Propaganda pada dasarnya tidak selalu bermakna negatif. Hal itu sangat bergantung pada penggunaannya. Banyak orang yang mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang jahat oleh karena penggunaannya yang sangat masif oleh Nazi pada masa perang dunia. Padahal pihak sekutu juga memiliki badan untuk menyebarkan propaganda demi kepentingan mereka sendiri, misalnya Inggris dengan Ministry of Information dan Enemy Propaganda Department, serta US dengan Office of War Information. Propaganda pada masa perang banyak digunakan untuk meningkatkan moral pejuang dan rakyat sipil, serta sebaliknya, menjatuhkan moral pihak lawan.
Mungkin anda pernah mendengar slogan yang kira-kira berbunyi "Perbanyak Mengkonsumsi Sayur Agar Tetap Sehat", "Berhenti Merokok untuk Menjaga Kesehatan Paru-Paru" dan "Berolahraga Teratur Minimal 30 Menit Setiap Hari Untuk Menjaga Kesehatan Jantung".Â
Anda setuju dengan hal-hal yang dikemukakan tersebut? Itu juga sebenarnya adalah bentuk propaganda, yang disebarkan oleh Kementerian Kesehatan dalam program nasional Germas yang bertujuan mengurangi jumlah penderita penyakit-penyakit tidak menular di tengah masyarakat, seperti diabetes melitus dan hipertensi, yang pada akhirnya diharapkan akan mengurangi pengeluaran negara dalam bidang kesehatan.
Mari kita coba lagi. Ada dua slogan, yang pertama berbunyi "Cegah Aborsi karena Itu Sama dengan Membunuh", yang kedua berbunyi "Aborsi adalah Hak Setiap Perempuan karena Mereka yang Mengalaminya dan Tidak Boleh Diatur oleh Pihak Lain". Yang mana yang akan anda pilih? Jika anda adalah seorang pemeluk Kristen Ortodoks yang taat maka besar kemungkinan anda akan memilih yang pertama. Kedua slogan tersebut mengandung kebenaran sampai pada tahap tertentu, namun untuk bisa sampai pada keputusan akhir menyatakannya sebagai sesuatu yang "jahat" atau "baik" masih harus melalui pembahasan yang mendalam dan menyeluruh, baik dari segi kesehatan, moral, ekonomi, dan sebagainya.
Bagaimana dengan dua slogan atau tagar berikut, "2019 Ganti Presiden" dan "2019 Tetap Pak Jokowi"? Pada contoh ini, kalimatnya sengaja dibuat singkat karena pembuatnya tidak berharap anda akan melakukan analisis mendalam, yang mana mungkin saja bisa menjadi bumerang bagi mereka bila anda melakukannya.Â
Mereka tidak berharap anda akan bertanya kenapa harus ganti presiden? Apakah ada calon yang lebih baik? Bila ada, maka apa kelebihannya dibanding pak Jokowi?; atau juga yang sebaliknya, kenapa harus tetap pak Jokowi? Apakah pak Jokowi selama pemerintahannya yang pertama ini sudah menuntaskan semua janjinya saat kampanye? Apakah semua ucapannya sudah sesuai dengan tindakannya, misalnya pak Jokowi mengatakan bahwa rokok menyebabkan banyak kerugian negara, tapi apakah beliau sudah melakukan hal-hal konkrit dan fundamental untuk mengatasi hal itu?
Suatu propaganda biasanya dibuat dalam bentuk yang sesimpel mungkin untuk menonjolkan tema tertentu dan ditampilkan banyak kali. Propaganda tidak melulu memuat kebohongan saja, namun sebenarnya memuat kebenaran (atau kebohongan) yang bervariasi pada berbagai tingkatan -- bisa tidak memuat kebenaran sama sekali, bisa setengah benar, atau bahkan memuat kebenaran yang (hampir) utuh.
Pada contoh pertama di atas tentang slogan dari program Germas memuat kebenaran yang dapat dikonfirmasi oleh banyak penelitian; pada contoh yang kedua tentang aborsi memuat kebenaran namun tidak utuh; pada contoh yang terakhir tentang pilpres 2019 tidak memuat kebenaran apapun, lebih seperti opini. Jadi, tingkat kebenaran (atau kebohongan) dalam suatu propaganda sangat dipengaruhi oleh tujuan yang ingin dicapai dan siapa yang ada di baliknya.
Miskonsepsi berikutnya adalah yang mengatakan bahwa propaganda terutama digunakan untuk mengubah ide atau pemikiran seseorang. Walaupun hal itu tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu tujuannya, namun sesungguhnya propaganda lebih sering digunakan untuk mempertajam tren atau kepercayaan yang memang sudah ada. Aldous Huxley (1936), mengemukakan bahwa "seorang ahli propaganda adalah seseorang yang menyalurkan arus yang memang sudah ada; di tanah yang tidak memiliki air, dia menggali dengan sia-sia". Bagi seorang kepala negara yang sangat dihormati dan disukai oleh semua warganya, sangat sulit bagi para kompetitornya untuk menjatuhkannya melalui propaganda negatif bila sebelumnya tidak mampu menimbulkan keragu-raguan di dalam benak warganya.
****
Setiap orang tentu berharap mendapatkan kebenaran yang valid dan utuh dari sebuah berita, untuk dijadikan dasar atau referensi dalam mengambil sebuah sikap atau tindakan. Itulah sebabnya mengapa fake news atau berita bohong adalah suatu entitas yang jauh lebih berbahaya dari propaganda karena di dalamnya sama sekali tidak mengandung unsur kebenaran dan bertujuan menyesatkan.
Beberapa waktu silam kita pernah disuguhi berita yang mengatakan bahwa pak Jokowi adalah keturunan antek PKI. Namun sayangnya berita itu tidak menyertakan bukti-bukti yang kuat atau konfirmasi dari siapapun. Tapi tetap saja banyak orang yang jadi percaya kalau itu nyata hanya karena melihat beritanya bertebaran di linimasa FB. Bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun banyak yang jadi korbannya.
Suatu berita juga tidak luput dari kesalahan manusiawi. Pemberitaan mengenai "prestasi-prestasi" luar biasa Dwi Hartanto beberapa waktu silam bisa digolongkan ke dalam fake news yang tidak disengaja, yang diakibatkan kurangnya verifikasi mendalam dari berbagai sumber oleh media massa bersangkutan.
Itulah sebabnya menganggap suatu postingan di medsos sebagai sebuah "berita" yang valid adalah hal yang sangat salah dan berbahaya, oleh karena suatu postingan tidak melewati proses editorial -- yang itupun sendiri masih bisa salah.
Sama halnya dengan citizen journalism -- jurnalisme masyarakat, sarana pengumpulan dan penyebaran informasi yang semakin berkembang pesat ini (terutama karena semakin mudahnya untuk mendapatkan smartphone dan akses internet) juga harus dicermati dengan seksama.Â
Pada satu pihak bisa menawarkan keuntungan berupa berita yang lebih real time dan menyiarkan hal-hal yang mungkin enggan disiarkan oleh stasiun berita karena dianggap kurang penting atau terlalu biasa, namun berpotensi pula untuk menjadi fake news karena kurangnya proses pengecekan fakta.
Fakta lain yang harus diperhatikan adalah kuatnya faktor finansial di balik menjamurnya website pembuat dan penyebar fake news. Website seperti ini biasanya menyebarkan berita-berita yang sensasional (dan tentunya palsu atau dilebih-lebihkan) untuk menarik banyak pengunjung, yang pada akhirnya akan membuat mereka menerima banyak uang dari pemasangan iklan di website mereka seiring dengan semakin banyaknya pengunjung.
Adapun pemberitaan yang tidak berimbang menurut saya tidak bisa digolongkan ke dalam fake news oleh karena isinya tetap memuat kebenaran. Namun begitu, media massa yang bersangkutan tetap akan mendapatkan ganjaran berupa penilaian yang kurang baik dari masyarakat oleh karena hanya membahas hal-hal yang menguntungkan (atau merugikan) pihak tertentu saja. Ambil contoh mengenai konflik di Suriah. Media yang pro-barat akan selalu menyalahkan pihak Suriah dan Rusia; di lain pihak, media yang pro-Rusia akan senantiasa menyalahkan pihak US.
****
Propaganda negatif dan fake news akan semakin mudah ditemukan seiring dengan semakin cepat dan globalnya arus informasi. Terlebih bila pihak-pihak yang berwenang kurang serius melakukan pencegahan terhadapnya. Contoh nyata adalah cukup mudahnya organisasi teroris seperti ISIS dalam menyebarkan doktrin-doktrinnya melalui internet dan berhasil menarik banyak simpatisan.
Berkaca dari hal-hal di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa senjata terbaik untuk menangkal propaganda negatif dan fake news adalah bersikap kritis terhadap semua hal. Seperti pada contoh kasus Dwi Hartanto di atas, pada akhirnya kebenaran bisa terkuak oleh karena masyarakat tidak bertindak sebagai konsumen saja, namun juga sebagai palang "editor" terakhir dari sebuah berita.
Di postingan saya yang terdahulu sudah pernah saya sebutkan bahwa setiap orang pasti punya kecenderungan untuk bias terhadap hal tertentu, dan bias inilah salah satu penyebab yang akan mencegah seseorang untuk mampu bersikap objektif.Â
Di jaman digital ini berkembang suatu fenomena yang dinamakan news bubbles, yang berarti kecenderungan seseorang untuk mencari berita atau tulisan yang sesuai dengan apa yang sudah mereka percayai. Leon Festinger (1957) menyebutnya sebagai teori cognitive dissonance; McLuhan (1964) menyebutnya sebagai narcissus narcosis yang di abad ke-21 lebih dikenal dengan nama confirmation bias atau congeniality bias.
Cara satu-satunya untuk melepaskan diri dari potensi bias adalah berani untuk melepaskan diri atau setidaknya berpikir diluar dari "kelompok".
Membaca banyak buku adalah pilihan terbaik untuk mendapatkan referensi yang valid karena sebuah buku sudah pasti telah melalui proses editorial yang panjang sebelum diterbitkan. Walaupun hal ini juga bisa menyerang balik diri kita bila kita tidak berusaha "menyeimbangkan" bacaan.Â
Seseorang yang hanya membaca buku-buku pro-barat mungkin akan mengambil kesimpulan bahwa US memang layak disebut sebagai "polisi dunia" (propaganda yang berusaha ditanamkan ke saya sejak masih di sekolah dasar); ataupun juga sebaliknya, bila hanya membaca buku-buku yang anti-barat maka kita akan terjebak untuk menyebut US sebagai "iblis" dengan melupakan berbagai penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi orang banyak yang asalnya dari US, seperti bola lampu, GPS atau internet.
Edukasi berbanding terbalik dengan propaganda negatif, dimana yang pertama ingin memperluas perspektif sementara yang kedua berusaha keras ingin mempersempitnya; yang pertama ingin agar kita menentukan pikiran kita sendiri sementara yang kedua ingin mendikte apa yang kita pikirkan.
Goebbels pernah mengatakan bahwa "propaganda (negatif) menjadi tidak efektif disaat kita telah menjadi sadar mengenainya". Teruslah membaca dan bersikap kritis. Mohon maaf bila ada salah kata.
Referensi : Fake News in Real Context (Levinson P, 2017); Propaganda and Mass Persuasion : A Historical Encyclopedia 1500 to the Present (Cull NJ, et al, 2003).
Sumber gambar : https://www.canva.com/learn/examples-of-propaganda/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H