Kalau dilihat sebenarnya KAMMI pernah menerbitkan Jurnal Puisi melalui LSO Marabumi didalamnya ada juga Pojok Sastra (KAMMI). Jurnal Puisi ini tentu terdiri dari sajak-sajak, ada juga esai sastra, esai kebudayaan bahkan juga cerpen.
Dalam terbitan Edisi 1, Jurnal Puisi menuliskan Pidato Kebudayaan, "Jurnal Puisi ini patut kita sambut dengan gembira dan kita sambut layaknya menuntaskan dahaga setelah berjalan di tengah padang pasir yang gersang. Meskipun, sangat terlambat tapi setelah kumpulan puisi, Sajak Rumah Cikoko, Jurnal Puisi ini bisa menjadi awalan yang sangat baik sebagai bentuk lain dari perjuangan KAMMI melawan kebathilan dan sebagai teman perjuangan kader-kader KAMMI dalam menegakkan kalimat tauhid hingga dapat menguatkan tekad, lebih bergairah dan militan tidak seperti puisi-puisi yang melemahkan. Selanjutnya adalah Jurnal Puisi ini juga dapat menjadi wadah mengintegrasikan penyair-penyair KAMMI agar dapat menjadi kesatuan sehingga karya-karya yang dihasilkan bermuatan ideologis dan terdapat ruh perjuangan yang kental. Sehingga kemudian pelembagaan organisasi kebudayaan yang memayungi sastrawan dan penyair sangat diperlukan, atas inisiasi kader-kader KAMMI yang semula berkumpul berdasar hobi dan minat lalu melembagakan Pojok Sastra sebagai wadah sastrawan dan penyair KAMMI menjadi sub lembaga kebudayaan LSO Marabumi".
Edisi 1 itu juga termaktub Dari Redaksi, "Pojok Sastra KAMMI berdiri sekitar tahun 2016. Puluhan kader KAMMI dari berbagai bidang ilmu berkumpul untuk mencintai dan memeluk puisi lebih dalam dan jauh lebih dalam. Di situlah sisi menariknya. Sajak-sajak ini dihasilkan oleh mereka yang tidak semuanya Jurusan Sastra".
Dalam Pojok Sastra banyak yang didiskusikan, dari puisi, tentu yang paling banyak dibagikan, hingga anjuran cerpen dan novel bacaan bahkan kritikus sastra. Ada satu konsepsi yang disebutkan, "Manifesto Sastra Gerakan". Tujuan sederhananya menghasilkan, penyair dan sastrawan dalam KAMMI. Menulis puisi yang disebut sebagai "Puisi Islami". Dalam sebuah diskusi, dikatakan, dulu Lekra itu, awalnya pribadi-pribadi berideologi sama yang sudah menulis secara pribadi. Mereka masuk Lekra bukan buat belajar menulis tapi mereka masuk langsung buat propaganda. Mereka belajarnya dari kehidupan dan pribadi secara mandiri. Sastra Gerakan murni buat berjuang. Manifesto Sastra Gerakan yang didiskusikan secara sederhana, melahirkan Sastra KAMMI. Menghasilkan sastrawan dalam KAMMI.
Dalam diskusi lain, Manifesto Sastra Gerakan dimaknai sebagai testimoni atas sikap dan ruang kerja baru berbasis karya. Gerakan menjadikan frame agar sastra mempunyai nuansa perjuangan dalam estetika dan nilai sesuai dengan ruang yang diyakini. Sastra gerakan adalah kerja kebudayaan. Gerakan sastra adalah gerakan kebudayaan dengan semangat profetisme jalanan dan tujuan sastra gerakan adalah menghimpun seni yang berkepribadian serta membebaskan. Sastra gerakan menjaga kebudayaan yang beradab.
Jurnal Puisi yang sempat tumbuh dalam literatur alternatif sastra di KAMMI, edisi 1 dengan tajuk Kisah yang Terdongeng dan edisi 2 dengan tajuk Merawat Kewarasan di tahun 2018. Sayangnya setelah itu, entah mengapa, langsung redup bahkan sebelum mekar dengan gembira lebih jauh.
Laut Bercerita, Sudut Pandang dan Sastra KAMMI (Gerakan Islam)
Mungkin beberapa definisi tentang Sastra Islami yakni sastra atau seni yang berlandaskan kepada akhlak Islam, sebagai media dakwah dengan mencakup karateristik konsisten, pesan, universal, tegas, dan jelas, sesuai dengan realita, optimis dan menyempurnakan akhlak manusia. Sastra Islami juga berkaitan dengan menggambarkan ajaran Islam, menceritakan kebaikan-kebaikan tokoh-tokoh Islam, mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sedangkan Abdurrahman Wahid memberikan asumsi bahwa sastra Islam merupakan bagian dari peradaban Islam yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara legalitas formal dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur'an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang muslim yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari al Qur'an dan Hadits (formal) dan bersifat adaptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi sosiologis dan psikologis sastrawan muslim yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya.
Mungkin komunitas yang paling banyak menyamai karya-karya Sastra Islami adalah Forum Lingkar Pena. Forum Lingkar Pena merupakan organisasi dengan visi memberikan pencerahan melalui tulisan. Forum Lingkar Pena sendiri merupakan lokomotif bagi ribuan penulis-penulis muda, pembaca karya anak bangsa, juga pecinta dunia literasi. Lahir tahun 1997, dan hingga kini FLP setia menemani dunia perbukuan Indonesia dengan karya-karya yang khas. Bahkan FLP sendiri mentitahkan diri bernapaskan Islam.
Tentu ada beberapa kritik soal FLP dan juga Sastra Islami. Misalkan dalam karya Okky Madasari, Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan. Sastra Islami dinilai cenderung tidak mengandung unsur perlawanan. Seperti ditulis Faris Fauzan dalam BasaBasi, "Tidak mengandung unsur politis untuk melawan kolonialisme Belanda serta sesuai dengan semangat modernisme yang dibawa oleh kolonialisme". Sebagaimana juga dalam tulisan Ahmad Jilul tentang Mendamba Generasi Baru Sastrawan Muslim, "Gerakan masif sastrawan muslim ini tak luput dari kritik. Okky Madasari, seorang sastrawan juga kritikus sastra dalam tesisnya menyebut karya-karya FLP cenderung bersifat populer dan berorientasi pasar ketimbang berisi sastra yang mendalam. Ia juga tak banyak memunculkan kritik atas realitas sosial dan lebih banyak mengedepankan simbol dan atribusi keislaman saja, bukan dalam ranah substansinya menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Kendati demikian, menurut penulis FLP punya kontribusi besar dalam membentuk kelas menengah muslim yang dominan hingga hari ini".