Mohon tunggu...
Sosbud

Memaafkan

31 Mei 2018   08:43 Diperbarui: 31 Mei 2018   08:55 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bisakah kita menyebut kata "kebaikan" tanpa menyebut "kekejaman"? Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah "baik"? Apakah karena kita tidak "kejam"? Atau karena kita berkaca dari orang lain yang "kejam" menurut kita? Jadi, apakah kita bisa menghilangkan "kekejaman", sementara dia adalah satu dengan "kebaikan"? Satu menjadi cermin buat yang lain.

Apa itu utopia? Sebuah "dunia" dimana tidak ada orang yang akan sakit atau menderita? Bila di utopia kita tidak akan pernah merasa sedih atau menderita lagi, bagaimana kita bisa tahu dan sadar bahwa pada waktu yang lain kita merasa bahagia? Apa standar atau cermin yang akan kita gunakan?

"Sedih" dan "bahagia" adalah bagian dari emosi kita. Menghilangkan salah satunya berarti menghilangkan keduanya. Berarti menghilangkan emosi kita. Bila kita tidak memiliki emosi lagi saat di utopia, apa gunanya tinggal disana? Ada yang berharap jadi robot tanpa perasaan? Tidak punya tujuan? Bisakah kita menyayangi tanpa di lain waktu membenci? Bisakah kita memaafkan tanpa di lain waktu mendendam? Hmm sebuah ironi.

Utopia itu sayangnya tidak ada. Kita menciptakan proyeksi dari semua harapan kita, untuk membentuk utopia sebagai antipati dari semua hal yang kita anggap penderitaan. Lihat saja, utopia pasti berbeda-beda menurut tiap orang.

Kita bisa jadi manusia karena kita selalu punya kutub-kutub dalam diri kita. Kutub-kutub yang selalu bertolak belakang. Membenci-menyayangi, sedih-bahagia, takut-berani, rakus-hemat. Sering dengar alasan seseorang saat berbuat salah? "Saya kan cuma manusia biasa".

Nikmati hidupmu di dunia. Saat dia berakhir, maka selesai sudah.

... Sampai disini saya berpikir kalau saya sudah benar ...

Tapi kemudian saya mengingat ibu tersebut, yang kehilangan kedua anak laki-lakinya saat kejadian pemboman di gereja.

Dia memilih memaafkan! Memaafkan para pelaku yang saya sendiri yang bukan korbannya tidak bisa memberi maaf. Dia berhasil memutuskan kutub kebencian itu dengan memberi maaf dan hanya menyisakan kutub di seberangnya, yaitu menyayangi.

Bagaimana dia melakukannya? Saya yakin butuh "lompatan" iman yang sangat besar untuk itu.

Jadi apakah utopia itu sungguh ada dan bisa diciptakan? Bahwa kuncinya ada pada pilihan-pilihan kita? Serta mau memaafkan dan melepaskan segala kepahitan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun