Belum lagi ditambah dengan perkara ada berapa banyak piring pelanggan yang harus dijilati dalam satu hari. Jadi coba renungkan. Dengan jam kerja selama 24 jam per hari, jin penglaris harus meludahi makanan tersebut tiada henti tanpa istirahat!
Berbicara upah, ini yang paling menarik. Tidak seperti manusia yang secara umum upahnya berupa sejumlah nominal uang. Dalam kasus jin penglaris, upahnya bisa bermacam-macam. Ada yang hanya meminta beberapa gelas kopi hitam, sesajen dengan isi variatif, bahkan paling pelik ada yang harus diupah dengan nyawa manusia itu sendiri.Â
Mengenai upah yang terakhir, selain menarik barangkali juga mengerikan. Pasalnya, bagaimana mungkin obsesi untuk memperoleh laba yang besar digantikan dengan nyawa manusia? Sungguh tidak masuk akal.
Tapi, mari sejenak berpikir. Kira-kira, kalau ada nyawa yang harus dikorbankan, siapa yang mesti disalahkan? Apakah jin itu sendiri? Hemat saya sangat sulit untuk menyalahkan jin karena dalam kasus penglaris, ia hanya seorang pekerja yang menuntut upahnya. Lalu kalau si pedagang? Ini bisa menjadi jawaban yang tepat. Namun, bukankah si pedagang juga merupakan korban dari kondisi perekonomian yang didasarkan atas kompetisi dan banyaknya modal?
Lantaran pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bermunculan, overthinking saya pada malam itu pun segera saya akhiri dengan kembali berbaring dan memejamkan mata, sebelum dibuat gila oleh segenap pertanyaan tersebut. Yang jelas pada malam itu, saya berkesimpulan bila jin atau makhlus halus dalam fenomena penglaris ini telah mendapat eksistensinya sebagai kelas pekerja. Bahkan memiliki posisi sentral karena turut membantu menjalankan sekaligus mengembangkan roda kapital, sama seperti manusia-manusia pekerja yang kita kenal.
Apakah kondisinya semiris kelas pekerja manusia? Atau adakah sosok seperti Marx atau Engels di antara jin penglaris itu yang menuntut bila tugas jin ialah menjerumuskan manusia ke dalam keburukan dan bukannya diperbudak oleh manusia dengan melakukan pekerjaan remeh seperti menjilati piring-piring di restoran? Atau kapan revolusi jin penglaris akan pecah?Â
Barangkali pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah dipersoalkan oleh serikat jin penglaris itu sendiri. Entahlah, tidak ada yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H