Korea Selatan, budayanya telah menginvasi Indonesia bahkan dunia. Kapan itu mulai terjadi? Masih ingat kali pertama demam K-Drama di Indonesia? Salah satunya, berawal dari sebuah sinetron romantis Winter Sonata. Kisah roman antara Kang Joon Sang dan Jung Yujin yang kerap bikin emak-emak mewek.
Tayang di salah satu stasiun televisi nasional di tahun 2002. Bahkan ditayangkan ulang pada tahun 2012 dan 2016. Luar biasa.
Terlepas dari peningkatan fanatisme masyarakat kita terhadap Korean Wave, cukup mengejutkan jika ternyata Winter Sonata adalah bagian dari proyek penggairah pariwisata dan invasi budaya Korea Selatan ke seluruh dunia. Wow... Bagaimana mereka melakukannya?
Akhir tahun 2013, saya berkesempatan melakukan studi banding bersama tim Kementerian Perindustrian ke Korea Selatan.
Saya berbincang dengan seorang pejabat, “Sudah lama saya ingin mengunjungi Nami Island,” katanya.
“Ada apa dengan Nami Island?” saya bertanya penasaran.
“Saya suka banget Winter Sonata,” lanjutnya.
Wow, ternyata, begitu besar daya tarik film Winter Sonata hingga membuat beliau ingin sekali ke sana. Saya berani bertaruh, pada waktu itu, setiap fans Winter Sonata pasti ingin ke Nami Island. Tempatnya indah. Kami ke sana pada saat musim gugur.
Terdapat bendera dan ucapan selamat datang dalam beberapa bahasa negara asing. Mengejutkan, Indonesia ada di sana. Jelas di sini, Indonesia adalah pasar dari invasi budaya Korea Selatan
Setelah berlayar sekitar 30 menitan, menginjakkan kaki di sana, saya merasa atmosfer yang sangat romantis. Selain saya juga telah menyelesaikan serial Winter Sonata, hal paling mengagumkan di sana adalah, spot-spot menarik yang ada di film tersebut, ternyata ada juga disana.
Meja saat Joon Sang dan Yujin bikin boneka salju, jembataan saat mereka kissing, sampai sepeda yang mereka pakai, juga disewakan disana. Bahkan patung Joon Sang dan Yujin juga ada disana. Wow.... Saya merasa kisah Winter Sonata itu nyata.
Sepertinya, kunjungan wisatawan ini adalah call to action dari film serial itu. Bagi wisatawan, cukup banyak fasilitas di dekat sana. Mulai dari penginapan, situs alam yang indah, jalur ginko, redwood, ruang seni budaya, hingga tempat makan dan belanja merch. Fasilitas yang disediakan begitu berkelas. Di sana kali pertama saya makan kimchi, dan esoknya... sakit perut. hehehe.
Nampaknya produsen film dan pengelola pariwisata, serta industri terkait sudah kong kali kong ini. Tapi bener, ini keren. Strategi yang disiapkan begitu rapih dan matang. Andai saja Indonesia dengan segudang keindahan wisata alamnya (yang katanya keunggulan bersaing) bisa mengikuti jejak Winter Sonata, menggabungkan produk kreatif dengan industri pariwisata.
Selanjutnya, saya mempelajari berbagai literatur tentang Nami Island, termasuk mewawancarai pemandu wisata kami yang kebetulan warga negara Korea Selatan.
Memang benar, semenjak distribusi Winter Sonata ke seluruh dunia, terjadi peningkatan jumlah pengunjung yang sangat signifikan di Korea Selatan.
Sebuah situs analis mengungkap bagaimana drama Korea menjadi sangat berpengaruh pada industri pariwisata dan makanan.
Sejak awal pemutaran, Winter Sonata mampu meningkatkan jumlah pengunjung Nami Island dari 270.000 (2001) orang menjadi 650.000 (2002, saat rilis WInter Sonata) dan saat ini telah mencapai lebih dari 3.3 juta pengunjung per tahun. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah.
Sebuah karya yang digarap serius mampu menggerakkan bisnis pariwisata sebuah negara. Saya melihat fenomena ini sebagai penerapan nyata strategi transmedia storytelling. Tidak hanya tentang perluasan bisnis, transmedia storytelling juga sudah menjadi alat invasi budaya sebuah negara.
Seorang pakar transmedia dari SAS Institute memberikan sebuah analogi terbaik tentang transmedia. Baginya, sebuah cerita biasanya bagaikan sebuah pohon, bercabang dan tumbuh rimbun. Sebuah pohon ibarat sebuah universe.
Ia melanjutkan, bahwa sebuah transmedia merupakan lahan yang lebih luas, subur, dan tumbuh bersama membentuk sebuah hutan. Hutan merupakan gambaran sebuah ekosistem, sistem kehidupan yang saling terhubung, bergantung, demi kelanjutan kehidupan.
Demikian pula sebuah transmedia storytelling yang harus memiliki keterhubungan, kebergantungan, dan kesinambungan diantara media-media atau produk-produk yang dikembangkan, dengan pemanfaatan teknologi dan strategi marketing yang tepat. Membentuk sebuah ekosistem bisnis yang saling menguatkan.
Robert Pratten, pakar cerita mencoba memopulerkan tiga pendekatan strategi transmedia storytelling, pendekatan franchise, Portmanteau, dan complex experience. Mungkin di kesampatan lain saya akan bahas ini.
Demikian halnya jika kita merekonstruksi model bisnis Winter Sonata. Mulanya Winter Sonata seolah hanya sekedar film romantis. Tapi, ternyata impact atau call to action dari film ini adalah peningkatan jumlah kunjungan ke Korea Selatan, yang signifikan.
Tek-tokan antara produsen film dan pihak pengelola pariwisata nampaknya sudah manunggaling sekali. Segala akses, fasilitas akomodasi sudah dipersiapkan dengan matang. Bukan setelah film rilis laris, banyak pengunjung ke situs wisata, kemudian fasilitas dan infrastrukturnya njeketek ala kadarnya alias ngga siap. Wah... di sini kita mengalami miss and loss. Hilang sudah momen meraih si cuan.
Setelah suksesnya invasi korean drama generasi pertama, selanjutnya, budaya pop Korea begitu mudah masuk di tanah air, menggerser kecintaan bangsa atas budayanya, bahkan memasuki ranah persaingan industri entertain global.
Gerakan Winter Sonata ini begitu inspiratif, dan semoga dapat menjadi salah satu referen terbaik bagi kita untuk mengkolaborasikan sektor budaya, pariwisata, industri kreatif serta gerakan UMKM secara masif dan terintegrasi.
Majulah bangsaku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H