Bahwa Jenderal Soeharto itu korupsi dan mencuri dari negara dan rakyat, bahwa anak-anak serta hopeng-hopengnya pun ikut merampok di mana-mana, bahwa pencurian dan perampokan yang dilakukannya merugikan negara dan ratusan juta rakyat, bahwa nilai korupsinya mencapai jumlah angka yang tidak cukup lagi di layar kalkulator toko klontongan, adalah hanya salah satu permasalahan dibandingkan dengan urusan lain yang pada dasarnya jauh-jauh lebih penting dan sama sekali tidak boleh dilupakan.
Walaupun sayangnya justru permasalahan penting itulah yang pada umumnya secara sadar atau tak sadar telah dilupakan oleh kita, dan kita hanya ingat satu kata "korupsi" belaka. Yang mana dengan begitu Pak Harto akan sungguh senang luar biasa sumringah, menelan ludah dengan lega, bahkan mungkin langsung loncat bangkit dari ranjang kematiannya untuk segera joging pagi supaya sehat dan bugar kembali. Karena kita lupa hal lain yang telah dilakukannya selain "sekadar" korupsi.
Yaitu bahwa Jenderal Soeharto adalah seorang manusia dengan tangan yang berdarah-darah!
Jenderal Besar yang berdiri di atas genangan darah dan tumpukan mayat korban-korbannya, yang bau anyir dan busuknya masih mengawang-awang hingga malam ini di tiap pelosok negeri ini!
Dari Aceh, Riau, Lampung, Tanjung Priuk, Timor Timur, hingga Papua, dan di tempat-tempat lainnya darah berceceran di mana-mana, pembantaian demi pembantaian yang dilakukan dalam nama perampokkan, pembangunan, kestabilan ekonomi, serta persatuan dan kesatuan nasional.
Peluru-peluru ditembakkan ke arah rakyat dan saudara-saudaranya sendiri, yang dikerjakan oleh tentara kebanggaan bangsa - Tentara Nasional Indonesia, yang bertugas memegangi tangan dan kaki Ibu Pertiwi supaya dengan lancar dapat diperkosa secara bergilir oleh modal-modal asing.
Nyawa-nyawa tercerabut dari badannya, agar Exxon dan Freeport dapat datang dengan sambutan paling manis yang dapat diberikan, yang diikuti dengan kerusakan budaya lokal, kehancuran alam, dan sisanya tinggal air mata yang tak kunjung kering.
Hutan dibabat, perkebunan didirikan, perampokan diteruskan, pembantaian yang kembali menjadi penyelesaian, peluru selalu menjadi jalan keluar yang paling cepat dan tok cer. Tanah mereka dirampok, petani-petani dibunuh, agar mayat-mayatnya menyuburkan perkebunan kelapa sawit.
Dan siapapun yang melawan ikut terbantai. Preman-preman adalah jawaban untuk protes buruh, penculikan berikutnya, tidak lupa penyiksaan, dan Marsinah telah mati secara mengenaskan. Mahasiswa ditembaki karena kebanyakan bicara, aktivis-aktivis menghilang menjadi arwah gentayangan, dan Wiji Thukul tak pernah terdengar lagi kabarnya.
Ketika keadaan menjadi kalut dan perlu dilakukan tindakan pencegahan secara kilat, kambing hitam paling sempurna dihadirkan dalam wujud orang-orang etnis Cina. Penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan dalam nama tetap berkuasanya sang Jenderal.
Bahkan lima ratus ribu hingga dua juta nyawa yang dituduh komunis telah dibantai pada awal kekuasaannya! Pembantaian itu dilakukan setelah penyiksaan demi penyiksaan, demi penyiksaan, demi penyiksaan. Pemerkosaan, pentungan, cambuk, listrik, bayonet, silet, penggantungan, penyekapan dalam ruang-ruang sesak, dan entah apa lagi yang telah dilakukan - hingga rumah-rumah tahanan yang digunakan untuk acara rutin ini kemudian dikenal sebagai tempat-tempat horor.