Bisakah kita menyebut kata "kebaikan" tanpa menyebut "kekejaman"? Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah "baik"? Apakah karena kita tidak "kejam"? Atau karena kita berkaca dari orang lain yang "kejam" menurut kita? Jadi, apakah kita bisa menghilangkan "kekejaman", sementara dia adalah satu dengan "kebaikan"? Satu menjadi cermin buat yang lain.
Apa itu utopia? Sebuah "dunia" dimana tidak ada orang yang akan sakit atau menderita? Bila di utopia kita tidak akan pernah merasa sedih atau menderita lagi, bagaimana kita bisa tahu dan sadar bahwa pada waktu yang lain kita merasa bahagia? Apa standar atau cermin yang akan kita gunakan?
"Sedih" dan "bahagia" adalah bagian dari emosi kita. Menghilangkan salah satunya berarti menghilangkan keduanya. Berarti menghilangkan emosi kita. Bila kita tidak memiliki emosi lagi saat di utopia, apa gunanya tinggal disana? Ada yang berharap jadi robot tanpa perasaan? Tidak punya tujuan? Bisakah kita menyayangi tanpa di lain waktu membenci? Bisakah kita memaafkan tanpa di lain waktu mendendam? Hmm sebuah ironi.
Utopia itu sayangnya tidak ada. Kita menciptakan proyeksi dari semua harapan kita, untuk membentuk utopia sebagai antipati dari semua hal yang kita anggap penderitaan. Lihat saja, utopia pasti berbeda-beda menurut tiap orang.
Kita bisa jadi manusia karena kita selalu punya kutub-kutub dalam diri kita. Kutub-kutub yang selalu bertolak belakang. Membenci-menyayangi, sedih-bahagia, takut-berani, rakus-hemat. Sering dengar alasan seseorang saat berbuat salah? "Saya kan cuma manusia biasa".
Nikmati hidupmu di dunia. Saat dia berakhir, maka selesai sudah.
... Sampai disini saya berpikir kalau saya sudah benar ...
Tapi kemudian saya mengingat ibu tersebut, yang kehilangan kedua anak laki-lakinya saat kejadian pemboman di gereja.
Dia memilih memaafkan! Memaafkan para pelaku yang saya sendiri yang bukan korbannya tidak bisa memberi maaf. Dia berhasil memutuskan kutub kebencian itu dengan memberi maaf dan hanya menyisakan kutub di seberangnya, yaitu menyayangi.
Bagaimana dia melakukannya? Saya yakin butuh "lompatan" iman yang sangat besar untuk itu.
Jadi apakah utopia itu sungguh ada dan bisa diciptakan? Bahwa kuncinya ada pada pilihan-pilihan kita? Serta mau memaafkan dan melepaskan segala kepahitan?
Tapi kemudian, mengapa bumi ini belum menjadi lebih baik?
Mungkin karena disaat ada orang lain yang meminta bantuan pada kita, kita menolaknya karena takut dia akan menipu kita. Setelah sebelumnya kita melihat di televisi ada berita tentang penipuan, dan kita tidak mau hal itu terjadi pada kita. Jadi kita memilih waspada sehingga kita menolak memberi bantuan pada orang itu. Tapi bagaimana bila orang tersebut memang sungguh-sungguh butuh bantuan kita?
Anggaplah kita ternyata mengambil pilihan yang lain. Kita membantunya. Tapi kemudian orang itu ternyata memang pada akhirnya menipu kita, bahkan melukai kita. Kita akan jadi trauma, bukan? Kita membuatnya menjadi pelajaran. Kita menyimpan dendam.
Tapi bagaimana bila suatu waktu ada orang lain lagi yang memang membutuhkan bantuan kita tanpa bermaksud menipu kita? Akankah kita mau melupakan dendam kita kepada penipu sebelumnya? Bagaimana bila hal tersebut sudah terjadi pada diri kita berulang-ulang? Besar kemungkinan kalau kita akan mengambil sikap waspada.
Jadi, ini adalah lingkaran setan. Dan ini sangat sulit. Tapi ingat, seperti ibu yang pemaaf tadi, kuncinya adalah pada pilihan-pilihan yang kita ambil, serta kesediaan untuk mau memaafkan dan melepaskan kepedihan hidup. Memaafkan orang lain, serta diri sendiri. Selalu dan selalu.
Ibu itu telah mengenal kunci dari mengalahkan kutub-kutub "negatif" dalam dirinya. Mulai sekarang sampai waktunya nanti, ibu itu telah hidup pada utopia, apapun yang akan terjadi kepadanya. Dia hanya akan merasa bahagia dan tidak akan pernah takut lagi sepanjang sisa hidupnya.
Apa kamu pikir kamu sudah bahagia? Sudah tidak merasa takut? Apa kamu pikir semua orang akan bisa menciptakan utopia bagi dirinya sendiri?
Bisakah kamu membayangkan bahwa suatu saat kita tidak akan membutuhkan polisi, jaksa, dan hakim?
Sudah saya duga kamu akan memilih jawaban itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H