Mohon tunggu...
M. Sadli Umasangaji
M. Sadli Umasangaji Mohon Tunggu... Freelancer - celotehide.com

Menulis beberapa karya diantaranya “Dalam Sebuah Pencarian” (Novel Memoar) (Merah Saga, 2016), Ideasi Gerakan KAMMI (Gaza Library, 2021), Serpihan Identitas (Gaza Library, 2022). Ia juga mengampu website celotehide.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Narasi Sosialisme Religius

14 Mei 2023   11:40 Diperbarui: 22 Mei 2023   09:58 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam konteks Indonesia, bahkan suatu frasa, yakni Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. 

Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. 

HOS Tjoktoraminto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai "Islam Kiri" atau "Islam Sosialis" (Madjid, 2013).

Tjokroaminoto sendiri menuliskan, "Bahwa orang harus membedakan antara paham sosialisme sebagai pelajaran dan sosialisme sebagai suatu pengaturan pergaulan hidup bersama (sistem)". 

Dalam Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto menguraikan Pengertian Sosialisme, 'sosialisme' awalnya dari perkataan bahasa latin 'socius', makna dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai 'kita'. Sosialisme menghendaki cara hidup "satu buat semua dan semua buat satu", yaitu suatu cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan.

Negasi dan Afirmasi; Islam, Marxis, dan Keadilan Sosial

Pada umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bukannya memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak memakai idiom Marxis yang asli yang berakar pada etos budaya setempat. Marxisme yang seperti itu merupakan ideologi kelas menengah sedangkan kaum buruh dan petani dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak mengherankan jika Marxisme tetap kalah menarik dibandingkan dengan fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena yang terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini kebutuhan spiritual ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan kebutuhan ekonomi. (Engineer, 2009).

Qutbh melakukan kritikan kepada Marxis, "Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah"

Sementara Hamka lebih memandang terhadap konteks pembolehan dalam pemikiran, "Datang teori Karl Marx tentang ekonomi yang berdasarkan historis materialisme. Satu perkara yaitu perkara pokok, jelas selisih kita dengan dia yaitu dia tidak mengakui Allah. Dia memandang agama hanyalah sebagai akibat dari perekonomian dan kadang-kadang agama sebagai musuh yang akan menghalangi diktator proletar dan revolusi dunia. Tentang ini bersimpang jalan kita. Inilah prinsip! Oleh karena itu bersedialah umat Islam mempertahankan prinsipnya. Islam tidak pula memandang segala sesuatu buruk saja. Dalam teori Marx, sangat banyak pula yang dapat diterima. Selama teori Marx tidak melanggar prinsip ketuhanan akan kita terima. Akan kita gunakan untuk mencapai cita-cita dan menyempurnakannya. Akan tetapi, untuk memandang Marx sebagai orang suci yang tidak pernah salah atau Lenin orang yang tidak boleh dibantah atau Stalin sebagai dewa, Islam tidaklah dapat menerimannya".

Sayyid menuliskan asas-asas dimana Islam menegakkan keadilannya itu dengan; kebebasan jiwa yang mutlak, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat. Keadilan sosial yang sempurna tidak mungkin dapat terwujud dan terjamin pelaksanaan serta kelestariannya, sepanjang ia tidak dikaitkan dengan persoalan-persoalan jiwa yang batini, dengan memberikan hak setiap individu dan kebutuhan masyarakat kepadanya, disamping adanya keyakinan bahwa ia akan mengantarkan pada tujuan peri kemanusiaan yang luhur, dan sepanjang tidak pula dikaitkan dengan persoalan material yang menjadi tumpuan setiap individu dan menanggung semua kebutuhan dan memberikan apa yang diperlukannya.

Oleh karena itu, kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat bahwa agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner. (Engineer, 2009).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun