Mohon tunggu...
Fassya Raineta Ramadhanty
Fassya Raineta Ramadhanty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Gadjah Mada

Seseorang yang sangat menyukai seni dan estetika. Senang melibatkan pena dan kertas sebagai teman perjalanan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sastra Lisan: Situs Makam Cendonosari

11 Juni 2024   04:42 Diperbarui: 11 Juni 2024   05:02 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama menjabat sebagai pepatih, Patih Danurejo 7 juga merangkap sebagai seniman andalan dan dikenal sebagi pelopor pagelaran wayang orang yang dipentaskan di luar keraton. Beliau membuat Sendratari Ciung Wanoro. Patih Danurejo mengenalkan budaya ketoprak dan wayang kepada masyarakat yang mana sebelumnya adalah hiburan khusus keluarga kerajaan. Salah satu ketoprak yang dikenal adalah Ketoprak Tobong yang menceritakan kehidupan masyarakt tanpa menyinggung keraton.

Selain itu, beliau juga terkenal karena pernah mengadaptasi salah satu lakon Wirajarita Agung Ramayana yang diberi nama Langen Mandrowanoro. Beliau juga menciptakan gamelan yang diberi nama Gamelan Beling karena terbuat dari pecahan kaca. Beliau sangat menyukai seni pertunjukan dan memiliki keinginan untuk membawa pertunjukan wayang orang keluar dari tembok keraton. Untuk itulah beliau menciptakan Langen Mandrowanoro yang mana tarian-tariannya dilakukan dengan jongkok dan dialognya berupa tembang.

dokpri
dokpri

Dahulu, Makam Cendonosari sering didatangi oleh pasangan suami istri untuk meminta momongan. Selain itu, makam tersebut juga sering digunakan untuk tahlilan dan tempat azan karena letaknya berada di tempat yang tinggi. Namun, seiring dengan perubahan zaman, makam tersebut tidak lagi berfungsi seperti dulu melainkan hanya untuk berziarah. Peziarah tidak hanya berasal dari keluarga keraton tetapi ada juga yang berasal dari luar daerah.

Bangunan Makam Cendonosari sudah direnovasi sebanyak tiga kali pada bagian atap. Renovasi pertama dari kayu yang dipotong tipis-tipis atau disebut dengan sirat. Kemudian sekitar tahun 1997-1998 atap tersebut diganti dengan atap yang terbuat dari ijuk. Pada tahun 2001 sampai sekarang atap diganti lagi menjadi asbes.

Selain yang sudah penulis jabarkan tadi, ada satu makam dibawah Makam Cendonosari. Makam tersebut adalah makam kuda dari Patih Danurejo 7. Sebenarnya tidak dimakamkan di Wonocatur melainkan dimakamnkan di Solo. Makam tersebut dipindahkan karena sering terjadi penampakan seekor kuda di Solo yang diduga merupakan arwah dari Danurejo 7.

PESAN DAN AMANAT

Setelah mengetahui cerita dibalik Situs Makam Cendonosari, penulis mendapatkan beberapa pesan dan amanat yang dapat diambil. Pesan dan amanat tersebut adalah adanya filosofis seorang pemimpin yang selalu ingin berada di tempat yang tinggi seperti halnya pembuatan Makam Cendonosari yang dulunya hanya gumuk kecil yang kemudian ditinggikan lagi dan lagi. Ada juga perbedaan tahta yang menyebabkan letak pemakaman antara suami istri berbeda dari masyarakat pada umumnya. Serta sugesti dari masyarakat yang memindahkan makam kuda dari Solo ke Wonocatur karena dugaan penampakan arwah seekor kuda. Terakhir yang dapat penulis ambil dari cerita tersebut adalah masyarakat dapat memanfaatkan bekas galian tanah guruk sebagai 'wirotani'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun