiliki oleh toko retail seperti Alfamart atau Indomart pada umumnya.Â
Ruangannya? Kira-kira bisa menampung lebih dari 50 orang dalam satu waktu. Andaikata boleh mengaku, ciri tempat seperti demikian telah berhasil membuat saya seperti diundang untuk berkunjung dan mencicipi semangkok bakso di warung tersebut.
Namun, naas bagi saya. Setelah mendapat kesempatan berkunjung dan memesan dua bungkus baksos untuk dibawa pulang, saya sangat kecewa. Rasa dari bakso tersebut menurut saya tidak seperti tempatnya yang megah. Kuahnya hambar seperti tidak diberi penyedap rasa atau sedikit garam. Baksonya pun saya pikir lebih mirip tepung yang dikukus karena lidah saya sama sekali tidak mendeteksi rasa gurih dari campuran daging kala melahapnya.
"Perasaan baksonya ga enak-enak banget, malah enakan bakso hasil racikan abang-abang gerobak yang suka lewat depan rumah saat petang. Tapi kok bisa ya setiap hari warung bakso itu rame terus?" gumam saya malam itu ketika mengingat pengalaman mengunjungi warung bakso tersebut.
Overthinking pada dasarnya memang memantik keliaran pikiran manusia. Setidaknya itulah yang saya rasakan saat menghubungkan kondisi warung bakso yang terus dipenuhi pelanggan dan rasa bakso yang kurang enak.
Mulanya saya sempat berpikiran bila ini hanyalah masalah selera. Toh bisa pula orang yang meracik pesanan bakso pada hari itu kebetulan masih magang alias baru beberapa hari bekerja. Tidak ada yang tahu pasti. Namun, karena pada dasarnya saya sedang overthinking.Â
Otak saya seperti menolak segala pikiran "positif" dan tidak tahan untuk berasumsi bahwa jangan-jangan warung bakso itu menggunakan penglaris sehingga tidak heran kalau ia selalu dipadati pengunjung, meski rasanya tidak begitu enak?!
Huh. Saya merasa begitu berdosa lantaran sekonyong-sekonyong suuzan dengan warung bakso tersebut. Ditambah saat terkenang dengan pelayanannya yang harus saya akui cukup ramah. Namun, yang jelas. Kepala saya yang sedari tadi memikirkan warung bakso itu pun beralih pada persoalan mengenai penglaris.
Perkara tentang penglaris ini justru makin membuat saya penasaran dan tidak bisa tidur. "Kok bisa ya orang-orang dagang pake penglaris?" hemat saya berkata. Berlandaskan hal itu, tanpa basa-basi saya membuka gawai dan mencari segenap artikel yang berkaitan dengan penglaris di internet: mulai dari definisinya, bentuk-bentuknya, hingga cerita pengalaman orang yang pernah bersinggungan langsung dengannya.
Hasilnya? Sangat banyak. Saya kira, hampir lebih dari 12 artikel berhasil saya baca pada malam itu. Artikel-artikel tersebut kebanyakan menjelaskan bila penglaris sering kali digunakan oleh pedagang dengan memanfaatkan keberadaan jin. Meski ada banyak cara yang dapat dilakukan. Namun, biasanya jin tersebut ditugaskan untuk meludahi atau menjilati makanan yang akan disajikan kepada pelanggan.
Membaca beberapa artikel itu kemudian membuat saya berpikir, "Berarti bukankah ada semacam relasi bos-pekerja yang mencuat dalam fenomena penglaris ini?"
Sebagai seorang mahasiswa yang belakangan telah menggeluti ilmu sosial dan humaniora selama tujuh semester, tentunya pertanyaan semacam ini tidak bisa saya hindarkan.
Akhirnya, akibat pertanyaan itu pula, diri saya yang sebelumnya terbaring sedikit lunglai dan terkantuk-kantuk justru kembali segar. Sulit rasanya untuk memejamkan mata dengan kepala dihinggapi pertanyaan semacam itu.
Guna menanggapi pertanyaan tersebut, saya kembali teringat dengan ujaran seorang teman pada suatu sesi fafifu di kantin kampus yang kira-kira berkata seperti ini:Â
"Dalam kapitalisme semua menjadi serba halal. Bekerja lebih dari 16 jam, tidak ada cuti, atau seorang ibu bekerja sambil menyusui anaknya. Semuanya tidak berarti apa-apa. Yang penting laba bisa diraih. Kamu tidak bekerja, kamu tidak diberi upah. Kalau diri kamu tidak memiliki upah, lantas dari mana kamu hidup? Sampai sini, kamu seharusnya paham siapa penguasanya.."
Berdasarkan ujaran teman saya tersebut, saya merenung kalau jangan-jangan mempekerjakan makhlus halus seperti jin juga bagian dari kapitalisme atau setidaknya konsekuensi dari kehidupan ekonomi yang didasarkan atas persaingan dan pasar bebas? Jadi, apakah dalam kapitalisme makhluk halus punya predikat sebagai kelas pekerja?
Toh bayangkan begini. Jin yang dipekerjakan sebagai penglaris biasanya memiliki tugas untuk menjilati atau meludahi makanan yang akan dihidangkan kepada pelanggan. Jika dihitung jam kerjanya, anggaplah ia memiliki jam kerja yang sama dengan jam buka warung itu sendiri. Mengingat posisinya yang vital dan tidak bisa digantikan. Pertanyaannya, bagaimana bila warung tersebut buka 24 jam?
Lantaran jam kerja sudah diatur secara hukum, pada umumnya seorang pekerja (tentunya manusia) bekerja maksimal selama 8 jam. Jadi di warung yang buka 24 jam, otomatis memiliki tiga shift untuk para pegawainya. Aturan hukum ini tentunya tidak berlaku untuk jin penglaris.Â
Belum lagi ditambah dengan perkara ada berapa banyak piring pelanggan yang harus dijilati dalam satu hari. Jadi coba renungkan. Dengan jam kerja selama 24 jam per hari, jin penglaris harus meludahi makanan tersebut tiada henti tanpa istirahat!
Berbicara upah, ini yang paling menarik. Tidak seperti manusia yang secara umum upahnya berupa sejumlah nominal uang. Dalam kasus jin penglaris, upahnya bisa bermacam-macam. Ada yang hanya meminta beberapa gelas kopi hitam, sesajen dengan isi variatif, bahkan paling pelik ada yang harus diupah dengan nyawa manusia itu sendiri.Â
Mengenai upah yang terakhir, selain menarik barangkali juga mengerikan. Pasalnya, bagaimana mungkin obsesi untuk memperoleh laba yang besar digantikan dengan nyawa manusia? Sungguh tidak masuk akal.
Tapi, mari sejenak berpikir. Kira-kira, kalau ada nyawa yang harus dikorbankan, siapa yang mesti disalahkan? Apakah jin itu sendiri? Hemat saya sangat sulit untuk menyalahkan jin karena dalam kasus penglaris, ia hanya seorang pekerja yang menuntut upahnya. Lalu kalau si pedagang? Ini bisa menjadi jawaban yang tepat. Namun, bukankah si pedagang juga merupakan korban dari kondisi perekonomian yang didasarkan atas kompetisi dan banyaknya modal?
Lantaran pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bermunculan, overthinking saya pada malam itu pun segera saya akhiri dengan kembali berbaring dan memejamkan mata, sebelum dibuat gila oleh segenap pertanyaan tersebut. Yang jelas pada malam itu, saya berkesimpulan bila jin atau makhlus halus dalam fenomena penglaris ini telah mendapat eksistensinya sebagai kelas pekerja. Bahkan memiliki posisi sentral karena turut membantu menjalankan sekaligus mengembangkan roda kapital, sama seperti manusia-manusia pekerja yang kita kenal.
Apakah kondisinya semiris kelas pekerja manusia? Atau adakah sosok seperti Marx atau Engels di antara jin penglaris itu yang menuntut bila tugas jin ialah menjerumuskan manusia ke dalam keburukan dan bukannya diperbudak oleh manusia dengan melakukan pekerjaan remeh seperti menjilati piring-piring di restoran? Atau kapan revolusi jin penglaris akan pecah?Â
Barangkali pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah dipersoalkan oleh serikat jin penglaris itu sendiri. Entahlah, tidak ada yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H