Beberapa waktu silam kita pernah disuguhi berita yang mengatakan bahwa pak Jokowi adalah keturunan antek PKI. Namun sayangnya berita itu tidak menyertakan bukti-bukti yang kuat atau konfirmasi dari siapapun. Tapi tetap saja banyak orang yang jadi percaya kalau itu nyata hanya karena melihat beritanya bertebaran di linimasa FB. Bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun banyak yang jadi korbannya.
Suatu berita juga tidak luput dari kesalahan manusiawi. Pemberitaan mengenai "prestasi-prestasi" luar biasa Dwi Hartanto beberapa waktu silam bisa digolongkan ke dalam fake news yang tidak disengaja, yang diakibatkan kurangnya verifikasi mendalam dari berbagai sumber oleh media massa bersangkutan.
Itulah sebabnya menganggap suatu postingan di medsos sebagai sebuah "berita" yang valid adalah hal yang sangat salah dan berbahaya, oleh karena suatu postingan tidak melewati proses editorial -- yang itupun sendiri masih bisa salah.
Sama halnya dengan citizen journalism -- jurnalisme masyarakat, sarana pengumpulan dan penyebaran informasi yang semakin berkembang pesat ini (terutama karena semakin mudahnya untuk mendapatkan smartphone dan akses internet) juga harus dicermati dengan seksama.Â
Pada satu pihak bisa menawarkan keuntungan berupa berita yang lebih real time dan menyiarkan hal-hal yang mungkin enggan disiarkan oleh stasiun berita karena dianggap kurang penting atau terlalu biasa, namun berpotensi pula untuk menjadi fake news karena kurangnya proses pengecekan fakta.
Fakta lain yang harus diperhatikan adalah kuatnya faktor finansial di balik menjamurnya website pembuat dan penyebar fake news. Website seperti ini biasanya menyebarkan berita-berita yang sensasional (dan tentunya palsu atau dilebih-lebihkan) untuk menarik banyak pengunjung, yang pada akhirnya akan membuat mereka menerima banyak uang dari pemasangan iklan di website mereka seiring dengan semakin banyaknya pengunjung.
Adapun pemberitaan yang tidak berimbang menurut saya tidak bisa digolongkan ke dalam fake news oleh karena isinya tetap memuat kebenaran. Namun begitu, media massa yang bersangkutan tetap akan mendapatkan ganjaran berupa penilaian yang kurang baik dari masyarakat oleh karena hanya membahas hal-hal yang menguntungkan (atau merugikan) pihak tertentu saja. Ambil contoh mengenai konflik di Suriah. Media yang pro-barat akan selalu menyalahkan pihak Suriah dan Rusia; di lain pihak, media yang pro-Rusia akan senantiasa menyalahkan pihak US.
****
Propaganda negatif dan fake news akan semakin mudah ditemukan seiring dengan semakin cepat dan globalnya arus informasi. Terlebih bila pihak-pihak yang berwenang kurang serius melakukan pencegahan terhadapnya. Contoh nyata adalah cukup mudahnya organisasi teroris seperti ISIS dalam menyebarkan doktrin-doktrinnya melalui internet dan berhasil menarik banyak simpatisan.
Berkaca dari hal-hal di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa senjata terbaik untuk menangkal propaganda negatif dan fake news adalah bersikap kritis terhadap semua hal. Seperti pada contoh kasus Dwi Hartanto di atas, pada akhirnya kebenaran bisa terkuak oleh karena masyarakat tidak bertindak sebagai konsumen saja, namun juga sebagai palang "editor" terakhir dari sebuah berita.
Di postingan saya yang terdahulu sudah pernah saya sebutkan bahwa setiap orang pasti punya kecenderungan untuk bias terhadap hal tertentu, dan bias inilah salah satu penyebab yang akan mencegah seseorang untuk mampu bersikap objektif.Â