Ujian Tengah Semester, selalu menjadi salah satu dari sedikit beban pikiran yang ku punya semasa ku sekolah dulu, seperti layaknya murid biasa, benar – benar biasa saja. Aku menempuh tahun pertama SMP ku tanpa banyak teman dan bicara, tahun ke 2 pun juga tidak begitu terasa, sampai akhirnya Ujian Tengah Semester 1 tiba.
Entah ini merupakan hal normal di semua sekolah atau tidak, tapi di beberapa sekolah, saat ujian, kita akan ditempatkan disebuah kelas dengan komposisi setengah kelas kami sendiri dan setengah kelas adik kelas atau kakak kelas, tidak lupa, teman sebangku kami pun juga adik kelas/kakak kelas, mungkin untuk mencegah kami mencontek satu sama lain.
Cuaca pagi itu sejuk, warna di mata ku saat itu terasa seperti mimpi, setengah sadar, setengah lelap. Menaiki tangga Panjang ke lantai 2, aku langsung menemui kelas dimana ada nama setengah kelasku dan setengah daftar absen adik kelasku di dalamnya. Bel APEL pagi berbunyi, panggilan untuk semua siswa/i guna melakukan upacara dan briefing untuk UTS semester ganjil ini.
Lagi – lagi, semua berjalan seperti biasa, benar – benar biasa saja. Kami kembali ke kelas untuk akhirnya duduk di meja yang sudah ditentukan oleh guru. Aku duduk di tempat yang sudah ditentukan, di meja sebelahku sudah terletak pensil, rautan, dan penghapus, tidak tahu punya siapa, aku pun juga menyiapkan pensilku. Dan seketika itu, Tika akhirnya muncul di musim ke sekian dalam hidupku,dari area depan kelas ke meja bagian paling belakang kelas aku melihat Tika berjalan menuju mejaku, tegasku dalam hati “mungkin cuaca dan warna yang terasa pagi ini padaku merupakan sebuah tanda dari semesta”,dia duduk di sampingku. Tidak pernah aku melihat seorang begitu cantik, bercahaya, layaknya aku melihat penerapan teori nyata dari bahan ujian pelajaran agama Katolik hari itu, yaitu “Citra Tuhan”.
Senyum kecil dan angguk kepalaku mengarah kepadanya sambil mengulurkan tangan, “Bayu” kataku. Senyum cantik, bibir merah, mata berbinar, hidung mancung, kacamata sampai pipi, rambut digerai, sambil menjabat tanganku, “Tttttttiiiiikkkkaaaaaa”, ucap Tika. Momen itu terasa sangat panjang dan lama, rangkaian 4 huruf itu, 2 huruf konsonan dan 2 huruf vokal tidak pernah terasa begitu indah untuk didengar. Tika bisa dibilang kembang desa di sekolahku, walau begitu, aku tidak pernah mendengar nama Tika di sekolah ini, sama seperti dia juga tidak pernah tahu ada aku di sekolah ini, atau bahkandi dunia. Dalam sekejap pertemuan pertama itu, Tika juga menjadi primadona di mataku, kataku dalam hati, “mungkin duduk bersebelahan dengan Tika juga sudah menjadi keberuntungan besar untuk orang sepertiku, orang yang biasa - biasa saja”.
Aku selalu meminjam rautan dan penghapus Tika saat itu, momen itu terasa sangat spesial bagiku, terasa indah walau terkesan menyedihkan dan tidak modal, separuh hatiku sengaja. Aku juga sesekali mengajak Tika berbincang tentang entah apa, tidak jarang juga aku sengaja mematahkan ujung pensilku saat istirahat ujian 1 ke 2, hanya untuk bisa berbicara kepadanya dan mendengar suaramu, “boleh, silahkan saja”. Sopan sekali, pikirku.
Mungkin aku terlalu meromantisasi hidupku yang tidak seberapa ini, tetapi dari yang awalnya rautan dan penghapus Tika disimpan di kotak pensilnya, di hari ke 3 ujian, dia tidak memasukannya kembali ke dalam kotak pensilnya, dan ditaruhnya di perbatasan meja kami, dan katanya, “kalau mau pakai, silahkan saja”, itu membuatku merasa sangat sangat terhormat, untuk berbagi suatu kepunyaanmu, mungkin singkat kata, aku “baper”, ya, berlebihan, se “lebih” dan se ”besar” itu Tika dihidupku saat itu.
Ujian Tengah Semester kala itu, tanpa kuduga menjadi Ujian yang sangat mengesankan, dan juga membuatku menunggu - nunggu Ujian Akhir Semester ganjil, untuk duduk dengan Tika, kali ini, aku membawa rautan dan penghapusku, akan terkesan buruk jika di kedua waktu bersama, aku tidak memiliki hal yang sama semenjak 6 bulan yang lalu. Dalam waktu 6 bulan Tika menjadi semakin cantik, mungkin di dalam kepalaku saja, tapi dia merupakan wanita tercantik di mataku kala itu.
Ujian terasa berlalu sangat cepat, tidak masuk akal, “ujian tidak pernah terasa menyenangkan seperti tahun in” kataku, setelah ujian itu, semua hal dalam hidupku kembali biasa saja, bahkan, lupa aku akan kehadirannya di dunia ini, lupa dimana aku letakan buku itu, terlalu dalam ku letakan. Sampai akhir – akhir ini aku sedang membersihkan buku – buku yang ada di etalase pikiranku, yang habis dimakan rayap, terbakar oleh api entah darimana, basah rembesan air yang juga entah darimana, kutemukan buku tipis itu, buku yang sempat kulupakan keberadaannya, buku tipis itu kusimpan dengan sangat baik, tidak ada bekas terbakar, basah, atau robek sekalipun, tetapi warna sampulnya sudah memudar, kertas isinya juga sudah menguning.
Aku ingat, Tika lah yang membuat masa yang kuanggap sebagai beban saat itu menjadi indah dan hangat, sekali lagi terjadi, ditengah sedih karena hilangnya sebagian besar etalase buku ku karena bencana yang entah datang darimana, cuaca yang mendadak hangat dan warna yang tiba – tiba muncul seperti mimpi dari layar smartphoneku saat itu, Tika sangat cantik, sedari dulu sudah cantik, kurasa jika benar ada obat penenang yang tidak memerlukan resep dokter, itu adalah Tika.
Setelah berbulan - bulan aku mengagumi Tika yang bahkan tak pernah muncul didepan mataku bahkan hanya untuk 1 kali pun, belum lama ini tanpa sengaja aku bertemu dengannya, TANPA SENGAJA, memori itu terekam dengan baik di kepalaku, jika film inside out itu nyata, memoriku tentangnya akan menjadi pulau sendiri diluar sana. Memori inti tentangnya juga tidak akan membuat bentuk yang lain selain Mahkota, simbol terhormat, terbaik, dan tidak ternilai. Aku ingat lokasi persisnya, warna lantainya, suasana sekitarnya, apa yang sedang dia lakukan, apa yang sedang ia makan, sedang bersama siapa, aku ingat, semuanya.
Aku benar - benar membeku dan tidak bisa melakukan apapun selain menyapanya, entah bagaimana caranya, tapi aku merasa aku menyapanya waktu itu, dia sangat amat cantik, kesanku tidak pernah berubah terhadapnya sedari dulu. Dia sedang bersama dengan temannya, begitupun juga aku, Tika dan temannya membawa anjing peliharaannya untuk jalan - jalan dan yang mungkin sekarang disebut “playdate”. Bulu anjing peliharaannya kuning keemasan merona, kata ku, “cantik sekali, sama seperti pemiliknya”, aku tidak sadarkan diri, aku tenggelam di dalam pesona Tika, aku sadar ketika aku sudah sedang turun tangga menuju parkiran untuk pulang.
Di sepanjang jalan aku katakan selalu kepada temanku, “Gila, Tika sangat cantik, cantik sekali”, “tidak ada yang lebih cantik dari dia”, “dia sempurna”. Temanku sampai beranggapan bahwa aku gila dan berlebihan, kami terus membicarakan Tika sepanjang jalan, sampai dimana ternyata temanku memberitahu aku kalau Tika juga sekolah di SMA yang sama dengan kami, kita selalu 1 gedung dengan Tika dari SMP ke SMA. AKU TIDAK PERNAH MELIHAT DIA DI SMA WAKTU ITU, aneh, benar - benar aneh, sebesar itu rasa suka ku terhadap Tika tapi aku tidak pernah melihatnya kala itu.
Rasa sesal mulai hadir, sesal karena aku tidak berusaha mendekat dengannya waktu SMA, walaupun waktu itu Tika juga sudah punya pacar, tapi aku harusnya bisa menjadi teman. Dengan datangnya rasa sesal itu, di waktu yang sama juga aku sadar, aku jatuh cinta dengan Tika untuk yang ke2 kalinya. Apapun yang terjadi aku akan tetap bersyukur akan hadirnya sosok Tika dihidupku terutama di titik - titik penting didalamnya dan membantuku dengan cara yang bahkan aku tak tahu apa itu. Aku menolak rasa ini untuk pudar, dengan hanya harapan yang aku punya, semoga jalan kita akan bertemu suatu waktu nanti.
Semua cerita ini adalah tentang Tika, penggambaran sempurna citra Tuhan dari buah matanya, wujud nyata dari hangat dan cahaya dari parasnya, keberadaan nyata penenang hati hanya dengan sekedar “ada”, perawakan fisik dari gelar “terhormat” dari lembut lisannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI