Bagi saya, soal kerasnya bunyi klakson tersebut tidaklah terlalu penting untuk dipersoalkan. Toh, bus yang menggunakannya tidak membunyikan klaksonnya terus-menerus di tengah-tengah pemukiman padat warga. Bunyi khas Telolet hanya menggema di jalur antarkota/provinsi dan (mungkin) di jalan tol. Itu pun dilakukan sesekali saja. Jadi, jika bunyi khas itu tidak mendatangkan celaka, kenapa harus dilarang? Sejauh bunyi itu mencipta kebahagiaan bagi penikmatnya, kenapa harus dihentikan? Malah, seperti ide menteri perhubungan, dibikin saja "perlombaan bunyi Telolet yang unik". Setidaknya, itu membuat penjual dan perakit klakson semacam itu mendapatkan 'kesempatan' meraih limpahan rejeki yang halal - Begitulah cara ajaib Tuhan memberi rejeki.
Kembali ke soal pelarangan, kalau ada yang harus dilarang dari demam Telolet, hanyalah pada ulah sebagian penikmatnya yang sengaja menahan laju kendaraan di jalanan, demi untuk mendengar bunyi, ber-selfie dan bahkan berjoget - Itulah tugas polisi untuk menertibkan, pemerintah setempat yang menghimbau, dan kesadaran warga sendiri. Lagipula, ini hanyalah fenomena: sesaat ia muncul, tak lama ia pun berlalu, dan berganti lagi fenomena lain. So, let it be and enjoy!
Anyway, demam Om Telolet Om, adalah sesuatu yang dulu biasa saja dan sederhana, sekarang telah tercatat dalam sejarah dunia modern, sebagai salah satu ekspresi kebudayaan populer asal Indonesia, yang diledakkan via medsos. Ini Indonesia banget! Dan, kebahagiaan Telolet nan sederhana itu kini merambah dunia. Seolah, dipenghujung 2016 ini, dengan banyak cerita duka di tanah air dan seantero dunia, kebahagiaan datang dari Indonesia dengan caranya yang sangat sederhana: “OmTelolet Om”!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H