Kali ini, aku akan bercerita tentang salah satu peristiwa yang terkenang olehku, juga keluargaku hingga sekarang.
Usia delapan tahun, sebelumnya aku tinggal bersama kakek dan nenek di Jawa, kemudian aku pindah ke ibu kota. Aku kembali tinggal bersama kedua orang tuaku dan adik-adikku. Kami tinggal di kawasan kompleks.
Suatu sore, sekitar pukul 15.00 WIB, aku bermain sepeda bersama seorang adikku. Tiba-tiba, kami bertemu dengan dua anak kecil perempuan seusiaku. Aku hanya ingat salah satu dari mereka dengan rambut hitam panjang, matanya sipit ditutupi oleh kacamata, dan berkulit putih. Aku paling mengingatnya, karena ia yang paling dominan mengajak berbicara.Â
Dekat kompleks rumahku, ada satu gedung sekolah kristen. Aku sering lewat situ, tapi belum pernah sekalipun masuk ke sana. Gedungnya terlihat seperti bangunan lama. Jika sore, hanya ada segelintir siswa yang masih beraktivitas disana. Gerbang sekolah terbuka sebagian dan menjelang malam baru dikunci sepenuhnya. Mereka mengajakku bermain ke sana.
Namun, adikku menolak ajakan mereka dan memilih pulang dengan alasan ingin buang air kecil. Padahal, sebenarnya adikku takut dengan mereka karena mereka orang baru, asing, dan sama sekali bukan anak kompleks kami. Aku yang saat itu malah menerima ajakan mereka untuk bermain. Aku pikir, aku bisa berkenalan dan mendapatkan kawan baru disana.
Mereka mengajakku bermain ke gedung sekolah itu. Aku sendiri juga penasaran dengan apa yang ada di dalamnya. Sekolah yang lumayan besar dan menampung siswa SD hingga SMA dengan bangunan tiga lantai. Di lantai dasar, ada ruang musik, lapangan basket dan sepak bola, dan mainan panjatan anak TK berbentuk kotak.
Lantai dua sampai tiga berisi beberapa ruang kelas. Kami memasuki salah satu ruang kelas di lantai dua. Kami memainkan benda-benda yang ada, seperti meja, kursi, spidol, sembari saling berbincang. Selang beberapa waktu, kami mulai bosan. Kami kembali ke lantai dasar. Kami nangkring mainan panjatan.
Aku memandang langit yang sudah mulai jingga. Pertanda memasuki sore hari. Batinku mulai terasa khawatir. Aku bertanya kepada mereka, salah satu ada yang membawa ponsel jadul merek Nokia.
"Eh jam berapa sekarang?"
"Ah, sekarang sudah jam lima sore."
Aku terkejut dan pamit ingin pulang. Aku keluar dari sana dan ditemui oleh salah seorang anak tetangga, namanya Louis. Louis menghampiri orang tuaku dan bapaknya Louis. Mereka terkejut denganku.
"Aku menemukannya di luar sekolah, sendirian," kata Louis kepada mereka.
Mereka terasa lega. Aku langsung disuruh balik ke rumah dan orang tuaku bercerita bahwa mereka tadi sempat mencariku di sana. Mereka berseru memanggil namaku. Mereka juga berpencar membuka pintu beberapa ruang kelas, termasuk di lantai dua.
Anehnya, aku sama sekali tak mendengar seruan mereka. Seharusnya, aku mendengar mereka bukan? Karena mereka berseru begitu lantang. Apakah karena ruang kelasnya kedap suara?
Mereka mengira aku diculik oleh seseorang atau makhluk tak kasat mata. Bahkan, mereka juga menduga, sosok yang bersamaku itu makhluk tak kasat mata. Mitos yang lekat dari zaman nenek moyang hingga kini. Yang katanya kalau main sore dan tak kunjung pulang, berarti ia diculik oleh Wewe Gombel.
Orang tuaku pikir mereka adalah anak Wewe Gombel. Sampai kini, aku tak tahu siapa mereka. Aku tidak terbesit saat itu untuk bertanya siapa nama mereka, begitupun sebaliknya. Mereka tak bertanya siapa namaku.Â
Sejak peristiwa itu, aku tidak diizinkan bermain keluar rumah selama dua minggu. Kedua anak kecil perempuan itu juga tak lagi nampak bermain di kompleks. Menurut kalian, siapa mereka? Apakah makhluk tak kasat mata atau benar-benar manusia?
-TAMAT-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H