Sastra Islami sendiri mulai menjamur dalam medium di atas tahun 2000-an. Akan tetapi Angkatan Sastra 2000 adalah yang disebut banyaknya sastrawan menulis karya sastra yang bertemakan tentang sosial-politik. Salah satu diantaranya adalah Saman oleh Ayu Utami yang juga menjadi Pemenang dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Saman sendiri dalam Pojok Sastra, pernah disebutkan sebagai "penjual sastra lendir". Memang setelah membacanya dapat bertuliskan, sastra perlawanan yang dibingkai dengan sastra lendir. Karya-karya seperti ini pun menjadi "kiri popular" termasuk mungkin Cantik Itu Luka. Tapi soal ini, sastra-sastra kiri populer dianggap lebih mewakili "perwajahan sastra" di Indonesia. Sayembara Novel DKJ misalkan berkali-kali (atau kebanyakan) dimenangkan oleh sastra dengan genre realisme baik sosialis atau magis.
Sampai disini, kita masih akan bertanya seperti apakah karya sastra yang mewakili KAMMI? Apakah karya sastra seperti yang dituliskan Habiburrahman El Shirazy, Tere Liye, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia atau juga mungkin Tasaro GK. Atau mungkin tidak melekatkan pada nama penulis tapi karyanya seperti Negeri di Ujung Tanduk, Negeri Para Bedebah, atau Lelaki Penggenggam Hujan?
Mungkin kita menginginkan kader-kader atau alumni yang menulis puisi seperti Wiji Thukul, kita menginginkan membaca karya sastra dari rahim KAMMI seperti gagasan novel Salju -- Orhan Pamuk, seperti Ibunda -- Maxim Gorky, atau Tetralogi Buru terutama Jejak Langkah -- Pramoedya Ananta Toer, atau Kubah -- Ahmad Tohari atau Hadji Murat -- Leo Tolstoy, atau karya Najib Kailani -- Meretas Kebebasan, Gadis Jakarta.
Atau Sastra KAMMI bisa seperti Novel Laut Bercerita, yang menulis soal memoar (fiksi) tentang reformasi. Sejauh ini memang karya-karya fiksi tentang perjalanan reformasi seakan dikooptasi sendiri oleh sastrawan-sastrawan yang mendaku "kiri". Laut Bercerita sendiri tentang aktivis-aktivis (kiri) Winatra. Sebuah novel yang saya buru-buru membeli dan membaca. Bercerita tentang penindasan, aktivis, reformasi hingga orang-orang yang diculik dan hilang. Dengan tokoh utama Laut. Novel yang juga ditopang dari gagasan dalam Memoar Anak-Anak Revolusi. Seharusnya sastra dengan latar reformasi seperti ini dapat diisi pula oleh kader atau alumni KAMMI. Toh, KAMMI juga anak kandung murni Reformasi. Yang juga mengandung makna dari sajak, "Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali".
Dalam sebuah diskusi, Tere Liye menyebutkan dalam penulisan sastra (novel atau cerpen) yang paling dasar adalah tentang sudut pandang. Kemudian Tere Liye melanjutkan bahwa topik sastra dari dulu hingga saat ini sebenarnya sama saja yang membedakan adalah sudut pandang. Misalkan karya roman dari Hamka -- Tenggelamnya Kapal van der Wijck, atau karya Laila dan Majnun hingga tiba-tiba di tahun 2000an ketika orang-orang tidak menduga bahwa ada lagi novel roman dengan latar belakang islami di tengah-tengah pandangan orang soal roman itu lebih kepada latar Japan, Eropa, Korea. Muncullah latar Mesir dalam Ayat-Ayat Cinta. Itulah sudut pandang.
Bisakah sastra KAMMI berakar pada Realisme Sosialis atau bisakah sastra Gerakan Islam lebih mengandung unsur perlawanan? Atau bisakah para aktivis Muslim memiliki sudut pandang berbeda dalam mencetuskan Sastra Perlawanan? Harusnya memang sastra KAMMI adalah sastra perlawanan dalam bingkai yang islami misalnya. Atau tulisan Dharma Setyawan, dalam Sastra dan Kudeta, "Sastra akan mengusik kekuasaan yang tuli terhadap kebenaran---fungsi penting sastra adalah 'menunjukkan kebenaran' di kala katup-katup kebebasan sudah tertutup. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah menyebut bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan bersenjata, membangun gerakan kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara. Akan tetapi, sastra akan mampu untuk mengkudeta cara berpikir 'kerdil' para penguasa yang tidak segera sadar untuk berpikir secara benar".
Atau sebagaimana tulis Hamdi Ibrahim dalam Jurnal Puisi Edisi 1, tentang Menjadi Manusia dengan Sastra, "Sastra adalah jalan alternatif untuk kembali menjadi manusia. Ketika dunia semakin ribut dan gaduh, maka sastra berfungsi untuk menjaga kewarasan dan menjaga kemanusiaan. Karena sastra berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Apa yang dituangkan dalam karya sastra adalah suatu bentuk keresahan dan kegelisahan yang ada dalam diri penulis. Berangkat dari keresahan sastra bergerak untuk menjaga keseimbangan dan lebih memanusiakan manusia. Sastra menjadi alat perjuangan, sastra menjadi jawaban dari kegelisahan, dan sastra pula yang menjadikan penulisnya mendekap berpuluh-puluh tahun dalam penjara bahkan karena sastra seorang penulis hilang tak tau rimbanya".
Ketika Pojok Sastra memungkinkan adanya Manifesto Sastra Gerakan, sebenarnya dari itu, sastra dalam KAMMI dapat mencetuskan sastra sebagai alat perjuangan, alat kritik hingga memungkinkan sebagai alat pengkaderan. Sayangnya Jurnal Puisi itu ia redup. Harusnya kita memulai lagi menumbuhkan sastra dalam KAMMI. Biar ia berjalan dan tumbuh hingga lama-lama menjadi citra, menjadi genre, menjadi budaya. Lama-lama mengendap sebagai sastra perlawanan, sebagai sastra gerakan Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H